Pertanyaan:
As-salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Ada fenomena yang muncul saat ini di masyarakat dan tak lazim terjadi, yakni pemerkosaan atau hubungan intim antara ayah dan anak kandung. Pertanyaannya, bagaimanakah hukum seorang ayah yang menghamili anaknya sendiri dan bagaimana status anak tersebut? Jazakallah atas jawabannya.
Was-salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Zuhrah (disidangkan pada Jum’at, 14 Dzulhijjah 1437 H / 16 September 2016 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan saudari, berikut ini kami uraikan jawabannya.
Seorang ayah seharusnya menjadi pendidik, pemelihara dan pelindung bagi keluarga. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanya di dalam rumah tangga. Hal itu sesuai dengan hadis:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ [رواه البخاري ومسلم].
“Dari Abdullah bin Umar ra. [diriwayatkan] bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Masing-masing kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Namun, sebagaimana kata saudari, akhir-akhir ini ada fenomena yang sangat memprihatinkan di tengah-tengah masyarakat, yaitu seorang ayah menghamili anak perempuannya sendiri, baik secara paksa maupun secara suka rela. Hal ini menunjukkan betapa bejatnya moral ayah tersebut jika ia melakukannya secara paksa, dan betapa bejatnya moral ayah dan anaknya itu jika mereka berdua melakukannya secara suka rela.
Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Seorang ayah yang normal tidak akan bernafsu melihat anak perempuannya, karena ia adalah darah dagingnya sendiri. Seorang ayah seharusnya memelihara dan melindungi anak perempuannya itu. Namun, anak yang seharusnya dilindungi malah justru dirusak dan dihancurkan masa depannya oleh ayahnya sendiri. Peribahasa mengatakan: “Pagar makan tanaman”.
Ini menunjukkan terjadinya kebejatan dan kerusakan moral yang parah di dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Tidak ada akal sehat atau agama atau adat istiadat yang menerima hal ini. Oleh karena itu, segala upaya harus dikerahkan oleh semua pihak baik para ulama, pemerintah, tokoh masyarakat dan bahkan seluruh lapisan masyarakat agar ke depan kejadian tersebut tidak terulang atau semakin meluas.
Sebenarnya, Rasulullah saw. telah memberi peringatan dalam masalah ini, sebagaimana di dalam hadis berikut:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ [رواه البخاري ومسلم].
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir [diriwayatkan] bahwa Rasulullah saw. bersabda: Hindarilah berkhalwat (berdua-duaan) dengan perempuan, maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang kerabat suami? Beliau menjawab: Kerabat suami itu (menyebabkan) kematian” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Maksud hadis ini ialah, Rasulullah saw. melarang kaum laki-laki berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya, karena hal itu pasti akan menjerumuskan keduanya ke dalam lembah kehinaan. Jadi yang dilarang di sini adalah berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahram. Sementara berdua-duaan dengan mahram atau orang yang haram dinikahi itu tidak dilarang karena biasanya keduanya tidak akan dan tidak mau melakukan perbuatan keji. Hanya orang yang tidak normal saja yang melakukan perbuatan keji dengan darah dagingnya sendiri.
Selanjutnya ada seorang laki-laki Anshar bertanya kepada Rasulullah saw. tentang berdua-duaan antara seorang perempuan dengan kerabat suaminya, apakah itu dibenarkan? Yang dimaksud dengan kerabat suami adalah adik suami atau kakaknya atau pamannya atau yang lainnya. Biasanya, kerabat suami lebih leluasa keluar masuk bertemu seorang perempuan karena sudah dianggap keluarga sendiri. Padahal kerabat suami bukan mahram bagi perempuan itu. Oleh karena itu beliau menjawab bahwa berdua-duaan dengan kerabat suami itu bisa menyebabkan kematian. Kematian di sini menurut para pensyarah hadis ialah kematian agama jika keduanya tidak berzina, dan kematian kedua orang tersebut jika terjadi perzinaan, karena hukuman zina adalah rajam sampai mati. Oleh karena itu, berdua-duaan dengan kerabat suami itu tidak dibenarkan.
Menurut para ulama, seorang ayah yang melakukan perbuatan keji yaitu memperkosa atau berzina dengan anak perempuannya terkena hukuman ta’zir, bukan hukuman hudud zina. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang diserahkan kepada kebijksanaan hakim. Hakim diberi kewenangan oleh syariat Islam untuk menentukan hukuman apa yang layak bagi ayah tersebut. Hukuman tersebut mulai dari yang teringan hingga yang terberat yaitu hukuman mati. Ayah tersebut tidak dihukum dengan hukuman hudud zina, karena pengertian zina ialah “memasukkan dzakar ke faraj haram, bebas dari syubhat dengan bernafsu”, sementara orang yang dizinainya adalah anak perempuannya yang merupakan darah dagingnya sendiri, sehingga di sini terdapat syubhat atau keraguan, dan jika ada keraguan maka hukuman hudud harus dihindarkan. Tambahan pula, hukuman hudud zina tidak diberlakukan kepada ayah tersebut, karena menurut banyak ahli ilmu, seorang anak tidak boleh menjadi sebab ketiadaan ayah, karena ayah adalah sebab kewujudan anak.
Jika anak perempuan yang dihamili itu melahirkan anak, maka anak tersebut tidak boleh di-bin-kan atau dinasabkan kepada ayah yang menghamilinya itu, tapi anak hasil perzinaan/perkosaan itu dinasabkan kepada ibunya saja. Hal ini karena nasab hanya bisa diperoleh dengan perkawinan yang sah saja. Ayah tersebut juga tidak menjadi wali dari anak yang dilahirkan anak perempuanya itu, namun ia tetap wajib memberinya nafkah.
Perlu diketahui bahwa para ulama membolehkan aborsi bagi para perempuan yang diperkosa, baik diperkosa oleh orang lain maupun oleh ayahnya sendiri. Syaratnya antara lain, perempuan yang diperkosa tidak mau memelihara kandungan tersebut, usia kehamilan belum mencapai empat bulan, dan aborsi dilakukan oleh pakarnya.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 13 Tahun 2017