Royyan Mahmuda Daulay
Pernah suatu ketika Isa Bin Maryam a.s. sedang berada di sebuah gunung dan didatangi oleh iblis seraya berkata, ” Bukankah engkau yang berkata bahwa tidak akan menimpamu kecuali apa yang sudah Allah SWT tuliskan untukmu?. ” Lalu Isa Bin Maryam a.s. menjawab, ” Benar. ” Kemudian iblis berkata lagi, ” Kalau begitu, jatuhkanlah dirimu dari puncak gunung ini. Kalau Allah memang menakdirkanmu selamat, engkau pasti selamat. ” Mendengar hal demikian, Isa Bin Maryam a.s. berkata, ” Wahai makhluk terlaknat. Allahlah yang berhak menguji hamba-Nya. Bukan hamba yang menguji Tuhannya. “
Kisah tersebut tercatat dalam kitab Al-Lamaat, karangan Syaikh Bediuzzaman Said Kursi, salah seorang ulama kontemporer Turki. Selain itu, ada juga kisah yang hampir mirip dalam kitab tersebut, yaitu kisah tentang Jalaludin Khawarism Syah, salah satu pahlawan muslim.
Ketika dalam pertempuran melawan pasukan Jengis Khan, para menteri dan orang-orang dekatnya berkata kepadanya, ” Allah akan membuatmu unggul atas para musuhmu dan kau akan berhasil mengalahkan mereka, karena pasukan kita kuat dan termasuk golongan orang-orang yang benar. ” Mendengar hal seperti itu, Jalaludin berkata kepada mereka, ” Tugasku adalah berjihad di jalan Allah sebagai bentuk ketaatanku kepada perintah-Nya. Aku sama sekali tidak berhak mencampuri sesuatu yang bukan urusanku. Kemenangan dan kekalahan adalah ketentuan Allah Swt.”
Karena Jalaludin, sang pahlawan, memahami betul rahasia kepasrahan dan ketundukan kepada perintah Alah Swt, maka ia tidak pernah mau menguji Tuhannya dengan sikap merasa benar dan menebak jalannya takdir Allah Swt.
Dari dua kisah di atas, kita ketahui bahwa persoalan mempercayai takdir dengan bertawakal kepada Allah Swt bukanlah hal yang mudah, apalagi dewasa ini. Tidak sedikit di antara kita yang terkadang merasa bahwa takdir akan berjalan sesuai kehendak kita asalkan sudah memenuhi persyaratan sebelumnya, yaitu usaha. Sebuah permisalan, ketika ada seseorang telah berusaha mengerjakan soal ujian dan telah belajar mati-matian untuk bisa menjawab soal ujian.
Kemudian setelah berakhirnya ujian dia merasa lega dan yakin bahwa Allah pasti akan meluluskannya, karena dia sudah berusaha giat. Tentu tidak ada yang salah dengan usaha dan juga keyakinan akan lulus karena usahanya itu, namun jika perasaan yakin itu terlalu berlebihan dengan dalih telah berusaha keras, bukankah kita akan terkesan mendikte kehendak Allah? Padahal Allahlah yang paling berhak untuk berbicara persoalan masa depan, sebagaimana kisah Jalaludin di atas.
Di sisi lain kita pun tidak bisa menafikan usaha atau ikhtiar dalam bertawakal pada Allah, karena itu sebuah keniscayaan. Namun, jangan sampai perasaan telah berikhtiar itu malah membuat keyakinan kita menjadi lebih percaya pada usaha ketimbang Tuhan Yang Maha Kuasa. Rasa optimis pun sangat boleh, akan tetapi tidak menghilangkan sikap pasrah kita pada Allah Swt.
Apalagi di saat pandemi covid-19 ini, satu sisi kita tetap berusaha untuk membasmi dan di sisi lain kita tidak boleh meninggalkan rasa tawakal serta pasrah kepada kehendak Allah Swt. Sayangnya, muncul persoalan lain yang cukup meresahkan, yakni sikap berlepas diri dari ikhtiar dan kepasrahan yang berlebihan tanpa upaya.
Contoh paling nyata, ketika ada beberapa oknum yang mengatasnamakan lebih takut kepada Allah ketimbang persebaran virus corona lantas tidak mengindahkan semua ikhtiar untuk membasmi pandemi ini dengan berkumpul di area-area tertentu. Lalu merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah menjadi takdir Allah, sehingga terkena virus corona atau tidak itu adalah ketetapan Allah Swt. Memang benar semua itu kehendak Sang Ilahi, akan tetapi ketika mengesampingkan ikhtiar untuk menghindari sebuah keburukan dari hal yang telah terjadi itu adalah tindakan yang tidak tepat. Bahkan terkesan seperti hendak menguji Allah Swt. Apalagi dengan dalih untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana kisah Isa Bin Maryam di atas.
Baik kisah Nabi Isa a.s. dan Jalaludin Khawarism Syah memberikan pelajaran berharga bagi kita, bahwa persoalan usaha dan tawakal haruslah seimbang, tidak menitikberatkan pada salah satunya. Karena usaha tanpa tawakal merupakan tindakan yang angkuh bagi seorang hamba, sedangkan sikap pasrah berlebih dengan alasan semua telah ditakdirkan memiliki potensi menguji Sang Ilahi. Tentu sebagai hamba yang telah dianugerahi akal dan hati, seharusnya kita bisa lebih untuk menyelaraskan kedua hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagai hambaNya.
Wallahu a’lam bisshowab.
Royyan Mahmuda Daulay, Alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta