Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa warisan untuk seorang perempuan ½ bagian laki-laki adalah tidak adil dan menolak ketentuan ini. Bagaimana pendapat agama mengenai hal tersebut?
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
H. Nyakmat, Labuhanhaji, Aceh (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Muharram 1435 H / 29 November 2013)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan kepada kami. Dalam QS. an-Nisa’ (4) ayat 11 Allah Swt. berfirman:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ …
“Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” [QS. an-Nisa’ (4): 11]
Allah Swt. juga berfirman dalam QS. an-Nisa’ (4) ayat 176:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِى ٱلْكَلَٰلَةِ ۚ إِنِ ٱمْرُؤٌا۟ هَلَكَ لَيْسَ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَهُۥٓ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوٓا۟ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَآءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا۟ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۢ
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. an-Nisa’ (4): 176]
Berdasarkan ayat di atas, jelas bagi kita bahwa jika ada seorang yang meninggal dunia, dan meninggalkan harta peninggalan sedangkan ahli warisnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan maka bagian untuk seorang anak laki-laki adalah sama dengan dua bagian untuk dua orang anak perempuan, begitu juga halnya dalam keadaan kalalah.
Dalam ayat tersebut, nampak terjadi diskriminasi terhadap perempuan dan perlakuan tidak adil dalam pembagian warisan. Inilah yang dipahami oleh sekelompok orang. Namun pada hakikatnya jika diteliti secara seksama dan direnungkan menggunakan akal sehat dan jiwa yang jernih, justru yang demikian itu adalah pembagian yang adil, karena adil bukanlah harus sama, akan tetapi adil adalah menempatkan sesuatu pada porsinya masing-masing.
Dalam pembagian tersebut jika dicermati secara seksama, ternyata yang diuntungkan adalah perempuan. Sebagai permisalan saja, seandainya seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak, laki-laki dan perempuan, maka masing-masing mendapatkan bagian seperti yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an, yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan.
Bagi anak perempuan, harta tersebut tidak berkurang karena semua kebutuhannya ditanggung oleh orangtua ketika dia belum menikah dan ditanggung oleh suaminya ketika dia sudah menikah, bahkan harta itu mungkin akan bertambah, karena ia dimungkinkan akan mendapatkan mahar yang berupa harta dari pernikahannya. Adapun bagi anak laki- laki yang mendapatkan dua kali bagian perempuan, maka hartanya akan berkurang pertama kalinya ketika dia menikah untuk keperluan mahar (jika maharnya berupa harta), perabotan rumah tangga dan keperluan hidup sehari-hari.
Pada dasarnya, bagian harta warisan seorang laki-laki adalah dua kali bagian harta warisan perempuan. Akan tetapi, tidak selamanya seperti itu. Adakalanya bagian warisan perempuan sama besarnya dengan bagian warisan laki-laki, bahkan dalam kasus tertentu bagian perempuan lebih besar dari bagian laki-laki.
Mengenai seorang perempuan, jika ia menghendaki agar bagiannya sama dengan bagian laki-laki atau bahkan lebih besar dari bagian laki-laki, maka boleh adanya tashaluh (perdamaian) di antara mereka, sehingga tidak ada halangan jika ada kerelaan dari pihak laki-laki tanpa adanya paksaan. Begitu pula jika pihak laki-laki melakukan takharuj yaitu dengan sukarela keluar dari penerimaan harta waris baik untuk seluruh atau sebagian. Atas dasar itu orang yang memperoleh bagian harta waris dapat merelakan harta waris yang ia terima untuk diberikan kepada ahli waris yang lain, baik seluruh atau sebagian baik dengan imbalan atau tidak. Pembagian harta warisan dengan tashaluh dan takharuj ini dilakukan setelah masing-masing ahli waris mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut Hukum Islam. Dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditegaskan:
“Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.”
Adapun contoh kasus bagian perempuan sama besar dengan bagian laki-laki adalah jika mayit tidak meninggalkan orang tua dan anak, tetapi meninggalkan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu maka masing-masing saudara itu (baik laki-laki maupun perempuan) sama-sama mewarisi 1/6 bagian. Berdasarkan firman Allah dalam Q.S. an-Nisa’ (4) ayat 12;
…وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمْرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ…
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]
Untuk lebih jelasnya, berikut ini disampaikan beberapa hikmah yang dapat diambil dalam kebanyakan kasus yang menetapkan bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan, di antaranya:
- Laki-laki (suami) bertanggung jawab untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya.
- Perempuan (isteri) tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarganya (suami dan anak-anaknya).
- Perempuan ketika sebelum menikah nafkahnya menjadi tanggung jawab ayahnya, atau saudara laki-lakinya, dan setelah menikah nafkahnya ditanggung oleh suaminya.
- Laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban melunasi mahar (sehingga jika maharnya berupa harta, maka hartanya akan berkurang dan harta isteri bertambah), di samping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.
Oleh sebab itu perlu diketahui, bahwa dibalik penetapan syariat dalam Islam, pasti mengandung prinsip keadilan, sehingga kita sebagai umat Islam sudah sepatutnya berprasangka baik terhadap syariat dan mencoba mencari hikmah yang dikandungnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 5 Tahun 2015