Jejak Muhammadiyah di Suriname

Jejak Muhammadiyah di Suriname

Ilustrasi Dok Kumparan

Muhammad Yuanda Zara

Di luar Indonesia, tidak ada Muhammadiyah yang lebih tua daripada Muhammadiyah di Suriname. Muhammadiyah sudah ada di sana sejak tahun 1923, atau sekitar seabad yang lalu. Yang dimaksud di sini bukanlah dalam bentuk PCIM, melainkan eksistensi warga Muhammadiyah di negeri itu. Bagaimana Muhammadiyah bisa “merantau” ke Suriname, yang jaraknya sekitar 18.500 km dari Yogyakarta, kota kelahiran organisasi ini?

Berawal dari Para Kuli Kontrak

Kisah Muhammadiyah di Suriname ada kaitannya dengan sejarah perbudakan dan kuli kontrak. Suriname terletak di Karibia, Amerika Latin, dan merupakan salah satu koloni Belanda. Belanda mengelola perkebunan dengan mempekerjakan para budak yang dibawa dari Afrika. Pada tahun 1863 perbudakan dihapuskan. Agar perkebunan tetap berjalan, Belanda mendatangkan kuli kontrak dalam jumlah besar dari Hindia Belanda, India, dan Cina.

Sejak tahun 1890 hingga 1939, Belanda mengirimkan 32.956 warga pribumi Hindia Belanda ke Suriname. Sebagian besar berasal dari Jawa Barat dan pantai Utara Jawa, terutama Semarang dan Surabaya, serta Jawa Timur. Komposisi penduduk Suriname pada akhir abad 19 sangat global, terdiri atas penduduk asli (Maroons), orang Afrika, Belanda, Jawa, India dan Cina.

Imigran-imigran Jawa pertama yang dikirim ke Suriname adalah Muslim abangan Jawa yang masih mempraktikkan ajaran pra-Islam, termasuk slametan dan memberikan sajen. Mereka juga tidak memiliki pengetahuan yang memadai soal arah kiblat. Mereka tidak paham di mana posisi Kakbah bila dilihat dari Suriname. Lantaran di kampung halamannya di Jawa mereka shalat menghadap ke barat, saat di Suriname mereka juga mendirikan shalat dengan menghadap ke barat. Mereka ini dikenal sebagai westbidders (orang-orang yang shalat ke arah barat).

Di antara orang Jawa generasi berikutnya yang dibawa Belanda ke Suriname, terdapat sejumlah warga Muhammadiyah. Mereka dikirim sebagai kuli kontrak pada tahun 1923. Ini menunjukkan bahwa di zaman itu komposisi pengikut Muhammadiyah tidak hanya terdiri atas pedagang ataupun mereka yang berpendidikan, tetapi juga para pekerja kasar.

Di Hindia Belanda kala itu Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam yang bertujuan menghapuskan praktik pra-Islam dan mengoreksi berbagai kesalahan kaum Muslim dalam beragama, termasuk arah kiblat. Warga Muhammadiyah di Suriname turut menyebarluaskan gagasan pembaruan ini di antara masyarakat Jawa di sana. Pengaruh mereka cukup kuat, terutama menjelang Perang Dunia II. Waktu itu, banyak perkebunan yang ditutup.

Sebagian orang Jawa pindah ke area perkotaan. Warga Muhammadiyah mulai beraktivitas di masjid-masjid kota dan membentuk organisasi baru yang dinamakan Sahabatul Islam.

Setelah melakukan pengkajian, mereka menyadari bahwa arah kiblat bagi umat Muslim Suriname bukanlah ke barat, tetapi ke arah timur laut. Maka, mereka pun mendirikan shalat ke arah timur laut Suriname. Mereka dikenal sebagai oostbidders (orang-orang yang shalat ke arah timur). Namun, sebagian Muslim Jawa di sana tetap saja shalat dengan mengarah ke barat karena menganggap hal itu sebagai tradisi nenek moyang mereka. Pertentangan antara westbidders dan oostbidders ini berlanjut hingga ke dekade-dekade selanjutnya.

Pendiri Muhammadiyah Suriname

Kendati secara keorganisasian Muhammadiyah tidak eksis di Suriname, relasi antara kaum Muslim Suriname dan Muhammadiyah tetap terjalin di masa selanjutnya. Sekitar Mei 1966, seorang tokoh Muslim Jawa dari Suriname, Haji S. Saimo Mahdi Anshari, berkunjung ke Indonesia. Ia datang guna melihat perkembangan Islam di Indonesia serta mendapatkan bahan bacaan tentang ajaran Islam, termasuk Hadits dan tafsir Qur’an, khususnya yang berbahasa Jawa namun ditulis dalam huruf Latin.

Saimo berasal dari keluarga Muslim abangan, dan ia baru beberapa tahun terakhir mengamalkan ajaran Islam. Saat naik haji ke Makkah, ia bersua dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah seperti HM Yunus Anis, HM Jindar Tamimy, Baried Ishom dan Baroroh Baried.

Di Jakarta sendiri ia bertemu dengan HM Mulyadi Joyomartono, KH Faried Ma’ruf dan H Marzuki Yatim. Di dalam pertemuan tersebut, ia diberikan bintang Muhammadiyah. Ia lalu menyampaikan tekadnya untuk mengibarkan panji Muhammadiyah di Suriname.

Sesudah dari Jakarta, Saimo singgah ke kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta. Di PP, ia menerangkan tentang betapa memprihatinkannya kondisi umat Islam Indonesia di Suriname. Mereka kekurangan dalam berbagai hal, mulai dari buku bacaan Islam, guru agama, bahkan masjid.

Saimo sendiri termasuk sosok yang meneruskan dakwah Muhammadiyah di Suriname. Ia, bersama-sama dengan warga Muslim lain, mendirikan sebuah masjid dua lantai di Paramaribo. Sama seperti para pengikut awal Muhammadiyah di Suriname, Saimo mengarahkan kiblat ke arah timur, alih-alih ke barat.

Dalam sambutannya, Ketua Umum PP Muhammadiyah KH A Badawi menerangkan bahwa Muhammadiyah sudah lama menggalang upaya untuk melebarkan sayapnya ke Suriname dengan mengirimkan muballigh Muhammadiyah ke negara itu. Rencana tersebut sudah ada semenjak masa sebelum Perang Dunia II. Hanya saja, perang membuyarkan rencana tersebut. Tapi, Muhammadiyah tetap memiliki kontribusi dalam pengembangan keislaman di Suriname.

Badawi pernah tiga kali menyusun arah kiblat shalat untuk dipakai di Suriname. Ketiganya atas permintaan tiga pihak berbeda yang memiliki perhatian terhadap umat Islam Jawa di Suriname; pertama dari Gubernur Belanda di Yogyakarta, Lucien Adams, kedua dari wakil Sumobu (Kantor Urusan Agama) di zaman Jepang, H Abdulhamid Ono, dan terakhir dari Menteri Agama RI KH Fakih Usman. Namun, tidak diketahui apakah ini kemudian sampai dan diterapkan di Suriname.

Muhammadiyah mengutarakan kesanggupannya untuk membantu mengirimkan muballighnya ke Suriname, meskipun ada persoalan di pendanaan. Sebelum Saimo kembali ke Suriname, Badawi menyerahkan sejumlah buku berisi keputusan Majelis Tarjih. Sementara itu, Ketua Majelis Taman Pustaka PP Muhammadiyah/Wakil Pemimpin Redaksi Suara Muhammadiyah, H Ahmad Basuni, turut menyerahkan beberapa edisi majalah Suara Muhammadiyah kepada Saimo.

Selama beberapa dekade kemudian, elemen Muhammadiyah dalam Islam Jawa di Suriname tetap memberi warna dalam kehidupan publik Suriname. Dewasa ini, dari sekitar 550.000 jiwa penduduk Suriname, terdapat sekitar 15 persen warga yang merupakan Muslim keturunan Jawa. Perbedaan arah kiblat masih ada hingga kini. Bahkan dua masjid yang arah kiblatnya berbeda hanya dipisahkan oleh jalan kecil saja.

Kebiasaan pra-Islam juga masih mewarnai kehidupan sejumlah Muslim Jawa. Namun, sebagaimana dikemukakan di atas, kaum Muslim Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah, selama hampir satu abad telah memberikan sumbangsihnya dalam berbagai bentuk guna memajukan keislaman penduduk Muslim asal Jawa di Suriname. Bila dalam Muhammadiyah dikenal varian Muhammadiyah Jawa, mungkin kini patut dipertimbangkan pula sebuah sub-varian yang selama ini terlupakan kisahnya: Muhammadiyah Jawa-Suriname.

Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan, PhD di Universiteit van Amsterdam

Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2017

Exit mobile version