Royyan Mahmuda Daulay
Dalam kitab Al–Bidayah Wa Al-Nihayah, karangan Ibnu Katsir, ada sebuah kisah tentang Umar Bin Khattab saat menjadi khalifah. Pada masa kepemimpinannya pernah terjadi suatu musim kekeringan yang sangat panjang, sering disebut juga tahun ramadah. Kekeringan tersebut berlangsung hingga sembilan bulan lebih dan menyebabkan banyak orang kelaparan. Masyarakat pedalaman dan badui banyak yang mengungsi ke Madinah. Hingga kota Madinah menjadi padat dan beresiko mengalami kekurangan pangan.
Khalifah Umar Bin Khattab tidak tinggal diam, beliau menggunakan dana Baitul Maal untuk membantu rakyatnya yang terkena musibah ini. Bahkan Umar mengurangi konsumsi kebutuhan hidupnya, mulai dari roti, susu dan makanan enak lainnya serta lebih memilih uangnya untuk diserahkan kepada rakyatnya. Kondisi fisik Umar pun berubah, kulitnya bertambah hitam akibat selalu blusukan dan badannya bertambah kurus karena mengurangi konsumsi makanan untuk dirinya. Para sahabat yang lain merasa sedih melihat kondisi yang dialami Umar, mereka khawatir seandainya Umar akan jatuh sakit karena bertindak seperti itu.
Selain itu, Khalifah Umar juga mengerahkan seluruh pejabat-pejabat di daerah lain untuk mengirim bantuan dan menyumbangkan sebagian harta mereka kepada rakyat yang mengalami musibah. Mulai dari sahabat Abu Musa yang berada di Bashrah, lalu sahabat Abu Ubaidah yang menyumbangkan makanan dengan dibawa oleh 4000 tunggangan serta sahabat-sahabat lainnya yang saling bahu membahu untuk bertahan dalam musibah tersebut.
Saat ini, kisah tersebut sangat relevan dengan kita yang sedang ditimpa musibah corona. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dan rakyat pada masa kekhalifahan Umar itu tidak ada salahnya bila kita terapkan pada saat ini. Di mana seluruh elemen, baik pimpinan, pejabat, ulama dan seluruh warganya saling bahu membahu untuk menolong sesamanya.
Kita lihat bagaimana masyarakat Madinah hatinya sangat terbuka lebar untuk mau menerima warga-warga dari daerah lain, meskipun pada akhirnya mengancam stabilitas ekonomi mereka. Para pemimpinnya pun, seperti Khalifah Umar Bin Khattab, sangat perhatian kepada rakyatnya dan berusaha sekuat mungkin untuk bisa membantu mereka bertahan dalam musibah tersebut. Para pejabat dan sahabat yang lain pun tidak ketinggalan untuk mendermakan harta dan tenaga kepada seluruh warga. Persatuan untuk bertahan dari musibah sangat kuat dan tidak membeda-bedakan suku maupun agama. Semua manusia yang terkena musibah dibantu dan ditolong tanpa memandang embel-embel di belakangnya, karena itu adalah fitrah sebagai manusia untuk saling menolong.
Di Negeri kita pun saat ini bisa dikatakan tidak jauh berbeda. Masyarakat saling tolong-menolong untuk bertahan dari musibah corona. Musibah yang telah berdampak pada segala aspek ini, baik ekonomi, sosial dan budaya dihadapi bersama oleh seluruh rakyat. Orang yang memiliki kekayaan berlebih masih membantu saudaranya yang membutuhkan. Orang-orang saling mengingatkan untuk kuat dan sabar serta melakukan upaya preventif seperti membagikan masker, mensosialisasikan cuci tangan dan menganjurkan untuk di rumah saja.
Tidak ketinggalan pemerintah pun turut serta membantu meringankan kebutuhan rakyatnya. Bahkan beberapa pejabat dipotong haknya untuk dialokasikan membantu warga yang membutuhkan. Tentu hal seperti ini terjadi karena fitrah manusia untuk mau saling membantu saat yang lain kesusahan. Rasa kemanusiaan di atas perbedaan, baik agama, suku, ekonomi dan lain-lain, yang sering menyelimuti kehidupan kita pada hari-hari biasanya. Tentu ini harus kita suburkan agar hidup manusia lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Bahkan Islam pun menghendaki kebaikan bagi seluruh manusia. Jika tidak, mana mungkin Khalifah Umar dan para sahabat lainnya mau bersusah-payah untuk menolong sesamanya, meskipun berbeda agama dan suku. Karena pemahaman keislaman beliau-beliau sudah sangat mendalam maka sikap tidak membedakan itulah mucul dalam perilaku di kehidupan dunia. Sikap berbuat baik kepada siapa pun mencerminkan ajaran Islam yang penuh kasih sayang sehingga menghadirkan rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bisshowab.
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta