Mbah Roziqin dan Muhammadiyah Cepu: Mutiara dari Balun Sudagaran
Oleh: Nani Puspita Sari
Mbah Roziqin, demikian orang-orang memanggilnya. Bertubuh tinggi, kurus, dengan kulit gelap khas lelaki Indonesia. Berpembawaan tenang dan sabar. Sorot matanya tajam namun teduh. Senyumnya tidak terlalu lebar tapi tulus. Tertawanya khas, dengan pundak yang berguncang-guncang namun tidak terasa berlebihan. Tidak pernah beliau tertawa terbahak sampai memperlihatkan giginya, namun siapapun bisa merasakan kebahagiaanya. Bicaranya lembut tapi tegas, to the point. Kharismatik. Satu kata yang cukup untuk menggambarkan sosoknya. Melihat beliau, penulis membayangkan sosok Oemar Bakri-nya Iwan Fals, karena memang beliau seorang guru bersepeda kumbang dengan tas kulit (bukan) dari kulit buaya.
Mbah Roziqin lahir di Lamongan, 18 September 1938 sebagai putra ke-4 dari 14 bersaudara. Beliau menyelesaikan sekolah dasar (dahulu disebut Sekolah Rakyat), di Lamongan pada tahun 1953. Selanjutnya, menyelesaikan SMP di Tuban, tahun 1956. Kemudian, melanjutkan ke SGA di Semarang dan lulus tahun 1959. Sebagai PNS, beliau ditempatkan sebagai guru SD di Cepu pada tahun 1961. Selang waktu antara kelulusan dan penempatan tidak disia-siakan beliau. Dasarnya, simbah ini tipikal orang yang haus ilmu, pintar, tekun dan sabar sehingga waktu satu tahun beliau manfaatkan dengan mengikuti kursus Bahasa Belanda, Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris di Surabaya.
Bahkan, untuk memperdalam ilmu Bahasa Arabnya, beliau sempat “nyantri” di pondok Langitan, Tuban. Beliau juga mahir dibidang seni musik, baik tradisional maupun modern. Beliau menguasai gamelan, suling, gitar, dan harmonika. Istilah kerennya, beliau ini adalah sosok pemuda multi talenta. Barangkali, kalau pada zaman dahulu ada kontes pencarian bakat semacam ‘Indonesia Mencari Bakat,’ mbah Roziqin bisa lolos seleksi.
Awal penempatan sebagai Pegawai Negeri, beliau ditempatkan di SD Negeri di wilayah Sambong, salah satu kecamatan di Kabupaten Blora. Selang 2 bulan kemudian, beliau dipindahkan ke SD Negeri 5 Balun, Cepu. Kepiawaiannya berbahasa Inggris dan Arab yang menjadikan beliau dipindahkan ke kota Cepu.
Pada waktu itu, Cepu adalah salah satu kota kecamatan di Blora yang maju perekonomiannya karena terdapat pusat pelatihan dan pendidikan minyak dan gas yang terbesar se-Asia Tenggara. Banyak pendatang dari negara Asia Tenggara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Karenanya, masyarakat yang bisa berbahasa Inggris, termasuk siswa sekolah SMP dan SMA, sangat berperan dalam menjembatani komunikasi antara pendatang dengan penduduk lokal. Kemahiran Bahasa Inggris mbah Roziqin diperlukan di kota Cepu.
Kurangnya tenaga pengajar Bahasa Inggris membuat beliau diminta mengajar Bahasa Inggris di SMP Negeri Cepu. Beliau juga diminta mengajar Bahasa Inggris bagi karyawan Perhutani Cepu. Di kota inilah beliau mencapai puncak karier sebagai Kepala Ranting Dinas P&K Cepu sampai pensiun.
Kegiatan mengajar di beberapa sekolah belum terasa cukup bagi seorang mbah Roziqin. Disela kesibukannya mengajar, beliau masih mengajar mengaji anak-anak disekitar rumah kontrakannya. Apa yang mbah Roziqin lakukan sejalan dengan moto hidupnya: sebaik-baik manusia adalah yang memberikan banyak manfaat bagi orang lain.
Karenanya, tidak heran apabila rumah kontrakannya setiap hari ramai dengan kegiatan. Ramai oleh anak-anak tetangga yang belajar mengaji. Ramai pula oleh suara anak hasil pernikahan dengan Siti Munawaroh, gadis Bojonegoro lulusan PGA yang menjadi teman hidupnya. Gadis sholihah putri bapak Fatchoerrohman, pemilik kos-kosan tempat adiknya tinggal. Benar adanya pepatah yang mengatakan bahwa silaturahim membuka pintu rezeki. Rezeki jodoh mbah Roziqin beliau dapatkan dari silaturahim kepada adiknya. Pernikahan yang berlangsung tahun 1960 itu dikarunia 8 anak; putra-putri.
Pada masa itu, hanya ada 3 masjid besar di Cepu yang digunakan untuk sholat Jum’at. Salah satunya adalah masjid At-taqwa. Disinilah beliau berjumpa dengan seorang tokoh Muhammadiyah Cepu, H. Abdul Qodir. Seringnya bertemu dan berdiskusi membuat Pak Abdul Qodir meyakini bahwa pemuda Roziqin menyimpan potensi emas dalam dirinya. Beliau kemudian “menguji” mbah Roziqin dengan meminta beliau menjadi Imam dan Khotib sholat Jum’at di masjid At-taqwa.
Penampilan perdananya memukau hadirin jama’ah sholat Jum’at pada waktu itu. Gayung bersambut, mbah Roziqin merasa mendapat “rumah” yang sesuai bagi perjuangan dakwahnya. Sebaliknya, Muhammadiyah Cepu yang pada waktu itu baru bangkit kembali setelah vakum beberapa lama serasa mendapat angin segar. Kehadiran sosok tenaga muda yang ringan tangan dan menyimpan potensi tinggi sangat membantu perjuangan Muhammadiyah Cepu.
Cara beliau berbagi ilmu juga sangat mengena, tidak hanya dikalangan para pemuda, namun juga orang-orang tua, pria maupun wanita. Bacaan Al-Qur’annya bagus, baik tajwid maupun makhrojnya, tartil, dengan suara yang lembut. Ketika menyampaikan kajiannya, beliau sampaikan dengan sistematis, detail, dan jelas dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam. Kepintarannya dalam Bahasa Arab sangat membantu ketika beliau menyampaikan tafsir suatu ayat.
Beliau akan membahas mulai dari asal kata sampai “asbabun nuzul”nya kenapa sampai dimaknai dan ditafsirkan seperti itu. Penafsirannya bukan penafsiran parsial namun holistik dan komprehensif. Kadang, satu ayat saja bisa menghabiskan waktu 1 jam. Bahasan yang “berat” terasa ringan dan tidak membosankan bila mbah Roziqin yang menyampaikan.
Mbah Roziqin mengajar di dua tempat yang sifatnya semacam Training of Teachers bagi pengurus Muhammadiyah dan ‘Aisyiah.
Di dua tempat ini, beliau menggunakan kitab tafsir Ibnu Katsir sebagai pegangan. Sedangkan untuk referensi, banyak sekali kitab yang menjadi rujukan mbah Roziqin dalam menyampaikan materi. Beliau mempelajari beberapa kitab terlebih dahulu sebelum menyampaikan suatu materi. Selain dua tempat tersebut, beliau juga mengisi kajian di tempat Bapak Wisnu, seorang pegawai Pertamina Cepu yang memang sudah menyelenggarakan kajian rutin sebelum mbah Roziqin masuk Cepu. Biasanya beliau memanggil guru dari berbagai kota di luar Cepu. Namun, semenjak mengenal mbah Roziqin, beliau kemudian mantap memilih beliau sebagai ustadz tetap di kajian beliau.
Kajian di rumah bapak Wisnu tidak menggunakan kitab tertentu tetapi berdasarkan tema yang diangkat dari pertanyaan peserta. Pertanyaan-pertanyaan peserta inilah yang menyemangati mbah Roziqin untuk selalu meng-upgrade ilmu. Beliau tidak pernah menyampaikan sesuatu tanpa dalil yang kuat. Karenanya, apabila ada pertanyaan yang beliau belum yakin jawabannya, beliau tidak segan mengatakan bahwa beliau belum tahu dan minta waktu untuk menjawab dilain kesempatan. Beliau tidak hanya “ngeles” tapi memang bersungguh-sungguh mencari jawabannya.
Tentang Mbah Roziqin
Menurut cerita bapak Fathoni, putra no 2: “Bapak itu kalo diberi pertanyaan dan belum yakin dalilnya, maka beliau akan segera mencari jawabnya dengan membuka kitab-kitab yang relevan dengan pertanyaan. Bapak akan ‘nggelar’ kitab di ruang tamu seperti orang buka lapak menggelar dagangannya. Tidur sampai larut ditemani kopi. Beliau juga tidak segan untuk bertanya pada orang lain yang sekiranya lebih tahu dari beliau. Yang jelas beliau itu tekun, pantang menyerah, dan pantang malu untuk mencari tahu.”
Beberapa kesaksian mereka yang pernah belajar ngaji kepada beliau menunjukkan kapasitas dan kebesaran ke-kyaian seorang mbah Roziqin. Muhammad Najib, salah seorang murid mengajinya menuturkan:
“Pada saat mengajar tafsir, kita para siswa membawa tafsir Ibnu Katsir yang ada terjemahannya. Mbah Roziqin membawa kitab tafsir Ibnu Katsir yang asli bertuliskan arab gundul. Kalo dalam istilah pesantren sering disebut Kitab Kuning. Nah, saat salah satu diminta membaca terjemahannya, mbah Roziqin sering sekali menginterupsi. “Stop! Sebentar. Terjemahan itu salah, seharusnya diterjemahkan begini,” kata beliau. Kemudian beliau menerangkan dimana letak kesalahannya. Jadi beliau itu benar-benar faham Bahasa Arab. Beliau benar-benar teliti. Beliau benar-benar detail menerangkan. Ini yang tidak semua ustadz bisa melakukan.”
Ustadz Zaenal Arifin, seorang ustadz muda yang diharapkan menjadi penerus beliau mengatakan:
“Mbah kyai Roziqin itu memiliki tiga keistimewaan. Pertama, ilmu Al-qur’an, ilmu hadist dan ilmu usul fiqihnya sangat dalam. Kalau membahas suatu hukum fiqih, beliau membeberkan semuanya, 4 madzhab beliau jelaskan. Perbedaannya dimana, persamaannya apa, ayat dan hadistnya bagaimana, semua dibahas sampai tuntas.
Kedua, semua bukunya ada catatannya dan dikritisi apabila ada kekurangannya. Ketiga, beliau menguasai kitab Alfiah. Kitab Alfiah itu buku syair berirama tentang tata Bahasa Arab karya Imam Malik. Kitab ini merupakan salah satu dari dua buku dasar pendidikan Bahasa Arab. Karena itulah, Kyai-kyai Nahdhatul Ulama di Cepu mengakui kekyaian beliau dan segan kepadanya. Istimewanya, beliau pelajari sendiri semua ilmu itu secara otodidak. Tak terhitung banyaknya kitab yang beliau punya. Dalam ilmu hadits, bisa dikatakan beliau ini serasa Syeh Al-Bani bagi Muhammadiyah Cepu.
Mbah Roziqin tidak hanya memberi namun beliau juga mengisi. Ibarat sebuah gelas berisi air, apabila dituang terus menerus, airnya akan berkurang. Supaya penuh lagi, gelas itu harus diisi air kembali. Begitulah prinsip mbah Roziqin. Beliau merasa harus selalu men-charge ilmunya. Oleh karena itu, ditengah keterbatasan dana (maklum beliau seorang pegawai negeri dengan 8 anak), beliau masih menyisihkan dana untuk membeli kitab setiap 3 bulan sekali. Mbah Nyai Roziqin pernah bercerita:
“Suatu saat bapak pernah tindak Banten, untuk urusan dinas, dengan membawa uang sekitar 600 ribu. Beliau habiskan 600 ribu untuk beli kitab yang beliau perlukan dan memang sangat bagus kitab itu. Lah, sebagai istri kan saya tanya. Loh pak la kok dipundutke kitab kabeh. Kui duit gaji sewulan lho. Apa jawab bapak? “Ora popo bu, ilmu gak akan berkurang. Insya Allah iki sing bakal dadi tabungan akhirat bapak. Mengko lak ono rezeki liyane.” Dan memang, Allah Swt tidak ‘sare’. Rezeki datang darimana saja dalam bentuk apa saja. Istri dan anak-anak yang sholih dan sholihah adalah salah satu bentuk rezeki yang diberikan Allah kepada Mbah Roziqin.
Bagi mbah Roziqin, menuntut ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat tidak hanya slogan tapi beliau mengamalkannya. Beliau memang tidak pernah bertahun-tahun mempelajari kitab di pondok pesantren namun ketekunannya mempelajari kitab dilakukan setiap hari sembari mengamalkan dan memenuhi kewajibannya yang lain. Mempelajari, mengamalkan, dan mengajak yang lain untuk mengkaji Al-Qur’an adalah passion beliau.
Beliau memang tidaklah sebesar KH AR Fachrudin atau Prof DR Yunahar Ilyas. Bahkan beliau tidak pernah menduduki posisi puncak sebagai pemimpin dalam organisasi Muhammadiyah Cepu (dan memang beliau tidak tertarik) namun beliau adalah kyai-nya Muhammadiyah Cepu.
Beliau juga bukan Kyai dengan sejuta umat, karena beliau tidak suka mengisi pengajian akbar. Beliau suka mengajar dalam bentuk kajian terbatas namun tuntas. Mastery Learning. Pengurus Muhammadiyah tidak akan pernah melangkah sebelum berkonsultasi kepada beliau, apalagi bila berkenaan dengan ibadah dan hukumnya. Karenanya, ketika Allah Swt ‘memanggil pulang’ hamba terkasihNya pada 14 Desember 2008, Muhammadiyah Cepu merasakan kehilangan yang sangat besar.
Seorang Kyai yang bahkan tidak pernah mau diberi fasilitas gratis apabila beliau sakit dan rawat inap di PKU Muhammadiyah. Suatu teladan yang luar biasa di tengah maraknya mental ‘gratisan.’ Setelah 12 tahun kepergian beliau, kapasitas keilmuannya belum ada yang mampu menggantikan sampai saat ini. Keteladan akhlakul karimah dan kesederhanaan hidup terus terpatri dalam dada setiap orang yang mengenal beliau. Wilujeng sare, mbah. Ilmu yang panjenengan sebar, In syaa Allah menjadi amal sholeh yang tak putus pahalanya. Do’a kami, semoga dilapangkan kubur, diganjar Jannatil Firdausi di kelak kehidupan akhirat. Aamiin.
Nani Puspita Sari, Guru SMA di Cepu