Oleh: Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah
Pandemi Covid-19 merupakan musibah getir dalam sejarah kemanusiaan di abad ini. Ratusan ribu orang sakit dan meninggal di berbagai negeri. Pun di Indonesia negeri tercinta. Wabah ini membawa dampak yang luar biasa bagi keselematan diri, sosial-ekonomi, psiko-sosial, dan hubungan antarmanusia. Kehidupan sehari-hari harus diisolasi.
Kenapa getir? Tiada suasana tersiksa manusia sebagai makhluk sosial, ketika tiba-tiba berubah dari hidup normal menjadi abnormal. Biasa berhubungan satu sama lain, harus mengambil jarak fisik (physical distancing). Suka bepergian kapan dan ke manapun, harus berhenti. Ruang sosial dikunci dengan karantina wilayah, PSBB, bahkan lock-down. Inilah era ketika umat manusia sedunia harus merasakan penjara diri.
Lebih getir. Ketika harus kehilangan orang-orang tercinta dalam keadaan diisolasi. Orang-orang sakit karena Covid-19 mesti karantina, tanpa orang-orang terdekat. Lebih menyedihkan, yang meninggal harus dipulasara dan diantarkan ke tempat peristirahatan terakhir tanpa kehadiran keluarga, handai tolan, dan orang-orang tercinta.
Siapa yang tidak getir kehilangan untuk selamanya? Kehilangan barang sederhana saja siapapun tentu bersedih. Apalagi kehilangan orang-orang tercinta yang pergi untuk selamanya, tanpa bisa melepas lazimnya kepergian orang-orang terkasih. Hanya diantar para petugas yang berjibaku menjadi martir, dalam kecamuk khawatir.
Para petugas kesehatan yang meninggal semakin memilukan. Mereka pamit dari rumah, berkhidmat dengan berpakaian panas, kemudian wafat di medan tugas, tanpa sempat bertemu dan dilepas keluarga tercinta. Mereka sungguh pejuang kemanusiaan sejati. Pantas agama menyejajarkannya dengan mati syahid.
Demi penyelamatan hidup bersama saat ini dan nanti. Saatnya semua menyadari dan bangkit bersama di seluruh negeri. Kita pulihkan batin dan luka sosial akibat pandemi yang dahsyat ini. Rajut kembali nilai dan ikatan kemanusiaan sejati. Bangkitkan optimisme di seluruh negeri. Dengan jiwa ta’awun kapitalisasi segala ikhtiar untuk gerakan aksi peduli dan berbagi
Alhamdulillah masyarakat saat ini mulai paham dan simpatik. Di banyak tempat bertumbuh kisah-kisah indah peduli kemanusiaan yang terpuji. Kita harapkan para pemimpin negeri bertaji kenegarawanan tinggi untuk fokus tangani pandemi dengan rela menyisihkan legasi-legasi politik yang kontroversi dan kembali ke jalan konstitusi sejati.
Bagi orang beriman, segala musibah tentu tidak terjadi sendiri. Allah berfirman yang artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS At-Taghabun: 11). Lalu, setiap mukmin diperintahkan ikhtiar, sabar, dan tawakal. Lahirlah ketulusan diri. Untuk saling empati, peduli, dan berbagi.
Karenanya agar hidup bersama tidak semakin banyak kehilangan, luruhkan segala egoisme ke titik terendah. Egoisme diri yang hanya peduli kepentingan sendiri. Egoisme beragama, yang lebih mengutamakan rasa keagamaan disertai sikap semuci. Egoisme ekonomi, sehari-hari yang menjadi urusan hanyalah untung dan investasi. Bahkan egoisme politik, yang dipikirkan hanya legasi kekuasaan diri dan institusi. Padahal sudah tak berbilang kehilangan segala hal akibat pandemi di seluruh bumi dan negeri tercinta ini
Demi penyelamatan hidup bersama saat ini dan nanti. saatnya semua menyadari dan bangkit bersama di seluruh negeri. Kita pulihkan batin dan luka sosial akibat pandemi yang dahsyat ini. Rajut kembali nilai dan ikatan kemanusiaan sejati. Bangkitkan optimisme di seluruh negeri. Dengan jiwa ta’awun kapitalisasi segala ikhtiar untuk gerakan aksi peduli dan berbagi.
Sungguh, segala kehilangan ini menyayat hidup bersama di bagian terdalam jantung hati. Semua mesti ikhlas diri. Seraya terus bermunajat kepada dzat Ilahi disertai ikhtiar tiada henti agar makhluk kecil bernama virus Corona ini segera pergi. Jadikan musibah dan kehilangan ini hikmah penuh arti!
*Peleman, Selasa dini hari, 5 Mei 2020