Islam Berkemajuan, Apa Itu? (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sudah berjalan selama tujuh tahun tema “Islam Berkemajuan” yang diusung pertama kali dalam Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta. Sejak itu ungkapan ini telah menjadi wacana publik. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, tema ini dikuatkan lagi oleh penegasaan jati diri Muhammadiyah dalam ungkapan “Gerakan Pencerahan” (al-harakah al-tanwîriyah).
Kedua tema yang memuat pemikiran besar itu telah diulas oleh beberapa penulis dan intelektual muda Muhammadiyah dalam buku: Alpha Amirrachaman, Azaki Khoirudin dkk (ed.), Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia, Refleksi dan Agenda Muhammadiyah ke Depan. Bandung: Mizan, 2015, tebal 348 halaman. Karya lain yang masih terkait dieditori oleh Hajriyanto Y. Thohari, Ahmad Fuad Fanani, Andar Nubowo, dan Muhd. Abdullah Darraz, Becoming Muhammadiyah: Autobiografi Gerakan Islam Berkemajuan. Bandung: P.T. Mizan Pustaka, 2016, setebal 324 halaman. Di bagian akhir saya akan membuka wacana baru yang belum tersentuh oleh pemikiran anak muda yang kreatif ini.
Pemikiran reflektif kaum muda Muhammadiyah ini perlu dibaca dan dicermati oleh warga Persyarikatan, termasuk oleh generasi yang lebih tua gerakan Islam ini dari tingkat pusat sampai ke tingkat ranting. Kebiasaan membaca ini dalam pantauan saya belum intensif dan sungguh-sungguh jadi budaya dalam Muhammadiyah. Tanpa penggalakan budaya baca ini, maka slogan “Islam Berkemajuan” hanya akan beredar di lapisan elite, tidak menyentuh akar rumput. Aktivisme mesti diimbangi oleh kegiatan literasi. Minimal, warga Persyarikatan mau dan gemar membaca Suara Muhammadiyah, sebuah majalah tertua di Indonesia yang usianya sudah melampaui satu abad. Untuk bacaan yang lebih mendalam dan luas, sumber-sumber intelektual kontemporer Islam harus dijadikan pertimbangan dalam memperkaya cara kita berfikir.
Salah satu akibat dari malas membaca adalah terputusnya rantai komunikasi antara elite (–belum tentu semua juga gemar membaca–) dan warga pada umumnya. Situasi ini akan sangat merugikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern. Komunikasi yang terputus ini rentan untuk memicu sikap salah faham yang tidak perlu. Oleh sebab itu, jika ada perbedaan penafsiran dalam membaca Islam sebagai agama atau Islam sebagai fenomena sosiologis, pintu dialog harus dibuka selebar-lebarnya tanpa prasangka. Melalui dialog yang cerdas dan konstruktif ini, wacana “Islam Berkemajuan” akan menjadi sangat kaya dan saling mengisi dengan al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi.
DR. Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah (2015-2020) dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010) mengaitkan konsep “Islam Berkemajuan” itu dengan agenda pembaruan pemikiran: “Agenda pembaruan pemikiran…bukanlah barang mewah bagi Muhammadiyah karena sejak awal telah memelopori pembaruan, lebih jauh lagi karena tantangan zaman memang menghendaki pembaruan sebagai sebuah keniscayaan manakala tidak ingin terperangkap pada kejumudan.” (Hlm. 416). Bolehjadi istilah berkemajuan dalam kemasan baru sekarang ini disemangati oleh diktum dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah 1912, artikel 2 ayat b yang berbunyi: memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”
Dalam konteks suasana zaman, konsep “memajukan” sungguh terasa revolusioner di tengah himpitan konservatisme Islam yang mematikan otak dan hati saat itu. AD 1912 sungguh pun sederhana yang hanya terdiri atas 12 artikel, tetapi telah memuat gagasan-gagasan maju yang mendahului zamannya, padahal Ahmad Dahlan tidak pernah mendapat pendidikan Barat. Besar kemungkinan gagasan baru itu adalah hasil dari interaksinya dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang umumnya berpendidikan modern. Lebih jauh Haedar menulis: “Dalam matarantai pembaruan pemikiran yang diperlukan itu Muhammadiyah dituntut untuk mengembangkan perangkat-perangkat pemikiran Islam yang bersifat fundamental seperti pengembangan tafsir Al-Qur’an dan perumusan Al-Islam yang komprehensif sebagai langkah awal menuju pengayaan pembaruannya dalam bidang pemikiran Islam.” (Hlm. 417).
Pada saatnya dalam seri artikel ini saya akan memberikan pandangan tersendiri tentang muatan “perangkat-perangkat pemikiran Islam yang bersifat fundamental” itu untuk didiskusikan lebih dalam dan tenang dalam suasana akademis yang terbuka dan jujur. Kelahiran Muhammadiyah yang fenomenal di lingkungan kultur Jawa yang pekat belum sepenuhnya dapat saya fahami yang kali ini hanya disinggung selintas saja pada bagian II artikel ini. Bersambung.
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 01/103, Januari 2018)