Saudaraku, saat membaca atau melihat siaran berita, kadang kita sulit membedakan antara pagelaran sinetron dan kehidupan nyata. Banyak tokoh yang disorot media itu seakan-akan selalu bermain sinetron dalam kehidupanya. Di hidup keseharian, kenyataan yang seperti di layar kaca itu juga sering kita lihat dan saksikan. Atau mungkin hal itu juga malah kita lakukan
Pujangga Muslim Jawa era Mataram (Ranggawarsito) pernah menyindir adanya zaman tanpa kejujuran ini dengan zaman edan (zaman yang dipenuh orang gila). Zaman di mana ketika para tokoh yang hebat dan cerdas dipercaya dan diberi kesempatan memegang tampuk pemerintahan dan kekuasaan. Akan tetapi, tatanan dunia yang dipercayakan itu ternyata justru semakin kacau.
Para pemimpin, tokoh masyarakat, dan tokoh agama yang dipercaya saat itu, justru berlomba untuk berkhianat. Semuanya ikut berlaku seperti perilaku orang gila. Meletakkan nalar waras, budi luhur, dan moral agama dalam laci terkunci di sudut kamarnya yang paling gelap. Sebaliknya, mereka menyerahkan semua pertimbangan hidupnya pada kuasa nafsu mereka masing-masing. Ajaran keluhuran budi, ilmu pemerintahan, dan hukum-hukum agama bukan hanya dijadikan topeng untuk menutupi nafsu dan kerakusannya, tetapi juga sering dijadikan senjata untuk menghakimi dan menghukum orang lain yang merintangi pemuasan nafsu mereka.
Akibatnya, semua orang seakan telah memaksa diri untuk ikut gila. Memaksakan diri utuk main ludruk dan ketoprak setiap hari. Kata-katanya selalu terlihat alim, manis, dan bijak. Namun, ketika menyangkut kepentingan nafsunya, langsung berubah menjadi sangat licik, culas, dan jahat. Melebihi iblis. Tatanan kehidupan zaman edan ini mungkin lebih buruk daripada tatanan sosial pada zaman jahiliyah. Masa kegelapan budaya, sesaat sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Zaman kegelapan yang hanya bisa dicerahkan dengan dakwah Islam.
Zaman seperti itu sepertinya selalu terulang di setiap masa. Saat ini, kita sering menjumpai (dan mungkin juga sering melakukan) kepura-puraan seperti itu. Kita pura-pura alim dengan tujuan hanya untuk menipu dan menarik simpati orang lain. Kita sering melihat orang yang sangat getol menolak pemikiran ini dan itu, bahkan rajin mengkliping semua pernyataan tokoh yang tidak disenangi hanya supaya bisa menyerang balik. Tujuannya, agar kita dianggap alim dan bersih, sementara tokoh yang tidak kita senangi kelihatan sesat dan jahat. Bahkan, untuk mempermalukan dan membuktikan tokoh yang tidak kita senangi, kadang kita tega menugaskan mata-mata untuk memantau anak tokoh itu sekolahnya di mana, apakah semuanya rajin ke masjid dan mengaji atau tidak, apakah anak yang sudah dewasa ada yang jadi ustadz TPA, dan seterusnya. Jika hasilnya negatif, maka itu kita jadikan “amunisi” untuk menyerangnya.
Akan tetapi, sayangnya, kadang kita sendiri seringkali lupa, bahwa kuman yang ada di seberang lautan itu memang tampak kalau kita cari-cari, tetapi gajah yang ada di pelupuk mata kita sendiri tidak akan kelihatan kalau kita tidak mau melihatnya secara jujur.
Saudaraku, mumpung hari ini masih dalam bulan Ramadhan. Bulan yang di dalamnya kita diwajibkan berpuasa, ibadah yang pelaksanaannya hanya bisa dipantau oleh Allah sendiri. Marilah kita belajar jujur dan menyelaraskan antara kata dan perilaku. Saatnya kita mengaca diri, lebih banyak berbakti atau mencaci?
Isngadi Marwah Atmadja, Catatan Bulan Suci, Kumpulan Bahan Kultum Ramadhan