Terkaget Kaget Saat Membaca Surat Al Mudatsir Dan An Nashr
Begini, membaca Al-Qur’an sungguh nikmat jika selain kita melayari kata-katanya kita juga melayari makna-maknanya. Dengan bekal ilmu dan keterampilan berbahasa Arab lengkap dengan ketrampilan mempergunakan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah misalnya, kita dapat menyusuri sungai-sungai kata dan lautan makna-makna.
Bahkan uniknya, Al-Qur’an menyediakan begitu banyak pintu pemahaman untuk memudahkan pengamalannya. Dari pintu pemahaman yang sederhana sampai pintu pemahaman yang kompleks komprehensif.
Kadang begitu sebuah pintu pemahaman dibuka, di balik pintu terhampar taman yang indah bercahaya, itulah taman ilmu. Di balik taman ilmu ada gerbang lagi, gerbang lagi gerbang lagi sampai akhirnya ketemu gerbang dari taman cinta dan rahmat tempat segala rindu jiwa menemukan ruang untuk menemukan dan bertemu dengan cinta Allah SWT. Itu idealnya.
Dalam pengalaman beragama secara empiris logis dan empiris emosional, saat kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an kita sering seperti dibawa melewati kelokan yang indah yang banyaknya melebihi kelok sembilan atau kelok empat puluh empat di tanah Minang.
Saya sering terkaget-kaget ketika membacanya. Ketika suatu saat saya merasa (merasa lho) sebagai bagian dari kelompok yang relatif mapan hidupnya dan nyaman menikmati kemapanan relatif itu, tiba-tiba terhenyak karena langsung menemukan hubungan makna antara kondisi di bawah tekanan pandemi ini dengan ayat-ayat awal di surat Al-Mudatsir.
Yang terjemahan bebasnya: Hai orang-orang yang berselimut (kemapanan). Bangkitlah (lempar selimut kemapananmu) dan berilah mereka peringatan (sekaligus peringatan untuk dirimu sendiri). Dan Tuhanmu agungkanlah (janganlah mengagung-agungkan yang lain, mengagung-agungkan kekuasaan, kekuatan, modal dan nama besarnu). Dan pakaiannu bersihkanlah (pakaian lahir bersihkan dari kotoran, najis, virus, kuman, bakteri buruk. Pakaian batin bersihkan dari dendam, iri hati, niat busuk, dan kemarahan berlebihan yang membuatmu gelap mata). Dan perbuatan dosa (dosa kecil, dosa besar, berkhianat ketika diberi amanah dan lain-lain) jauhilah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud suap) agar mendapatkan balasan yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah.
Mak jleb betul pesan-pesan yang disampaikan Allah SWT lewat tujuh ayat pertama di surat Al-Mudatsir ini. Saya sungguh terkaget-kaget ketika membaca ayat-ayat ini.
Dulu waktu belajar tafsir di PGA, para murid diwajibkan menghafal surat ini lengkap dengan artinya. Dulu rasa-rasanya seperti biasa saja ketika membaca, menghafal dan menjawab soal ulangan dengan materi surat ini.
Ketika umur bertambah dan bacaan juga bertambah dengan wawasan yang lumayan lebar disertai penghayatan yang lumayan ternyata ayat-ayat bisa membuat kaget siapa saja yang membacanya. Kaget dan terkaget-kaget dalam arti positif, yaitu kita seperti ditegur dan diberi peringatan langsung oleh Tuhan lewat ayat-ayat dalam kitab suci-Nya.
Tentu dalam memahami dan menghayati datangnya pandemi virus Corona, ayat-ayat awal di surat Al-Mudatsir bisa membuat kaget. Dalam situasi dan kondisi yang lain ayat-ayat yang membuat kaget berbeda.
Ini mengingatkan saya pada pengalaman Ayah dan sahabatnya saat tahun 1966, ketika kekuatan kaum komunis dapat dilumpuhkan. Waktu itu, Ayah dan sahabatnya yang memiliki kesadaran sejarah (tarikh) sampai pada kesimpulan yang kalau yang terjadi adalah mirip fenomena Fathul Makkah.
Ayah dan sahabatnya terkaget-kaget ketika membaca surat An-Nashr yang terjemahan bebasnya: Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan (bagimu). Dan kalian menyaksikan manusia masuk ke dalam agama Allah (Islam) dengan berduyun-duyun. Maka bacalah tasbih (sucikanlah) nama yang terpuji dari Tuhanmu, dan bacalah istighfar. Sesungguhnya Dia (Allah SWT) adalah Yang Maha Menerima Taubat.
Ayah dan para sahabatnya segera saja mengamalkan ayat-ayat dalam surat An-Nashr ini dengan cara memaafkan tetangga-tetangga yang pernah terpengaruh ajaran komunis, yang mereka sudah bertaubat, dan mengajaknya untuk melaksanakan ajaran agama Islam yang penuh kedamaian dan ketenangan.
Untuk ini Ayah dan para sahabatnya melakukan langkah taktis sekaligus strategis dan monumental: Melaksanakan shalat tarawih berjamaah di rumah tokoh yang sebelumnya getol mengaku sebagai orang komunis. Ternyata yang layak diciduk itu anaknya dan dia sebagai simpatisan hanya disuruh apel.
Ketika rombongan panitia taraweh ini nembung atau minta ijin agar rumah tokoh itu untuk taraweh, orang itu menangis. “Lho, saya masih diakui Islamnya nggih? Saya masih diakui sebagai sedulur sampeyan semua nggih?”
Tanya dia sambil terisak-isak. “Ya, Mbah, sampeyan masih Islam dan masih saudara kita semua,” jawab Ayah. Jadilah rumah ini rumah rekonsiliasi alami dan otentik.
Sampai sekarang rumah ini masih ada. Dan beberapa tahun kemudian, pola rumah rekonsiliasi dengan mengamalkan surat An-Nashr ini dilakukan di banyak kampung di kota kecilku. Para sesepuh kampung melaksanakan langkah taktis dan strategis yang sama di kampungku.
Saya tidak tahu dan belum sempat melacak siapa yang pertama punya inisiatif mulia ini keburu para pelaku sejarahnya meninggal dunia.
(Mustofa W Hasyim)