Islam Berkemajuan, Apa Itu? (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun semuanya itu telah menjadi realitas zaman yang berlangsung secara dinamis sampai hari ini, munculnya Muhammadiyah di sekitar Kraton Kesultanan Yogyakarta bagi saya masih mengundang tanda tanya: mengapa gerakan Islam tipe ini bisa tumbuh di sana. Bukankah lingkungan Kraton itu sendiri nyaris sepi dari pengaruh Islam berkemajuan? Bung Ahmad Najib Burhani memang telah menjelaskan masalah ini dalam Islam Jawa (Jakarta: Al-Wasat, 2010, tebal 173 halaman), pertanyaan saya rasanya belum terjawab sepenuhnya oleh buku bagus ini.
Artikel ini tidak akan membicarakan hubungan Muhammadiyah dengan kultur Jawa, tetapi akan mencoba memberi tafsiran atas hakekat Islam berkemajuan itu yang dikaitkan dengan fakta kemunduran dramatis peradaban Muslim Arab yang sudah berlangsung selama puluhan abad. Bahwa Islam tidak mungkin dilepaskan dari persoalan yang serba Arab (‘urûbah/arabisme), tak seorang pun yang bisa menyangkalnya. Tetapi apakah semua unsur arabisme itu adalah perwujudan Islam yang yang benar? Apakah tidak perlu dikoreksi bahwa ada bagian-bagian penting dari arabisme itu yang telah menghancurkan Islam dari dalam yang seluruhnya menyimpang dari al-Qur’an? Gagasan Islam Berkemajuan tanpa membicarakan arabisme ini akan kehilangan jejak sejarah, dan kita hanya akan berputar pada lingkaran setan yang tunaarah.
Arabisme juga menyangkut karakter, adat kebiasaan, kultur, cita-cita, dan tujuan-tujuan politik manusia Arab. Nabi Muhammad s.a.w. dengan bimbingan wahyu telah berhasil mengislamkan unsur arabisme yang buruk dan destruktif itu sampai batas-batas yang jauh. Persaudaraan yang semula berdasarkan kesukuan (tribalisme) dan perkerabatan diganti dengan persaudaraan berdasarkan iman yang nilainya universal. Arabisme yang sarat dengan sifat kemegahan duniawi dengan kecenderungan menumpuk kekuasaan dan kekayaan sebanyak-banyaknya, dikoreksi al-Qur’an bahwa harta itu tidak akan membuat pemiliknya kekal di muka bumi. Dalam al-Qur’an surat al-Humazah ayat 2-3 digambarkan sifat rakus harta itu dengan: “alladzî jama’a mâlan wa ‘addadah; yahsabu anna mâlahu akhladah” (yang mengumpulkan harta dan selalu menghitung-hitungnya; dia mengira bahwa hartanya akan membuat dia kekal selama-lamanya).
Sebagian besar elite oligarkis Arab Quraisy pada mulanya adalah penentang gerakan Muhammad yang paling bengis dan brutal. Kesaksian sejarah pada periode Mekah (610-622) adalah bukti autentik tentang perlawanan mereka yang sengit itu. Barulah di ujung periode Madinah (622-632) mereka takluk karena kekuatan Islam tidak bisa dilawan lagi. Di antara elite Quraisy itu adalah puak Bani Umayyah yang hanya segelintir saja di antara mereka yang mau beriman kepada Muhammad. Salah satunya adalah ‘Ustmân bin ‘Affân yang kemudian menduduki posisi sebagai khalifah ke-3 sesudah Abû Bakr dan ‘Umar bin Khattâb.
Di masa ‘Ustmân (644-656) ini arabisme destruktif mulai tidak terkendali yang kemudian membawa kematiannya melalui pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok Arab Muslim yang tidak puas. Naiknya ‘Alî bin Abî Thâlib (656-661) yang idealis sebagai khalifah ke-4, komunitas Muslim Arab sudah terbelah. Nasibnya yang tragis karena dibunuh oleh mantan pengikutnya telah memberi peluang bebas kepada gubernur Suriah di Damaskus Mu’âwiyah bin Abî Sufyân dari Bani Umayyah memenuhi ambisinya untuk berkuasa yang sebelumnya didahului oleh perang saudara di Shiffîn (657). Perang ini adalah perang saudara kedua antara pasukan khalifah ‘Alî dan pasukan Mu’âwiyah. Sekiranya ‘Alî tidak terbunuh bolehjadi jalan sejarah Muslim akan berbeda. Tetapi harus dicatat seorang ‘Alî yang pintar dan lurus sering dilemahkan oleh wataknya yang kaku tanpa kenal kompromi.
Sebelum Perang Shiffîn pasukan ‘Alî pada 656 juga harus terlibat dalam pertempuran dalam Perang Onta selama empat jam yang melibatkan Țhalhah bin ‘Abdullah, al-Zubair bin al-‘Awwâm, bahkan ‘Aisyah binti Abû Bakr, janda nabi, juga terseret dalam konflik sesama Muslim ini. Dua tragedi ini tidak bisa dibaca sambil lalu, sebab menyangkut para kader nabi yang dampaknya masih dirasakan sampai hari ini. Bagi saya noda sejarah ini tidak perlu ditutupi. Ini adalah salah satu bentuk misguided arabism (arabisme yang keluar dari petunjuk agama).
Di masa modern adalah Prof. Mahmoud M. Ayoub dalam The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam (Oxford-England: Oneworld Publications, 2009) yang berani secara jujur mengungkap konflik elite Arab masa awal ini yang dampaknya masih berlangsung sampai hari ini. Sumber-sumber yang dipakai hampir seluruhnya berasal dari para penulis Arab Muslim, seperti al-Thabarî, al-Suyûthî, al-Mas’ûdî, dan sederet nama besar lainnya. Kritik saya terhadap buku Prof. Ayoub ini mengapa karya besar Ibn Khaldun al-Muqaddimah tidak dipakai sebagai salah satu rujukan, padahal dalam karya ini Ibn Khaldun banyak sekali melihat kelemahan penulisan sejarah oleh sejarawan-sejarawan Arab Muslim itu. Bersambung.
(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 02/103, Januari 2018)