Menjadikan dakwah Muhammadiyah di Jawa sebagai ukuran kemakmuran persyarikatan tidaklah adil bagi keberadaan Muhammadiyah di luar Jawa yang cenderung sepi. Sebab ada banyak faktor yang perlu dipahami bersama. Salah satu yang paling menonjol adalah status minoritas serta kondisi masyarakat yang jelas sangat berbeda. Namun semua itu perlu dilihat dari kacamata perjuangan serta upaya guna menyemarakkan gaung dan warna Muhammadiyah di darah-daerah di luar Jawa.
Adalah contoh keberadaan Muhammadiyah di desa Minaesa Talawaan Bajo Jaga I, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Di sana baru berdiri dua amal usaha pendidikan, yaitu SMP Muhammadiyah Nain sekaligus pondok pesantren Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan MA Muhammadiyah Talawaan Bajo. “Kami sudah punya dua sekolah tapi kami belum memiliki Ranting maupun Cabang Muhammadiyah yang resmi,” jelas Rendy Direktur Pondok Pesantren Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan Talawaan, Bajo saat ditemui Suara Muhammadiyah.
Karenanya, Rendy menceritakan, kegiatan Muhammadiyah yang ada tidak lain adalah kegiatan sekolah itu sendiri. Selebihnya, semisal pengajian rutin untuk warga atau kegiatan sosial lain belumlah terselenggara. “Sebab untuk saat ini kami masih fokus pada penyelenggaraan dua sekolah tersebut,” ujarnya. Tapi beberapa kali, ia menambahkan, masjid milik pesantren yang dikelolanya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk warga dan masyarakat sekitar. Seperti pengajian umum dalam rangka memperingati Maulid Nabi maupun juga untuk menyambut Tahun Baru Hijriyah.
“Beberapa kegiatan untuk umum cukup mendapat respons baik dari masyarakat. Karena fokus kami masih sekolah, kegiatan untuk masyarakat masih minim. Insya-Allah tahun ini kami akan memperluas masjid, dan setelah jadi akan kami adakan pengajian umum rutin berkelanjtan di dalamnya,” imbuh alumni Pondok Pesantren Sobron itu.
Paling dirasa, Rendy menuturkan, adalah keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia). Bukan tidak ada orangnya, melainkan sedikit orang yang mampu mengelola amal usaha. “Kalaulah ada, kebanyakan ya sebatas bekerja di Muhammadiyah, sangat sedikit kader yang benar-benar berjuang untuk kemakmuran Muhammadiyah,” keluhnya.
Namun demikian, perjuangan dakwah Muhammadiyah tetap harus dilanjutkan. Setelah melakukan berbagai perbaikan dan pembenahan, kini sekolah Muhammadiyah di Minaesa mulai ramai diterima oleh Muslim di sana. “Muslim di sini jelas minoritas, ya empat puluh persen lah,” ucap Rendy. Sebagian besar masih memilih sekolah negeri, tapi jumlah siswa baik di MA mapun di SMP yang dikelola oleh warga Muhammadiyah di sana juga sangat bersaing.
“Melihat geliat yang ada, saya pun mulai mengajak warga untuk melakukan iuran atau sumbangan suka rela dalam setiap kegiatan khususnya terkait rencana pembangunan. Sebab selama ini kami hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Dengan harapan nantinya kami bisa mandiri sekaligus punya rasa memiliki,” tutup Rendy. (gsh)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 12 Tahun 2018