Oleh: M Husnaini
“Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk untuk memikirkan bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal iktikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya.”
Tidak ada penjelasan KRH Hadjid (2013) untuk pelajaran keempat dari 7 Falsafah Ajaran KH Ahmad Dahlan sebagaimana tercantum di atas. KRH Hadjid, yang merupakan murid termuda dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah tersebut, cuma menuliskan di bawahnya potongan surah Al-Furqan/25: 44 yang terjemahannya berikut ini: “Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan manusia itu suka mendengarkan atau memikirkan dengan benar?”
Manusia hidup harus tahu sangkan (asal). Jika tidak, dia akan gagal memahami kewajiban dan akhirnya buta paran (tujuan). Padahal, setiap kehidupan pasti punya asal, mengandung tuntutan atau kewajiban, dan tentu mengarah pada suatu tujuan. Filosofi Jawa menuturkannya dengan kalimat indah: sangkan paraning dumadi.
Orang beragama, kata KH Ahmad Dahlan, ialah orang yang jiwanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Bersih tidak dipengaruhi oleh lain-lain, dan hanya tertuju kepada Allah, tidak tertawan oleh kebendaan dan harta benda (Hadjid, 2013).
Pengertian itu mengandung paham tauhid. KH Ahmad Dahlan memang selalu gigih mengajak orang beragama supaya bertauhid secara murni. Tauhid itu hanya menomorsatukan Allah, dan memandang tidak penting selain-Nya. Orang yang bertauhid secara murni, mustahil menganggap ada sesuatu yang sepadan, apalagi lebih penting atau lebih hebat dari Allah.
Secara teori, tauhid kelihatannya mudah. Namun, dalam praktik kehidupan sehari-hari, belum tentu kita semua lulus menjadi pribadi yang bertauhid secara benar. Kesenangan dan kenikmatan dunia yang sementara acap kali menawan hati kita sehingga tidak lagi menomorsatukan Allah.
Dalam konteks itu, KH Ahmad Dahlan menegaskan bahwa tauhid harus dibuktikan dan dilihat dengan kesadaran menyerahkan harta benda dan dirinya kepada Allah. Ya, keyakinan beragama memang berada di relung hati. Namun, bukti keberagamaan seseorang dapat dilihat dari lahirnya. Tampak di sini pemikiran KH Ahmad Dahlan lebih menekankan aspek praktis keberagamaan.
KH Ahmad Dahlan tidak mengajak berpikir muluk-muluk tentang agama, kalau ternyata kosong dalam pelaksanaan. Simaklah beberapa pemikiran KH Ahmad Dahlan tentang pentingnya amal, antara lain, “Mengumpulkan ilmu, nazar, dan uang itu karena hendak diambil faedahnya dan karena hendak diratakan, juga supaya diambil faedahnya, bukannya supaya jadi kemegahan atau supaya diketahui oleh orang lain. Itu tidak” (Asrofie, 2005).
Ungkapan lain KH Ahmad Dahlan yang sudah viral berbunyi, “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tidak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini” (Salam, 1968).
Dalam pelaksanaan ibadah, KH Ahmad Dahlan menekankan pemurnian. Dalam arti, Al-Qur’an bicara apa dan Rasulullah mencontohkan bagaimana, itulah yang harus kita kerjakan. Berkreasi dalam wilayah ibadah ritual itu tergolong bidah, dan KH Ahmad Dahlan pasti memberantasnya.
Muhammadiyah yang dikenal sebagai gerakan tajdid, namun juga tajrid, sesungguhnya memang berawal dari pemikiran pendirinya. KH Ahmad Dahlan mendorong tadjid atau pembaruan dalam bidang sosial kemasyarakatan, namun tajrid atau pemurnian dalam bidang ritual keagamaan. Dalam pandangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, kedua aspek itu tidak boleh dibalik.
KH Ahmad Dahlan itu berani, ulet, dan istikamah. Segala pertentangan dari sebagian keluarga dan beberapa ulama Kauman tidak dipedulikan. Asrofie (2005) mencatat analisis KH Ahmad Dahlan tentang sebab-sebab kenapa manusia tidak mau menerima kebenaran, antara lain:
- Bodoh. Mereka belum mengerti ajaran yang benar, dan inilah yang paling banyak.
- Belum mengenal ajaran Islam.
- Tidak cocok dengan orang yang membawa kebenaran tersebut.
- Sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan lama yang dicintai terlebih dahulu.
- Takut berpisah dengan keluarga dan kawan-kawan, takut kehilangan apa yang menjadi kesenangan, seperti harta, benda, dan kedudukan. Juga, karena takut menderita, kesusahan, dan dirasa berat.
- Tidak berani menjalankan sesuatu yang benar karena takut sakit dan mati.
KH Ahmad Dahlan merasa prihatin karena para mubalig masih banyak bicara. Mereka mencari ilmu dan mengajarkannya, tetapi tidak diamalkan. Mereka masih mengabaikan amalan dan lebih mementingkan perkataan, biar terlihat bagus. Padahal, perbuatan mereka sendiri masih rusak dan merusakkan, masih menuruti hawa nafsu. Mereka, misalnya, masih malas dan kikir berkorban harta, benda, dan pikiran untuk kemaslahatan umat (Asrofie, 2005).
Kita dapat becermin pada keprihatinan KH Ahmad Dahlan. Bukan saja dulu, kondisi kebanyakan mubalig di era sekarang, jangan-jangan belum beranjak. Berat menghadapi perjuangan, karena yang dikejar adalah kesenangan. Apalagi aktivitas dakwah, lebih khusus lagi ceramah, sekarang ini sudah menjadi profesi menjanjikan. Jika dulu ada istilah mubalig bentukan pers, kini medsos tentu lebih cepat melejitkan karier seseorang dibanding hasil liputan wartawan tersebut.
Dalam medsos, siapa saja bisa berkata apa saja, bahkan menyajikan dirinya sebagai siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Demi mendapatkan follower, subscriber, atau like yang banyak, segala upaya ditempuh. Seperti dicatat M Yusron Asrofie (2005), KH Ahmad Dahlan jauh-jauh hari sudah bilang, para mubalig belum bekerja untuk kebaikan umum. Mereka masih mementingkan kepentingan golongan, bahkan diri sendiri.
Saya kira, keberagamaan model praksis-fungsional sebagaimana dikatakan dan dicontohkan KH Ahmad Dahlan ini lebih aktif dan produktif ketimbang beragama dengan selalu meributkan bumi ini bulat atau datar, berobat dengan meminum air kencing unta itu sunah atau bidah, mendirikan khilafah itu wajib atau bukan, manusia pertama itu Nabi Adam atau Meganthropus, dan sejumlah perdebatan tidak penting lainnya yang kerap mengotori praktik keberislaman kita.
Kini saatnya kita hentikan praktik-praktik beragama yang “basah di lisan, namun kering dalam perbuatan” tersebut. Keberagamaan model demikian tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali keributan di dunia dan salah-salah justru mencelakakan kita di akhirat kelak.
M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia