92 Tahun PERTI, Tunggak Tuo Islam (di) Minangkabau

92 Tahun PERTI, Tunggak Tuo Islam (di) Minangkabau

Oleh Muhammad Taufik

Minggu pertama bulan Mei ini Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) berusia 92 tahun (05 Mei 1928-05 Mei 2020). Umur yang bisa dibilang matang bahkan sepuh. Pada awalnya sekolah Tarbiyah dan Perti lahir sebagai bagian bentuk fron perlawanan yang terjadi antara Kaum Tua dan Muda di Minangkabau. Perti dijadikan benteng pertahanan bagi  Kaum Tua (tradisional) terhadap “penyerangan”, penyebaran paham dan gerakkan moderen yang dimotori oleh Kaum Muda. Dialetika yang terbangun antara dua kelompok tersebut menjadi khasanah dalam perkembangan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20.

Pada awal berdirinya Perti hanya memfokuskan diri pada perjuangan membangun sekolah yang memiliki landasan dan pemahaman dalam syariah dan ibadah kepada Mazhab Imam Syafii dan dalam i’tikad pada Ahlusunah wal Jama’ah.  Tidak berbeda dengan organisasi lain Perti juga mengalami dinamika dan tantangan mulai dari fase pertentangan Kaum Muda dan Kaum Tua, fase stagnasi kemudian berlanjut ke fase kemerdakaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Dalam perkembangannya Perti pernah menjelma menjadi partai politik tahun 1945 dan kemudian kembali kekhitah. Meski secara organisasi sekarang Perti sepertinya kehilangan taji. Namun di ranah Minangkabau sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah masih berdiri sebagai penjaga i’tikad Ahlusunnah wal Jama’ah dalam aqidah dan mazhab Imam Syafi’i dalam ibadah dan fiqih.

Selaian beri’tikad Ahlussunah wal Jamaah dan berfiqih dan ibadah kepada Imam Syafi’i, Syekh Sulaiman Arrasuli atau dikenal dengan Inyiak Canduang serta ulama-ulama Kaum Tua lainnya juga membangun gagasan Tarbiyah ini dengan ide yang sangat geneuine yaitu memadukan dan mempertalikan adat dan syarak

Stratetgi kultural dipadu dengan pendekatan keagamaan menjadikan Tarbiyah bisa diterima di tengah masyarakat Minangkabau. Dalam sejarahnya pembangunan Tarbiyah Islamiyah yang awalnya sistem halaqah menjadi klasikal untuk pertamakali sangat dibantu oleh para penghulu adat. Sekolah Tarbiyah dibanguan melalui prosedur adat dengan melibatkan niniak mamak 3 kelarasan (Baso, Canduang dan IV Angkek). Prosedur yang ditawarkan Inyiak Canduang yang kemudian disetujui oleh Demang Datuak Batuah merupakan bentuk strategi kultural yang disebutkan sebelumnya. Penguasaan ia terhadap Adat Minangkabau dan jaringan sosial yang luas menjadikan Inyiak canduang dekat dan bersahabat dengan otoritas adat dan pemerintah lokal, sekaligus menjadikan ia sosok guru adat dan tokoh agama  yang disegani di Jagat Minangkabau

Penguasaan dan pemahaman yang dalam tentang adat Minangkabau menjadikan beliau sangat bijak dalam melihat posisi antara adat dan syarak. Inyiak Canduang membangun diskursus keagamaan tanpa mesti membuang kemaslahatan adat didalamnya. Ia menjadi salah satu tokoh Minangkabau (Kaum Tua)  pengusung ideologi kebudayaan dalam membangun diskursus Islam. Karena dilihat munculnya gerakan keislamanan yang diusung oleh Kaum Muda saat itu mengarah kepada penghilangan ruh kebudayaan dan mengesernya dengan dasar kembali kepada sumber yang menurut mereka autentik. Relasi agama dengan kebudayaan domestik menjadi sesuatu yang salah dalam diskursus Islam (terutama hukum) bagi kalangan sebagain mereka.  Inyiak Canduang tampil menjadi salah satu pelopor dalam mendobrak narasi tersebut dan melakukan penguatan ideologi substantif artinya agama dan tradisi keislaman ditangannya memiliki basis kebudayaan, khususnya Minangkabau. Internaliasasi ideologi keminangkabauan dalam setiap gerak dan narasi keislamannya memumunculkan prototipe yang khas dan unik. Alhasil wacana keislaman dan keminangkabauan ditangan Inyiak canduang menjadi sesuatu yang berkelindan. 

Peritiswa ini semakin diperkuat, sebagaimana di tulis dalam diseratasinya Taufik Abdullah, School and Politics: Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933, bahwa pada konferensi Kaum Tua menyatakan kebulatan tekat untuk melanjutkan perjuangan atas nama mazhab Syafi’i dan mendasarkan pendidikannya pada pelestarian dan penguatan harmoni antara adaik nan kawi, syarak nan lazim. Disini semakin jelas bahwa Perti adalah akar tunggang dari Islam Minangkabau. Salah satu bukti yang menarik untuk dicerita ulang adalah dari sikap Inyiak canduang dalam merespon kasus hukum Islam (fiqih).

Perti dan Inyiak Canduang sangat mempertimbangkan dan mendalami sekali maksud dari tujuan sebuah peristiwa adat yang kemudian dikaitkan dengan cara Islam memandang praktek adat tersebut

Salah satu contohnya adalah kesesuaian beliau tentang bentuk pembagian waris yang berkembang selama ini di Minangkabau. Beliau berpendapat bahwa harta pusako tinggi tetap dibagi secara model warisan Minangkabau dan harta pencarian bersama dibagi secara faraid. Kemudian tentang panggang gadai juga demikian. Inyiak canduang “memodifikasi” dengan tidak menghilangkan tradisi pagang gadai di Minang dengan memasukan unsur keboleh dalam prosesnya yang sesuai dengan fiqih. 

Jadi dari contoh diatas ia sama sekali tidak mengharamkan model praktek adat tersebut, sebagaimana ulama lain,  namun beliau mencoba masuk dan memperbaiki sehingga tradisi tersebut tetap bertahan dan sekaligus tidak bertentangan dengan hukum Islam. Gagasan-gagasan itu bisa dilacak dalam majalah (Suara Tarbiyah) yang diterbitkan oleh Perti pada bagian tanya jawab antara Inyiak Canduang dan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan tradisi yang dilakukan masyarakat Minang saat itu. Kemampuan dan “menjatuhkan pilihan” pada penjagaan harmonisasi dan dialetikan antara adat dan syarak menjadikan Inyiak canduang dan Tarbiyah telaga ilmu dan hukum dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Keluasan ia dalam memahami tradisi dan Islam membuat ia menjadi salah satu sosok kunci dalam perkembangan Islam tradisional di Minangkabau.  Melenggendanya andagium Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tidak terlepas dari campur tangan ia dalam mensyiarkannya seantero Minangkabau.  Pengaruh personal Inyiak Canduang dan kaum tua yang lain memberikan efek luas kepada keberhasilan Perti  itu sendiri. Andagium ABS-SBK tersebut sesungguhnya adalah simbol pertalian adat dan syarak yang bisa dirumuskan dalam diksi “Islam Minangkabau”.

Ironinya, dalam umurnya yang ke 92 tahun, Perti secara organisasi sudah tercemar oleh banyak hal. Ia tidak lagi berada dalam keoriginalitasnya. Ia kadang dibelokan dan jamak dipatahkan dalam luhak pragmatisme dan avonturisme baik dari kader atau orang yang menompang dalam biduk besar Perti ini. Sudah semestinya sejarah dan semangat berdiri Perti dijadikan momentum mengembalikan pinang ketampuknya dan sirih kegagangnya dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Mengembalikan Perti kegagangnya bisa dimaknai mengembalikannya kedalam segala identitas dan pemakanaan keasaliannya. Karena pemaknaan itu lahir dari proses perjalan waktu yang lama dan tentu saja sudah teruji pada  zaman berdirinya.

Nilai itulah yang mesti mengristalisasi dalam membangun Perti untuk masa yang akan datang. Memaksakan rezim pemaknaan baru terhadap Perti yang tidak sejalan dengan keasaliannya akan mendorong ia kepada ketidakpastian identitas perjuangan. Ketika ketidakpastian identitas perjuangan terjadi maka yang terjadi adalah pemaksaan identitas baru yang mungkin sudah tercemar. Pembajakan ini tentu saja akan berdampak negatif bagi Perti. Kenegatifan itu pada akhirnya menjadikan umur 92 tahun itu tidak dimaknai tua lagi tapi “senja”. Atau mungin saja Perti ini akan terus menghiasi kanvas nusantara ini namun hanya “bak karakok di ateh batu” (hidup segan mati tak kunjung datang). Wallahu a’lam bishawab

Muhammad Taufik, Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang, Alumni MTI Candung dan Pengurus Yayasan Syekh Sulaiman Arrasuli

Exit mobile version