Royyan Mahmuda Daulay
Dalam surat Az-Zariyat (52) ayat ke-56, Allah menginformasikan kepada kita semua bahwa diciptakannya manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan penciptaan makhluk yang bernama Jin pun hanya untuk beribadah pada Allah. Ini pertanda bahwa Allah menciptakan seluruh ciptaanNya dengan kesamaan untuk beribadah kepadaNya melalui takarannya masing-masing. Artinya tidak ada makhluk yang sia-sia di bumi ini, karena semua diciptakan untuk beribadah dengan caranya sendiri.
Sebagai seorang manusia yang memiliki fitrah untuk beribadah maka sepantasnya kita menunaikannya. Tujuannya bukan sekadar melaksanakan kewajiban, apalagi hanya untuk mendapatkan keuntungan yang bersifat duniawi, tetapi lebih dari itu ibadah dilaksanakan agar mendapatkan ridha Allah Swt. Sehingga muncul mahabbah di dalam dada.
Ketika cinta telah mendominasi diri, maka ibadah kepada Sang Penguasa akan semakin bermakna. Akan muncul ketenangan jiwa yang berpangkal pada cinta. Karena dengan cinta, keikhlasan itu bukan hanya sekadar kata-kata. Tentu hanya dengan cinta yang kuat akan menghasilkan rasa tulus dan ikhlas. Sebagaimana bunyi salah satu syair dalam kitab Al-Lamaat yaitu, “Aku tidak mencari imbalan atas cinta. Sungguh lemah cinta yang mengharapkan balasan.
Artinya Cinta yang menuntut upah dan balasan itu tidak akan abadi. Sedangkan cinta yang kuat tidak perlu imbalan atau upah apapun, karena ia hanya punya rasa tulus ikhlas untuk mencintai. Ikhlas menjadi hal fundamental dalam perkara cinta, apalagi cinta kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam.
Nabi pun pernah bersabda, “Manusia sungguh celaka kecuali mereka yang berilmu. Yang berilmu pun celaka kecuali yang beramal. Yang beramal pun celaka kecuali yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas dihadapkan pada risiko yang besar. “
Dengan kata lain, sumber keselamatan adalah ikhlas. Maka berbuat ikhlas merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab amal kecil apa pun jika dilakukan dengan ikhlas akan lebih baik dalam pandangan Allah daripada amal berton-ton tetapi tidak ikhlas. Manusia baru menjadi ikhlas kalau ia menyadari bahwa yang membuatnya melakukan sebuah amal ibadah adalah perintah Ilahi dengan tujuan untuk mendapatkan ridha-Nya.
Kemudian ia tidak mencampuri urusan yang lain, termasuk urusan Tuhan. Baik dengan sikap merasa jemawa karena telah beribadah atau menilai ibadah orang lain, bahkan menyalahkannya. Karena semua tanggungjawab menilai dan memutuskan adalah kehendak Allah Swt. Sehingga yang muncul dalam kehidupan manusia adalah interaksi saling menghargai meskipun beribadah dengan tata cara yang berbeda. Karena tujuannya adalah ridha Ilahi semata, bukan pujian atau takaran manusia.
Wallahu a’lam bisshowab.
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta