Islam Berkemajuan, Apa Itu? (III)

Buya Syafii Maarif

Foto Dok Istimewa

Islam Berkemajuan, Apa Itu? (III)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Coba kita telusuri bagian mana saja dari arabisme itu yang berada dalam kategori positif dan konstruktif dan bagian mana pula yang negatif dan destruktif dengan menempatkannya dalam parameter al-Qur’an dan ajaran kenabian. Melalui cara ini diharapkan konsep “Islam Berkemajuan” itu akan mampu memilah secara kritikal bagian-bagian arabisme yang perlu dikembangkan dan dan bagian-bagian mana pula yang mesti ditolak dan dimasukkan ke dalam museum sejarah.

Langkah ini sesungguhnya sudah harus dilakukan sejak abad-abad awal sejarah Muslim, tetapi semuanya tidak terjadi karena arabisme dalam dalam dua kategori itu menyatu dengan proses ekspansi imperium Arab Muslim yang fenomenal yang berlangsung selama lima abad, dari abad ke-8 sampai sekitar abad ke-12, baik di kawasan bagian timur (berpusat Damaskus dan Baghdad) maupun di kawasan bagian barat (berpusat di Andalusia).

Dalam perspektif perkembangan peradaban, apa yang ditorehkan oleh Arab Muslim  di wilayah bagian timur, diawali oleh imperium Umayyah (661-749) yang kemudian diteruskan lebih hebat oleh imperium ‘Abbasiyah (749-1258) memang luar biasa. Ilmu pengetahuan, teologi, hukum, filsafat, seni, teknologi, dan sufisme berjalan beringan, sehingga era itu dengan bangga disebut sebagai “abad-abad emas Islam.”

Fenomena serupa juga berlangsung di wilayah bagian Barat: Andalusia di bawah imperium Umayyah (musuh ‘Abbasiyah yang terusir) selama lebih kurang tujuh abad untuk kemudian hancur berantakan. Seorang Iqbal pun meratapi kejatuhan peradaban Arab Muslim ini dalam puisi-puisinya, tetapi sepanjang bacaan saya, pemikir dan penyair besar ini tidak membedah lebih dalam sisi destruktif dari imperium di atas.

Pertanyaan saya adalah: apakah bangunan imperium yang dibalut agama ini punya perbedaan fundamental dengan imperium-imperium lain di dunia yang tidak pakai agama? Untuk kasus Umayyah dan ‘Abbasiyah, mana yang lebih dominan: cita-cita moral al-Qur’an tentang kehidupan kolektif atau arabisme yang bersumber dari warisan pra-Islam? Permusuhan sengit dan berdarah-darah antara sesama penguasa Arab Muslim bagi saya adalah bagian dari “misguided arabism” itu yang seharusnya ditolak, tapi ironisnya malah dipelihara sampai sekarang atas nama agama.

Ini adalah sebuah kesalahan fatal yang wajib dikoreksi secara jujur dan benar dalam upaya memberi bingkai baru yang segar kepada “Islam Berkemajuan” itu. Tanpa melalui pendekatan sejarah kritikal, maka ungkapan “perangkat-perangkat pemikiran Islam yang fundamental” tidak akan terungkap dengan terang benderang, tidak jelas mana arabisme yang positif dan mana pula arabisme yang salah jalan.

Begitu juga sikap serupa harus ditunjukkan dalam menilai imperium-imperium Muslim mana pun, seperti Turki Usmani, Safawi, dan puluhan rezim alit Muslim lainnya yang pernah dicatat sejarah, termasuk kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara yang dipengaruhi oleh pola arabisme, baik yang positif maupun yang destruktif. Sistem politik dinastik/kerajaan yang diarsiteki Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah pengkhianatan terbuka terhadap prinsip egalitarian dalam Islam. Ini adalah bagian dari arabisme yang buruk dan destruktif. Tetapi semangat para ilmuwan Muslim kelasik untuk mencari kearifan dari berbagai sumber dengan sikap terbuka termasuk arabisme yang positif yang layak diteruskan.

Dalam al-Muqaddimah Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa tiga dosa sejarah berupa kemewahan, kesombongan, dan kerakusan (“tiga k”) yang menyatu dengan sistem kekuasaan Muslim, baik dalam skala imperium maupun yang diidap oleh kerajaan-kerajaan kecil yang saling bertikai dan berperang adalah penyebab utama dari kehancuran sistem kekuasan Muslim itu.

Bagi saya “tiga k” ini tidak lain dari unsur arabisme yang lepas dari kawalan agama. Dalam ungkapan lain, “tiga k” ini adalah warisan kultur pra-Islam yang kemudian kambuh kembali di era Islam. Tragedi demi tragedi yang kini menimpa bangsa-bangsa Arab kontemporer ternyata punya akar sejarah puluhan abad yang silam. Ajaibnya, sebagian Muslim non-Arab juga turut terlibat dalam tragedi sejarah ini karena buta sejarah: tidak bisa membedakan mana Islam dan mana arabisme yang destruktif.

Akhirnya, para pendukung konsep “Islam Berkemajuan” harus piawai dan cerdas dalam menentukan antara realitas Islam sebagai agama yang mencerminkan cita-cita al-Qur’an dan mana pula arabisme yang negatif dan merusak. Dengan sikap ini terbukalah pintu yang sangat lebar untuk kembali merumuskan sebuah pemikiran Islam yang fundamental dalam upaya mewujudkan wajah komunitas-komunitas Muslim yang ramah, berwibawa, bermartabat, adil, dan dapat dicontoh pihak lain. Sinyal inilah barangkali yang disiratkan dalam konsep “ummatan wasathan” (komunitas tengah) sebagaimana tersebut dalam s. al-Baqarah: 143. Allâhu a’lam!

(Tulisan pernah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah 03/103, Februari 2018)

Exit mobile version