Saudaraku, sekitar sepuluh tahun yang lalu seorang guru besar Perguruan Tinggi Islam Negeri pernah mempopulerkan konsep berdagang hasil korupsi dengan Tuhan. Kalau ada orang yang korupsi kemudian mensedekahkan sebagian hasil korupsinya itu taruhlah sepertiga, maka dia akan untung di hadapan Allah.
Dalam al-Qur’an Allah menjanjikan bagi yang infaq di jalan Allah maka Allah menggantinya 700 kali. Seperti benih padi yang tiap butir bisa beranak tujuh dan tiap tangkai padi itu berisi 100 butir. Hal itu ada dalam Surat al-Baqarah ayat 261
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allahadalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Menurut para mufassir, pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah, dan lain-lain. Jadi, kalau kita memakai matematika al-Qur’an ini, koruptor itu tetap untung karena setiap satu kejahatan di hadapan Allah hanya dihitung satu. Sementara tiap satu kebaikan dihitung tujuh dan dikali seratus.
Tentu saja, konsep yang dikenalkan guru besar itu bukan begitu maksudnya. Saya yang beberapa kali mendengar pemaparannya tahu kalau konsep itu dimaksud. Yakni untuk menyindir dan mengingatkan adanya kerancuan cara berpikir sebagian umat Islam dalam menafsirkan pahala dan kejahatan. Di akhir ceramahnya, guru besar itu juga mengatakan bahwa Konsep berdagang hasill korupsi dengan Tuhan itu adalah logika yang salah dan sesat.
Namun, karena guru besar itu dikenal dan terlanjur diberi stigma oleh sebagian orang sebagai tokoh liberal, maka banyak pula yang menghujat sindirannya itu. Di luaran, banyak tersebar bahwa guru besar itu menyatakan bahwa korupsi itu tidak apa-apa karena cukup dengan disedekahi saja, maka dia akan diampuni oleh Allah. Tampaknya, penyebar isu tidak mengikuti atau menyimak semua paparan sang guru besar sampai selesai, maka dia salah paham.
Akan tetapi, kerancuan berpikir seperti itu tampaknya masih banyak diamalkan oleh sebagian orang. Sekitar dua tahun yang lalu kita dikejutkan dengan adanya berita sebidang tanah lapang milik pondok pesantren ternama di Yogyakarta diberi segel penyitaan oleh KPK. Seorang tersangka koruptor di Madura juga dikenal dermawan dalam membantu pembangunan masjid. Tampaknya, orang-orang sedang mencoba berdagang hasil korupsi dan melakukan kejahatan dengan Tuhan. Pola pikir logika al-Qur’an yang diakali itu juga banyak diikuti orang Islam.
Saudaraku, pada zaman Jawa Kuno, masa Kerajaan Kediri hal seperti itu juga pernah terjadi. Setidaknya, hal itu terekam dalam Kitab Lubdaka yang dikarang oleh seorang cendekiawan, Resi Tanakung. Konon kitab itu ditulis Tanakung untuk mengikuti lomba menulis cerita yang diadakan oleh Raja Kediri.
Ada banyak versi di balik kisah penulisan kitab ini. Salah satunya adalah karena pada masa itu para pejabat banyak yang berkepribadian ganda. Di satu sisi, mereka sangat agamis, memuja dewa plihan raja secara total. Dewa-dewa lain yang dulu mereka sembah disingikirkan dan diganti dengan sosok dewa pilihan Raja. Mereka tidak pernah absen memberi persembahan kepada para dewa pilihan Raja. Bahkan, mereka membuat patung dewa itu di mana-mana. Para pejabat itu juga sangat loyal dan setia kepada Raja. Apa pun yang diinginkan sang Raja selalu didukung. Walaupun salah, tetap diupayakan dalih supaya kebijakan Raja itu terlihat benar. Sedangkan, di sisi yang lain, mereka sangat kejam terhadap rakyat. Rakyat dicekik dengan berbagai pajak yang memberatkan. Rakyat sering dikerahkan untuk bekerja paksa untuk membangun tempat-tempat suci. Rakyat dipaksa untuk hormat dan patuh pada semua kemauan pejabat.
Dalam kitab itu, Resi Tanakung menceriterakan Kisah Lubdaka yang masuk surga. Dalam cerita rekaan itu, Lubdaka disebut sebagai seorang pemburu binatang yang setiap hari membunuh untuk kehidupannya sendiri. Setiap hari, dia terus melakukan kejahatan demi kejahatan. Sepanjang hidupnya dia tidak pernah berbuat baik sama sekali. Oleh karena kejahatan demi kejahatan yang telah dia lakukan, dewa neraka sudah sangat rindu untuk menghajarnya di dalam neraka yang paling dalam. Namun, dewa neraka itu harus menunggu kematian Lubdaka.
Hingga suatu hari Lubdaka masuk ke hutan untuk berburu. Hari itu adalah hari yang malang bagi Lubdaka dia tidak mendapatkan seekor buruan pun. Bahkan dia juga tersesat di dalam hutan. Malam pun datang, dan Lubdaka harus tidur di atas pohon di tepi telaga. Lubdaka tidur dalam keadaan lapar, maka tidurnya pun gelisah. Dalam kegelisahannya itu, dia menjatuhkan sehelai daun yang langsung jatuh melayang di dalam telaga dan menimpa sebuah batu yang menyerupai simbol dewa tertinggi. Yang menurut kepercayaan dalam agama para dewa, tindakan menutup simbol dewa tertinggi dengan daun atau bunga merupakan bentuk peribadatan.
Malam itu adalah malam suci dalam agama para dewa. Mungkin mirip dengan malam lailatul qadar dalam Islam. Malam yang penuh rahmat dan kemuliaan. Namun, malam itu juga penuh godaan, sampai hanya satu orang saja yang bisa beribadah. Sebagai balasannya, Dewa tertinggi berjanji bahwa siapa pun yang pada malam itu beribadah padanya maka dia akan langsung masuk surga tertinggi.
Pagi pun menjelang. Lubdaka kembali melanjutkan kehidupannya yang penuh kejahatan. Sampai suatu hari dia pun mati. Saat itu juga, dewa neraka langsung menyeret jiwa Lubdaka ke neraka secara kasar. Kerinduan untuk segera menghajarnya akan segera bisa dipuaskan. Namun, belum sempat dia beranjak, Dewa surga menghadangnya sambil membuka kitab hukum tentang janji dewa tertinggi bagi manusia yang beribadah di malam suci. Dewa neraka pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan terpaksa, ia merelakan Lubdaka yang tertawa sombong ditandu ke surga tertinggi.
Saat itu, Raja sangat senang dengan karya Resi Tanakung dan menjadikannya karya ini sebagai juaranya. Kita tidak tahu apakah dengan cerita itu Raja tersadar bahwa selama ini dia di-ninabobo-kan oleh para pejabatnya.
Tampaknya, pola pikir a la Lubdaka ini juga kembali mewabah, terutama di dalam bulan Ramadhan seperti saat ini. Artis-artis yang biasanya tampil seronok berganti gaya dengan memakai jilbab. Para selebriti yang biasanya pamer berbelanja ini-itu atau berwisata ke Eropa mengubah kebiasaannya dengan rajin berderma ke panti asuhan atau umrah ke tanah suci.
Saudaraku, kita tidak boleh memandang sinis pada perilaku itu. Kita doakan saja semoga ibadahnya itu bermanfaat dan membekas di jiwanya, sehingga dia benar-benar berubah. Namun, kita juga tidak boleh meniru Lubdaka. Karena dalam Islam, orang yang sudah bertobat namun kembali jahat tidak akan dijamin masuk surga. Dalam agama Islam, pertobatan yang diterima adalah pertobatan yang diniati dan kejahatannya itu tidak diulangi lagi.
Isngadi Marwah Atmadja, Catatan Bulan Suci, Kumpulan Bahan Kultum Ramadhan