Oleh: M Husnaini
“Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.”
Pelajaran keenam dari 7 Falsafah Ajaran KH Ahmad Dahlan ini dicatat KRH Hadjid (2013) tanpa diberi keterangan sama sekali di bawahnya. Boleh jadi dianggap sudah jelas maksudnya, atau karena intinya sudah terangkum dalam beberapa penjelasan di bagian lain.
Kepemimpinan adalah tugas yang sering dibicarakan KH Ahmad Dahlan. Bisa dipahami, karena pemimpin adalah faktor utama dan pertama dalam komunitas atau masyarakat di mana pun. Dalam ajaran Islam, jika beberapa orang melakukan perjalanan, Rasulullah perintahkan agar diangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.
Kualitas pemimpin sangat menentukan masa depan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin berbeda dari manusia umumnya. “Apabila tindakanmu dapat menginspirasi orang lain untuk bercita-cita lebih tinggi, belajar lebih semangat, dan bekerja lebih produktif, engkaulah pemimpin”. Kutipan kalimat dari Zaigham Abbas, seorang pakar Gastroenterologi dari Pakistan, tersebut menegaskan bahwa pemimpin, minimal, harus seorang yang ispiratif.
Negara Madinah menjadi teladan dalam peradaban karena Rasulullah memang pribadi hebat dalam segala bidang dan urusan. Kebesaran Islam hingga kini juga cermin kehebatan Rasulullah sebagai pembawanya. Belum ada pemimpin di dunia yang mengungguli kesuksesan Rasulullah.
KH Ahmad Dahlan menyadari itu, dan dia sering mengutip ungkapan ulama besar Abu Hamid Al-Ghazali, “Kerusakan rakyat disebabkan kerusakan raja-raja (pemimpin-pemimpin negara), dan kerusakan raja-raja disebabkan kerusakan ulama (karena tidak berani memberikan nasihat).”
“Apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama baik,” lanjut KH Ahmad Dahlan, “maka baiklah alam. Dan apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama rusak, maka rusaklah alam dan negara (masyarakat dan negara).”
Dalam kaitan itu, KH Ahmad Dahlan senantiasa mengajak setiap kita untuk memperbaiki diri, dan kemudian memperbaiki orang lain. Jadi, sebelum mengajak orang lain untuk menjadi baik, diri sendiri harus mau dan mampu berbuat baik terlebih dahulu. Membersihkan masyarakat itu dimulai dari membersihkan diri sendiri.
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” tegas Al-Qur’an surah At-Tahrim/66: 6. Jadi, hanya orang selamat yang dapat menyelamatkan orang lain. Logika sederhana, bagaimana mungkin menyelamatkan orang tenggelam di dalam sumur kalau diri sendiri belum mentas atau malah hampir tenggelam.
Tetapi, harus diakui, menjadi pemimpin memang sulit. Menjabat ketua dalam sebuah organisasi, komunitas, paguyuban, perkumpulan, dan semisalnya tidak otomatis menyebabkan seseorang disebut pemimpin. Banyak ketua-ketua suatu organisasi yang sebenarnya belum pas disebut pemimpin.
Secara manajerial, misalnya, seorang pemimpin tidak sekadar mampu merangkul. Banyak konflik mencuat tidak dapat reda hanya sekadar dirangkul. Manakala hanya dirangkul, sering kali pihak-pihak yang terlibat konflik malah pukul-pukulan dalam rangkulan pemimpin. Lebih dari sekadar itu, pemimpin harus mampu memutuskan pilihan yang paling bagus di antara yang paling buruk.
Bahkan, dapat diamati bahwa dahsyatnya konflik yang melanda suatu organisasi sebetulnya cermin kegagalan pemimpinnya. Mengambil hikmah dari setiap konflik yang terjadi itu bagus. Tetapi, pemimpin tidak cukup bersikap begitu. Pemimpin harus tegas mengambil sikap. Tidak boleh mencari aman. Menyenangkan semua orang itu karakter pedagang, bukan pemimpin.
Menjadi pemimpin, seperti orang Jawa bilang, harus mampu manunggaling kawula lan Gusti. Ungkapan filosofis ini bermakna jika seorang pemimpin mengaku cinta Allah, berarti harus pula cinta ciptaan-Nya, yaitu rakyat. Jika tidak, cintanya palsu belaka. Ikatan batin antara pemimpin dan rakyat akan terjalin ketika kesadaran akan Allah memenuhi hati seorang pemimpin.
Jangan jauh-jauh dari Allah karena rakyat akan sengsara. Sebaliknya, pemimpin tidak boleh melukai rakyatnya karena Allah pasti marah. Pemimpin sejati harus merupakan penjelmaan cita-cita rakyat. Tauhidnya vertikal sekaligus horizontal. Bukan lisan fasih berucap Allah, namun praktiknya justru menyelingkuhi Allah dengan cara selalu menindas rakyatnya.
KH Ahmad Dahlan bergerak di wilayah agama, pendidikan, dan sosial. Dia begitu mengakar dalam masyarakat, dan berhasil. Keberhasilan KH Ahmad Dahlan, menurut Asrofie (2005), karena kualitas pribadi yang menonjol. KH Ahmad Dahlan sosok yang berani berjuang dan mempertahankan kebenaran. Keikhlasan dan pengorbanannya dalam berjuang begitu menyentuh hati banyak orang, sehingga tidak sedikit yang kemudian tergerak untuk membantunya.
M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia