Hukum Menyembelih Hewan untuk Selamatan Kematian yang Diniatkan Akikah

kurban

Foto Dok Jawara Aqiqah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya Kasri Lilmutakin dari Bima NTB dan pernah sekolah di Mts Muhammadiyah. Saya mau tanya:

Bagaimana hukumnya bila hewan kambing yang akan disembelih untuk doa selamatan arwah keluarga yang meninggal diniatkan disembelih untuk akikah. 

Terima kasih mohon penjelasannya

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wr. wb.

Hukum hewan yang disembelih untuk selamatan arwah keluarga yang meninggal yang diniatkan untuk akikah. 

Untuk pertanyaan kedua ini, ada dua persoalan serius yang perlu dipahami, yaitu; pertama terkait dengan hukum melakukan ritual baik dengan menyembelih hewan maupun ritual tertentu bagi keselamatan arwah keluarga yang sudah meninggal dunia. Dalam Islam sudah dijelaskan dengan sangat tegas bahwa keselamatan seseorang itu tergantung pada keimanan dan amal saleh yang dilakukannya pada saat hidup di dunia, bukan karena amalan orang lain maupun kiriman doa keselamatan dengan melakukan ritual-ritual tertentu dan pada hari-hari tertentu. Andaikan keselamatan arwah orang yang meninggal dunia dapat diwujudkan oleh orang lain dengan ritual-ritual tertentu, maka sejahat apapun seseorang akan selamat di akhirat, karena keluarganya telah menyembelihkan hewan untuknya dan mengundang orang banyak untuk melakukan amalan tertentu dan mendoakan keselamatannya. Padahal di dalam al-Qur’an telah ditegaskan:

… وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ [الأنعام، 6: 164]

… Dan tidaklah seorang berbuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan [QS. al-An‘am (6): 164].

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى . وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى [النجم، 53: 38-39].

Bahwasanya orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya [QS. an-Najm (53): 38-39].

Mendoakan keselamatan seorang muslim yang telah meninggal dunia merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam terlebih lagi jika yang meninggal dunia itu orang tua sendiri. Namun mendoakan orang yang meninggal dunia itu bukan dilakukan dengan cara-cara yang dilarang agama, seperti dengan menyembelih hewan untuk acara-acara atau ritual tertentu dan pada hari-hari tertentu. Mendoakan orang yang meninggal dunia dapat dilakukan kapan saja, terutama oleh anak dan anggota keluarganya, terlebih lagi di setiap selesai melaksanakan shalat fardu. Selain itu, hal-hal yang dapat menyelamatkan seseorang setelah meninggal dunia adalah amal saleh yang dilakukan semasa hidupnya, ilmu dan kebaikan yang diperbuat untuk orang lain, dan anak-anak saleh hasil didikannya. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an dan hadis berikut ini:

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ [العصر، 103: 1-3].

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mereka melakukan amal-amal shaleh, dan mereka saling menasehati dengan kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran. [QS. al-‘Ashr (103): 1-3].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak saleh yang selalu mendoakannya [HR. Muslim].

Masih banyak lagi ayat dan hadis Nabi saw. yang menjelaskan tentang persoalan ini, yang intinya adalah; melakukan amalan tertentu baik dengan menyembelih hewan maupun melakukan ritual tertentu dan pada hari-hari tertentu dalam rangka keselamatan arwah seseorang yang sudah meninggal dunia, atau yang di dalam masyarakat sering disebut tahlilan merupakan perbuatan yang tidak memiliki dasar bahkan termasuk perbuatan bid’ah. Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 dijelaskan; mengadakan tahlilan dengan memasak makanan yang kadang-kadang mengadakan (memberatkan) bagi orang yang tidak mampu bila kena musibah kematian keluarga juga tidak dijumpai dalam amalan Nabi. Bahkan kita jumpai keterangan sahabat bahwa di masa sahabat mengadakan pertemuan dan pembuatan makanan setelah jenazah dikubur termasuk perbuatan meratap yang dilarang [HR. Ahmad].

Selain itu, perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan terhadap keluarga yang ditinggal mati oleh salah seorang anggota keluarganya adalah menghiburnya, memberikan motivasi / kekuatan dan kesabaran, serta membawakan mereka makanan atau sesuatu untuk mengurangi beban dan kesedihan mereka, bukan sebaliknya membebani mereka karena tuntutan tradisi dan adat istiadat masyarakat. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ [رواه أبو داود والترميذي وابن ماجة و أحمد].

Dari Abdullah bin Ja’far (diriwayatkan), ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad].

Persoalan kedua, yaitu menyembelih hewan untuk keselamatan arwah orang yang telah meninggal dunia diniatkan untuk akikah. Jika yang dimaksud dengan pertanyaan saudara adalah ketika hewan itu akan disembelih lalu pihak keluarga yang menyembelih hewan tersebut meniatkannya untuk akikah, sebagai upaya untuk mengubah tradisi dan niat yang keliru sesuai dengan kemampuan yang bisa dilakukan, maka hal ini termasuk salah satu upaya mengubah penyimpangan sesuai dengan kesanggupan saudara. Mengubah sesuatu yang keliru terkadang harus dilakukan secara bertahap dan membutuhkan strategi. Hal ini selaras dengan spirit yang diajarkan oleh Nabi saw., sebagai berikut:

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ …سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ [رواه مسلم].

Dari Thariq bin Syihab (diriwayatkan) dari Abi Said; Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman [HR. Muslim].

Namun perlu ditegaskan di sini bahwa niat akikah itu disunnahkan untuk anak yang berumur tujuh hari dari hari kelahirannya dan bukan akikah untuk orang yang meninggal dunia sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Tentu lebih ideal lagi jika sanggup mengubah tradisi tersebut dengan tegas dan nyata namun tetap mengedepankan dialog dan sikap yang bijaksana (bil hikmah wal mau’izhah al-hasanah), sehingga tidak perlu lagi secara sembunyi-sembunyi dan berkilah dengan mengubah niat selamatan arwah menjadi niat akikah.

Tetapi, jika maksud dari pertanyaan saudara adalah menggabungkan niat menyembelih hewan untuk keselamatan arwah orang yang telah meninggal dunia sekaligus juga diniatkan untuk akikah, maka tentu ini merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat. Jangankan melakukan hal seperti itu, seseorang berkurban lalu diniatkan untuk akikah saja dalam pendirian Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, termasuk perbuatan yang tidak diperbolehkan. Artinya, menggabungkan dua jenis ibadah yang sama-sama memiliki landasan hukum dalam Islam seperti berkurban dan akikah, namun karena memiliki dasar dan tujuan sendiri-sendiri – maka hal tersebut tidak boleh digabungkan untuk dua niat sekaligus. Secara mafhum aulawi (logika maksimalnya) menggabungkan niat antara perbuatan dan ritual yang terlarang dengan akikah yang disyariatkan maka tentu hal ini jauh lebih dilarang dalam agama, karena ini termasuk mencampur baurkan antara kebenaran dengan kebatilan. Padahal al-Qur’an telah menegaskan dalam surat al-Baqarah (2): 24 sebagai berikut:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة، 2: 42].

Dan janganlah kamu mencampurbaurkan antara kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kamu sekalian menyembunyikan kebenaran padahal kamu sekalian mengetahuinya [QS. al-Baqarah (2): 24].

Dengan demikian kami berpendapat bahwa penyembelihan hewan untuk keselamatan arwah orang yang telah meninggal dunia hukumnya dilarang, begitu pula menggabungkan niat penyembelihan tersebut untuk akikah hukumnya juga dilarang. Namun dalam kondisi tertentu, jika saudara belum sanggup mengubah hal tersebut, lalu saat menyembelih hewan bapak niatkan untuk akikah anak yang masih berusia tujuh hari, maka hal ini termasuk salah satu upaya mengubah sesuatu yang tidak benar dengan cara bertahap, sembari mencari cara terbaik untuk mengubah hal-hal yang dilarang oleh agama dengan cara yang lebih jelas dan tegas namun tetap mengedepankan dialog dan sikap yang bijaksana (bil hikmah wal mau’izhah al-hasanah) sehingga semua orang mendapatkan pencerahan dari upaya yang dilakukan.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2018

Exit mobile version