Mewariskan Keimanan

Bahrus Surur-Iyunk

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَآءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ ٱلْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنۢ بَعْدِى قَالُوا۟ نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِسْحَٰقَ إِلَٰهًا وَٰحِدًا وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu menyaksikan ketika Yaqub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: `Apa yang kamu sembah sepeninggalku?` Mereka menjawab: `Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.`(QS. 2:133)

Ayat ini mengingatkan kepada umat Islam untuk memikirkan keyakinan dan keimanan anak cucunya. Nabi Ya’kub tidak bertanya, “Apa yang akan kamu makan sepeninggalku?” atau “Rumah mana yang akan kamu tempati sepeninggalku?” Namun, ia bertanya untuk memastikan ulang“apa yang akan kamu sembah dan yakini sepeninggalku?” Dan inilah yang membuktikan betapa iman itu lebih berharga dari dunia seisinya.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, suatu saat Muqatil bin Sulaiman mengunjungi khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (95-158 H) di hari pertama ia diangkat sebagai khalifah. Ia menggantikan Khalifah Abul Abbas As-Saffah. Khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah tersebut meminta kepada Muqatil, “Beri saya nasehat, wahai tuan guru.”

Muqatil bertanya, “Nasehat apa? Dari kejadian yang aku saksikan atau dari cerita yang aku dengar?” khalifah menjawab, “Tentu saja dari pengalaman yang anda saksikan sendiri.”

“Baiklah wahai Amirul Mukminin. Saya akan sedikit bercerita. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memiliki 11 anak. Ketika ia wafat meninggalkan warisan hanya 18 dinar. Itupun masih dikurangi 5 dinar untuk membeli kain kafan dan 4 dinar untuk membeli tanah makam. Sisanya 9 dinar dibagi kepada semua ahli warisnya. Sementara itu, Hisyam bin Abdul Malik, yang menjadi khalifah 4 tahun setelah Umar wafat, juga memiliki 11 anak. Ketika ia meninggal, tiap anaknya mendapat warisan 1 juta dinar. Sungguh, demi Allah, di satu hari yang sama aku menyaksikan sebuah ironi. Yaitu, salah satu putra Umar bin Abdul Aziz bersedekah 100 ekor unta untuk jihad fi sabilillah. Sedangkan salah satu putra Hisyam bin Abdul Malik mengemis di pasar.”

Dengan pertanyaan retoris Ibn Sulaiman melanjutkan ceritanya, “Lalu apa rahasianya? Ketahuilah, ketika Umar bin Abdul Aziz sekarat menjelang ajal, ia ditanya: ‘apa yang kau wariskan untuk anak-anakmu?’ Sang khalifah menjawab, ‘Aku wariskan takwa untuk mereka. Jika mereka menjadi orang-orang yang shalih, Allah akan menolong mereka. Andai mereka menjadi orang yang tidak baik, paling tidak aku tidak menyisakan warisan yg bisa mereka gunakan untuk bermaksiat.’”

Sesungguhnya yang benar-benar akan menjadi milik kita hari ini dan nanti adalah harta yang pernah kita infakkan dan sedekahkan di jalan Allah. Sementara itu, yang kita tinggalkan akan dimiliki oleh anak cucu kita. Itupun kalau tidak dijadikan ajang rebutan di antara anak cucu. Karenanya, orang boleh mewariskan harta yang berlimpah. Tetapi, jika anaknya tidak berilmu maka harta itu akan habis juga. Atau, meskipun berilmu tapi tidak kokoh imannya, maka harta itu akan digunakan untuk kemaksiatan di dunia sehingga tidak berkah dan akan cepat habis juga. Maka, warisan terbaik untuk anak cucu tetaplah iman. Jika kaya, ia akan menggunakan kekayaannya dengan baik dan mengantarkannya ke surga. Jika miskin, ia akan tetap sabar dalam menjalankan hidupnya di jalan Allah.

Dalam QS. An-Nisa:9, Allah menyindir, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah (imannya), yang mereka justru khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Hingga di sini, pendidikan agama menjadi sebuah keniscayaan.

Wallahu a’alam

Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2016

Exit mobile version