Ramadhan Mencekam bagi Muslim di Sudut Afrika Barat

BURKINA FASO, Suara Muhammadiyah – Bulan Ramadhan adalah momen yang dinantikan semua umat Muslim di dunia. Khususnya momen yang mana diwajibkannya seluruh umat Muslim berpuasa selama satu bulan. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa di antara umat Muslim dunia yang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan dengan kondisi baik-baik saja dan dengan berbagai kemudahan, ada sebagian lain yang terpaksa menjalankan ibadah Ramadhan ini dengan kondisi yang sulit.

“Di momen buka puasa malam ini Karim Bamago tidak akan makan apa pun. Malah, ia hanya akan minum air dan kopi bersama istri juga lima anaknya,” dilansir dari Republika (4/5).

Inilah yang dirasakan oleh Karim, salah satu pengungsi internal atau internally displaced people (IDP) di Burkina Faso, sebuah negara di wilayah Afrika Barat. Dalam makna resmi dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) internally displaced people (IDP) adalah pengungsi yang tidak melintasi perbatasan dari negaranya untuk menemukan keselamatan. Berbeda dengan pengungsi pada umumnya mereka melakukan pelarian dari rumah mereka.

IDP ini tetap berada dan tinggal di negara mereka sendiri serta tetap berada di bawah perlindungan pemerintahnya, jika pun mereka pindah itu pun merupakan karena pemerintahnya sendiri. Meski tidak melewati batas negara, tapi mereka sering berpindah-pindah tempat ke daerah-daerah pelosok yang sulit dijangkau untuk diberikan bantuan kemanusiaan. Akibatnya menurut UNHCR, para IDP ini ialah orang-orang yang termasuk paling rentan di dunia.

Kondisi memprihatinkan ini pula yang membuat mereka sulit sekali untuk menjalankan ibadah di bulan Ramadhan dengan baik. Hebatnya, mereka tetap melaksanakan puasa meski pun kemudian mereka tidak tahu dengan apa mereka harus berbuka dan sahur.

“Saya melaksanakan puasa, tetapi sulit untuk berpuasa mengetahui bahwa pada akhirnya tidak ada apa-apa,” kata Karim, pria dengan umur 30 tahun itu.

Mereka harus menghadapi kondisi lebih buruk lagi bahwa Ramadhan tahun ini juga terjadi pandemik Covid-19 yang mengakibatkan pasokan makanan untuk mereka terganggu. Dalam laporan Al Jazeera (3/5), Karim mengaku berkali-kali, berbuka puasa bagi mereka bisa berarti tidak lebih dari sekedar minum.

Jumlah makanan yang didistribusikan oleh agen-agen bantuan kepada mereka, “tidak mencukupi untuk semua orang, jadi beberapa tidak mendapatkannya,” ungkap Karim, dalam laporan Al Jazeera, dari kamp pengungsi di Barsalogho, sebuah kota di utara Burkina Faso.

Bukan hanya terkait pasokan makanan kata Karim, pasokan air di wilayah tersebut juga menjadi masalah. Jangankan air untuk wudhu, penduduk kamp bahkan hampir tidak punya cukup air untuk diminum. Sulit bagi mereka untuk menjalankan ibadah dengan baik. Sulitnya air ini bahkan juga mengakibatkan mereka mustahil bisa mengikuti himbauan untuk senantiasa mencuci tangan agar terhindar dari virus corona yang bisa menjangkiti mereka.

Bertahan Dibalik Ancaman Kekerasan dan Covid-19

Burkina Faso dalam beberapa tahun terakhir dicengkeram oleh konflik yang meningkat dan kompleks yang telah menyebar ke beberapa negara lain termasuk Niger dan Mali. Situasi keamanan di sana semakin memburuk, yang telah memaksa sekitar 800.000 orang Burkina pindah dari kediamannya dan menjadi pengungsi. Hal ini kemudian juga malah mempersulit respons negara terhadap COVID-19.

Secara khusus, masyarakat yang berada di wilayah bagian utara dan timur Burkina Faso dihadapkan dengan ancaman ganda pandemi. Pertama ialah kasus kekerasan dari konflik etnis yang semakin memburuk, bahkan tahun 2019 telah menewaskan lebih dari 2.000 penduduk.

Krisis keamanan dimulai pada 2012 ketika aliansi kelompok separatis dan bersenjata mengambil alih Mali utara, melawan intervensi militer oleh bekas wilayah kolonial Prancis untuk menghentikan mereka masuk ke arah ibukota Mali, Bamako, dan mencegah keruntuhan total di negara Mali.

Namun pertempuran telah menjadi semakin buruk dalam beberapa tahun terakhir karena kelompok-kelompok bersenjata telah memperluas jangkauan mereka hingga masuk ke negara Burkina Faso. Mereka mengatasnamakan kemiskinan, agama, dan etnis untuk melakukan perekrutan dalam kelompok mereka.

Ada banyak aktor yang terlibat dalam kasus ini. Setidaknya ada dua aktor utama di balik serangan yang semakin canggih dalam beberapa tahun terakhir adalah Jama’at Nasr al-Islam wal Muslimin (JNIM) yang punya hubungan dengan Al Qaeda dan ISIL yang berafiliasi dengan Islamic State in the Greater Sahara (ISGS).

Hal semacam ini membuat masyarakat Burkina Faso harus lari dari tempat tinggalnya untuk mencari wilayah aman untuk mereka berlindung. Barsalogho adalah tempat yang relatif aman bagi Karim Bamogo, dan masyarakat Burkina Faso lainnya, setelah desa di dekatnya diserang oleh para kelompok bersenjata tahun 2019 lalu, yang kala itu telah menewaskan sekitar 15 orang.

Kebanyakan pengungsi di Barsalogho tinggal di dalam tenda-tenda yang ditutupi oleh terpal biru atau mereka juga menempati rumah-rumah milik penduduk setempat. Beberapa di antara rumah pendidik hanya memiliki satu atau dua kamar yang menampung hingga 20 orang.

Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi mereka. Terlebih saat ini mereka juga harus menghadapi ancaman kedua yaitu ancaman Covid-19. Hingga saat ini (12/5) tercatat ada 760 kasus penduduk di Burkina Faso yang terinfeksi virus ini dan setidaknya ada 50 orang yang meninggal dunia.

Meskipun di kota Barsalogho sendiri belum mengonfirmasi adanya kasus COVID-19, namun banyak pengungsi yang mengatakan mereka hidup dalam ketakutan bahwa virus corona akan segera tiba.

Pasar di Barsalogho telah ditutup oleh pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus, membuat akses terhadap stok makanan semakin sulit bagi penduduk lokal dan IDP. Harga makanan di pasar di Burkina Faso bahkan mulai naik dengan cepat sejak negara itu melaporkan kasus virus corona pertama pada awal Maret lalu.

Sebagian Masyarakat tetap Berzakat

Di Burkina Faso ada sekitar 12,5 juta Muslim (sekitar 61,5 persen dari populasi seluruhnya) yang tentu saja melaksanakan ibadah Ramadhan. Tahun ini, banyak dari mereka pula yang memberi zakat dengan menyediakan makanan serta tempat tinggal bagi para pengungsi.

Di Kaya, kota lain di utara negara Burkina Faso, di mana lebih dari 80.000 pengungsi tiba dalam beberapa bulan terakhir, banyak dari mereka yang terlantar akibat konflik dan tinggal di rumah-rumah penduduk daripada di kamp.

Madiega Dianbende, seorang pemimpin wilayah pengungsian di Kaya yang mengurus beberapa ratus pengungsi, mengatakan “Saya selalu punya jus, bubur dan juga to (kue yang terbuat dari millet, sorgum atau jagung) … Banyak orang datang,” tuturnya.

Madiega dan penduduk di wilayah tersebut lainnya telah membuka rumah mereka bagi para pengungsi yang datang dari pedesaan di wilayah sekitarnya. Para IDP tidur di markas penduduk setempat dan mereka yang tidak memiliki makanan berbuka puasa akan disediakan makanan oleh pemimpin wilayah pengungsian masing-masing. Dalam hal ini Madiega merupakan pemimpin wilayah sektor 6 dari beberapa sektor pengungsian yang ada.

Dalam curahan hatinya kepada Al Jazeera (3/5) ia menjelaskan bahwa zakat adalah bagian penting dari Ramadhan. “Sangat penting untuk berbagi, terutama saat ini tahun ini. Ini hanya tentang memberikan apa yang kita bisa, uang makanan, dan apa pun” jelasnya.

Ia mengatakan ada cukup makanan untuk diberikan sekarang, tetapi dia juga menambahkan bahwa “Ini benar-benar tidak cukup.” Hal ini disebabkan karena pandemik Covid-19 yang menyebar luas, orang-orang harus menjaga jarak untuk pergi ke daerah-daerah lain, sehingga orang-orang yang biasanya mengirim mereka stok makanan semakin sedikit. Tentu hal ini mengakibatkan stok makanan mereka pun semakin sedikit.

“Penyakit ini telah mengubah segalanya. Mereka yang membawakan kami makanan sebelumnya semakin sedikit,” ungkap Madiega.

Ini merupakan kondisi yang sangat sulit bagi masyarakat Muslim di Burkina Faso. Setidaknya ada lebih dari dua juta orang membutuhkan bantuan makanan, setidaknya bagi Karim Bamago yang mengungsi di wilayah Barsalogho.

Karim Bamago ketika ditanya apakah Ramadhan ini akan menjadi pengalaman yang menggembirakan tahun ini, Bamago menjawab: “Tidak, ini tidak akan sama dengan Ramadhan sebelumnya,” ungkap Karim sembari mengenang tentang nasi dan bubur yang dia miliki untuk buka puasa di tahun-tahun sebelumnya.

“Kami hanya berdoa kepada Tuhan untuk membantu menjaga kami aman dari virus corona ini,” tambahnya. (ran)

Exit mobile version