Untuk memutuskan rantai penularan virus COVID-19, pertemuan-pertemuan yang memicu kerumunan ditiadakan. Mobilitas penduduk dibatasi. Teritorial warga bahkan disekat-sekat. Yang terlanjur bergerak melintasi batas teritorial warga diperiksa kualitas kesehatannya untuk memastikan apakah dia tertular dan potensial menulari anggota keluarga atau tetangga atau tidak. Yang terlanjur melakukan kontak fisik pun dicatat dan juga diperiksa kualitas kesehatan dia, berkali-kali untuk memastikan dia aman dari virus dan aman kembali berkumpul bersama keluarga di rumah.
Dari kegiatan-kegiatan memutuskan rantai penularan dan memudahkan proses penyembuhan serta pemulihan kualitas kesehatan bagi yang terkena virus maka dibuatlah kategori-kategori status mereka. Juga dibuat peta catatan untuk melacak alur penularan yang sangat lain bernama cluster, zona merah dan sebagainya.
Aturan yang berurusan dengan proses teknis pencegahan penularan disebut protokol kesehatan. Aturan yang berurusan dengan pembatasan mobilitas penduduk disebut PSBB, pelarangan mudik, pelarangan operasi transportasi dan sejenisnya.
Sementara itu angka-angka yang menunjukkan fluktuasi kondisi penularan, penanganan medis dan kondisi pasca penanganan medis terus diumumkan oleh otoritas resmi bernama lembaga gugus tugas. Dengan latar belakang kondisi situasi darurat virus, maka ditempuh berbagai kebijakan oleh otoritas keagamaan (termasuk organisasi kemasyarakatan keagamaan) dan otoritas kenegaraan yang intinya menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan individu, umat dan warga negara.
Bekerja di rumah, beribadah di rumah, proses pendidikan di rumah, berekspresi dan berkomunikasi di rumah dan dari rumah. Ini yang kemudian membuat tempat ibadah sepi dari kegiatan berjamaah, tempat pendidikan sepi dari proses belajar-mengajar, pasar sepi dari proses transaksi jual-beli, panggung kesenian sepi dari aktivitas pementasan, kampus sepi dari kegiatan perkuliahan dan jalan-jalan sepi dari kegiatan lalu lintas, mall ditutup untuk mencegah menjadi cluster penularan baru.
Maka yang kemudian dirasakan adalah ekonomi lumpuh atau mati suri, kegiatan berseni budaya macet, syiar agama tidak kelihatan, kegiatan pendidikan menjadi kegiatan yang hening di rumah-rumah. Yang ramai adalah kegiatan sosial yang intinya bergerak menolong sesama manusia yang terdampak secara langsung atau tidak langsung karena pandemi virus.
Juga yang ramai tapi tidak gaduh adalah kegiatan menyimak televisi dan komputer dan handphone. Intinya kegiatan manusia cenderung mundur dari arena atau ranah publik, bergerak mundur memasuki ranah domestik dan mundur serta bertahan di ranah privat.
Awalnya terasa menyenangkan dan menyegarkan karena adanya pengalaman baru dalam kehidupan yang serba dilakukan di rumah ini. Berbagai eksperimen dan ekspresi individual dilakukan di rumah.
Setelah bulan demi bulan ada yang kemudian merasa menjadi biasa dengan situasi dan kondisi di rumah itu. Tetapi ada yang kemudian merasa jenuh dengan terus-menerus tinggal di rumah, dan mancari kesempatan untuk bersosialisasi.
Misalnya dengan bersepeda keliling kota, berbelanja sekadarnya di pasar atau warung-warung yang buka, atau mengunjungi sawah ladang di dekat rumah, dan sebagainya.
Atau hadir di pertemuan, rapat, seminar, dialog online, membaca media digital dan sebagainya. Merasakan dan menyaksikan semua ini saya jadi teringat Mbah Romy.
Ia seorang santri, pendekar, bekerja sebagai tukang cukur keliling. Berasal dari daerah Banyumas dan menjadi menantu Mbah Kasan Sepuh. Rumah dia ngindung di tanah dan rumah milik Mbah Kaji.
Anak-anak memandang Mbah Romy sosok unik. Kalau sedang mencukur seseorang di rumah warga kampung, dia suka bercerita panjang lebar, suara dia sangat bersemangat sehingga yang dicukur tidak merasa dicukur, tahu-tahu selesai. Pagi, setelah Sumber (lebih besar dan luas dibanding belik) sepi kegiatan ibu-ibu mencuci dan mandi, Mbah Romy mandi di sumber yang dinamakan Sumber Benda ini.
Setelah itu dia sarapan, kebetulan isteri dan mertuanya berjualan makanan matang. Dia lalu mempersiapkan alat cukur kelilingnya, dan berpakaian rapi gaya santri. Mengenakan sarung, baju lengan panjang dan peci hitam. Dia sudah hafal dengan jadwal langganan cukur yang dia datangi setiap bulan.
Dari dia sering bertukar cerita dengan Ayah tahulah saya kalau ketika waktu di pesantren dulu dia belajar pencak silat. Informasi ini saya sampaikan ke teman sekampung yang kemudian tertarik untuk menggoda dan mencoba ilmu silat Mbah Romy.
Waktu itu hari Jumat pagi, anak-anak libur. Kami berkumpul di dekat rumahnya. Mbah Romy sudah keluar rumah lengkap dengan alat mandi. Kebetulan Sumber Benda masih ada orang beraktivitas di sana.
“Mbah Romy, mbok kami diajari ilmu pencak silat, Mbah.”
“Untuk apa?”
“Agar kami tidak kalah kalau gelut dengan anak kampung tetangga.” Mbah Romy menggeleng.
“Nggak mau. Ilmu pencak silat berbahaya kalau dipakai untuk gelut. Kalau untuk bertarung dengan serdadu Belanda baru boleh. Padahal sekarang Belanda sudah pergi.”
Didesak terus dia tetap tidak bersedia mengajari kami. Akhirnya ada teman yang nekad berkata, “Mbah, jangan-jangan Mbah Romy tidak bisa pencak ya, Mbah.”
Mendengar itu Mbah Romy marah. Dia meletakkan alat mandi, menaikkan sarung sampai bawah lutut dan memasang kuda-kuda.
“Lihat, akan saya buktikan kalau saya bisa pencak. Inilah jurus penting perguruan saya.”
“Apa nama jurusnya Mbah?”
“Jurus mundur lima belas langkah, maju tujuh langkah.”
Kami semua tertawa mendengar nama jurusnya yang lucu itu. Mbah Romy marah kami tertawakan.
“Lihaaat. Siapa pun tidak ada yang bisa mengenai saya. Ayo serang saya kalau berani,” dia berteriak membuat kami takut. Mbah Romy dengan sigap memperagakan jurusnya.
Di halaman yang luas itu tangan kakinya bergerak seperti menari, dengan gerakan luwes, membentuk jurus pertahanan mundur lima belas langkah. Kami tidak bersuara. Setelah sampai langkah mundur kelima belas.
Dia berhenti satu detik, lalu berubahlah gerakannya. Dengan berteriak dia menghentakkan jurus menyerang. Gerakan kakinya menjadi lebih cepat dan lebih mantap lagi. Sampai gerakan menyerang yang ketujuh dia menyudahi jurusnya dengan teriakan, “Habislah kalau ada yang berani menghadapi aku dengan jurus ini.”
Kami bertepuk tangan, percaya kalau dia memang pendekar. Tapi dia tetap menolak mengajar kami pencak silat. Ketika kulapor ke Ayah, di hanya tersenyum.
Berpuluh tahun kemudian, ketika aku menjadi pengamat amatir beladiri Timur, tahulah aku strategi ampuh di balik jurus Mbah Romy. Ketika dia mundur lima belas langkah sambil menangkis dan menghindar sesungguhnya dia sedang mempelajari dan mendefinisikan jurus lawan.
Lima belas langkah mundur cukuplah untuk mempelajari pola serangan lawan ini, kemudian dia hadapi dan lumpuhkan dengan tubuh jurus serangan telak sambil bergerak maju. Apa pun tangkisan dan elakan lawan, sudah dia tebak sehingga tujuh jurus serangan dalam tujuh langkah ke depan adalah jurus yang hampir dipastikan kena sasaran.
Nah, inilah relevansi jurus Mbah Romy untuk menghadapi serangan virus berikut akibat turunannya. Kita semua terpaksa mundur dari ruang publik, ke ruang domestik dan bertahan di ruang privat adalah untuk mempelajari dan mengidentifikasi pola serangan virus dan pola perubahan ekonomi, sosial, budaya dan perilaku beragama.
Dengan demikian, kita bisa menemukan vaksin sosial, vaksin budaya, vaksin ekonomi, vaksin perilaku beragama untuk melawan dan memukul balik virus, dan kondisi negatif dampaknya. Saat bertahan di titik privat atau paling privat ini, kita dapat menyiapkan tujuh jurus untuk memenangkan masa depan.
Tentu setelah pandemi virus COVID-19 usai di tempat kita.
(Mustofa W Hasyim)