Imam Tirmizi Meninggal dalam Keadaan Buta

Imam Tirmizi Meninggal dalam Keadaan Buta

Ilustrasi Dok Alfikeer

Rina Vidiawati

Imam al-Tirmizi. Nama lengkapnya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin al-Dhahak al-Sulami al-Bugi al-Tirmizi. Dalam Kitab Haditsnya, Jami’ al-Shahih, sering menuliskan dirinya dengan nama Abu Isa. Nama ini untuk membedakan dengan nama ulama lain yang memakai sebutan al-Tirmizi juga. Ia lahir pada 209 H, di Kota Tirmiz, tepi sungai Jihun, Khurasan. Sejak muda, ia banyak belajar ilmu Hadits. Ia mengembara ke berbagai daerah untuk mencari Hadits. Abu Isa pergi ke Hijaz, Khurasan, Makkah, Madinah, Baghdad, Kuffah, Basrah, dan lain-lain.

Beliau memiliki banyak sekali guru. Termasuk memperoleh didikan khusus dari Imam Bukhari. Keahlian Imam al-Tirmizi dalam bidang Hadits dan keilmuan Islam tidak ada yang meragukan. Ini dapat dilihat dari karya-karyanya. Seperti, misalnya, Jami’ as-Shahih (yang lebih dikenal dengan Sunan al-Tirmizi), Kitab ‘Illal (kitab ini dimasukkan dalam bab terakhir dalam Sunan al-Tirmizi), Tarikh, al-Sama’il al-Nabawiyah, al-Zuhud, alAsma’ wa al-Kuna, al-‘Illal al-Kabir, al-Asma’ alSahabah, dan al-Asma’ al-Mauqufat.

Imam al-Tirmizi meninggal dunia pada 13 Rajab 279 H di Desa Bug, Kota Tirmiz. Ia meninggal dalam keadaan buta. Menurut beberapa pendapat, kebutaannya disebabkan oleh perjalanannya mencari Hadits. Imam al-Tirmizi mengalami kebutaan setelah menyelesaikan kitab Jami’ as-Shahih.

Kitab Sunan al-Tirmizi

Karya monumental Imam al-Tirmizi adalah `al-Jami’ al-Shahih. Judul lengkap kitab ini adalah al-Jami’ al-Muktashar min al-Sunan ‘an Rasulillah. Namun, kitab ini lebih dikenal dengan sebutan Sunan al-Tirmizi. Meskipun penamaannya disebut al-Jami’ al-Shahih (kumpulan Hadits-Hadits shahih), para ulama menilai tidak semua dalam Sunan al-Tirmizi mengandung Hadits shahih. Di dalamnya terdapat Hadits shahih, Hadits hasan, bahkan Hadits dhaif. Imam al-Timizi menghimpun dengan model sunan, yakni sistematika kitab Hadits yang disesuaikan dengan kitab fiqih. Sunan al-Tirmizi menghimpun 3.956 Hadits. Jumlah ini dibagi dalam lima juz dan 2.376 bab.

Setiap Haditsnya selalu diterangkan derajat dan alasannya. Imam al-Tirmizi sering menggunakan ilmu jarh wa ta’dil dalam menilai perawi Hadits apakah diterima atau ditolak. Selain jarh wa ta’dil, ia juga menggunakan ilmu mukhtalif Hadits. Ilmu untuk mengetahui Hadits yang tampaknya ada pertentangan (at-ta’arudh) tetapi berguna sebagai uraian apakah Hadits tersebut dapat dikompromikan atau memang terjadi pertentangan makna antarHadits.

Mengenai hal ini, Imam al-Tirmizi membuat beberapa langkah solusi. Pertama, menjamak Hadits-Hadits yang nampak bertentangan. Kedua, mentarjihnya, dengan mengambil Hadits yang paling kuat, baik dari segi sanadnya (kuantitas perawi, ketsiqahan perawi, dan dilihat dari periwayatan sahabat besar atau sahabat kecil, maupun dari segi matan (apakah matannya mengandung haqiqi atau majazi, bersifat mujmal atau mubayyan, Hadits qauli atau fi’li). Ketiga, dicari nasikh dan mansukh-nya. Keempat, apabila tidak dapat dijamak, ditarjih, maupun dinasakh, maka Hadits tersebut di-tawaquf-kan. Hadits tersebut dianjurkan untuk tidak diamalkan.

Mencetuskan Hadits Hasan

Kontribusi berarti Imam al-Tirmizi dalam keilmuan Hadits, salah satunya, adalah memasukkan kriteria derajat Hadits hasan. Hadits hasan adalah kualitas Hadits di bawah shahih. Hadits yang diterima seluruh syarat kualitas Hadits (ketersambungan sanad, keadilan rawi, kekuatan hafalan rawi, tidak ada illat/cacat, dan tanpa Syadz). Kekurangannya adalah kurang sempurna dalam hafalan rawi. Oleh karena itulah, suatu Hadits tidak masuk dalam derajat shahih. Kriteria ini merupakan terobosan baru. Sebelumnya, para ulama Hadits hanya membedakan antara Hadits shahih dan Hadits dhaif.

Lebih jauh lagi, Imam al-Tirmizi menjabarkan lagi tentang Hadits hasan ini dengan beberapa istilah: hasan shahih, hasan gharib, dan hasan shahih gharib. Disebut Hadits hasan shahih, menurutnya, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Hadits hasan lidzatih naik derajat menjadi Hadits hasan lighairihi karena didukung beberapa Hadits hasan yang lain. Hadits-Hadits yang menguatkan satu sama lainnya. Kedua, Hadits yang mempunyai banyak sanad, yang sebagiannya bernilai hasan, sehingga bernilai shahih. Ketiga, Hadits hasan atau sebagian perawinya diperselisihkan: sebagian ulama menilai hasan, sementara ulama lain menilai shahih.

Istilah Hadits hasan gharib memiliki beberapa arti. Ia disebut sebagai Hadits hasan yang hanya mempunyai satu jalur periwayatan. Ia juga berarti Hadits hasan, dalam hubungannya berkaitan dengan perawi tertentu, hanya mempunyai satu jalur periwayatan. Hadits hasan gharib juga berarti Hadits yang mempunyai banyak jalur periwayatan, tetapi bernilai Hadits hasan satu periwayatan dalam setiap jalurnya. Ia juga berarti Hadits yang mempunyai banyak sanad Hadits hasan, tetapi para perawinya semuanya dalam satu negeri atau daerah.

Sementara, Hadits hasan shahih gharib memiliki dua kemungkinan. Bahwa Hadits ini mempunyai satu jalur periwayatan, tetapi perawinya diperselisihkan oleh para ulama: sebagian menilai hasan, sebagian lainnya menilai shahih. Dan bahwa Hadits ini sebagian hasan, sebagian Hadits lain kualitasnya shahih, tetapi perawinya dalam satu negeri atau daerah.

Imam al-Tirmizi memiliki argumentasi mengembangkan Hadits hasan. Menurutnya, Hadits yang tidak sampai pada Hadits shahih seringkali masih dapat dijadikan hujjah atau dasar argumen dalam beragama. Dan kualitas Hadits tersebut tidak sampai pada dhaif matruk (Hadits dhaif karena ada kecacatan dalam periwayatan Hadits), melainkan masih dalam kategori Hadits dhaif laisa bihi matruk (Hadits dhaif yang kelemahannya tidak menghalangi untuk diamalkan). Wallahu bi al-shawwab.

Sumber: Majalah SM No 11 Tahun 2015

Exit mobile version