Matahari Masih Terbit di Tamantirto

Peran Sosial

Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh Fahd Pahdepie

Di tengah pandemi COVID-19 dengan segala kisah piilu dan keresahannya, kabar baik datang dari Tamantirto, Kasihan, Bantul. Di sana sebuah kampus swasta milik Muhammadiyah memilih untuk tak menyerah pada keadaan. Seolah memberi pernyataan: Universitas harus hadir ketika masyarakat membutuhkan.

Sejak awal masa wabah ini datang, kampus ini terus bergerak untuk mencari jalan keluar. Hari-hari belakangan ini, mereka membagikan ribuan paket sembako untuk warga sekitar dan para mahasiswa yang terjebak di Jogja, tak bisa pulang. Mereka bahkan menjemput bola, pintu-pintu diketuk untuk ditanya, “Apa yang bisa kampus ini berikan untuk membantu Anda?”

Ketika pemerintah menghentikan aktivitas belajar mengajar, kampus ini segera memberikan subsidi pulsa dan data untuk para mahasiswanya. Para dosen didorong untuk menggelar kelas-kelas perkuliahan daring. Mahasiswa diajak terus optimis dan tak berhenti belajar. Di tengah segala kesulitan untuk beradaptasi, kampus memastikan diri untuk mencari jalan keluar. Ribuan laptop dan komputer disediakan untuk mendukung upaya serius ini.

Namun, ternyata pandemi tak cepat pergi. Saat pemerintah DIY memutuskan untuk melakukan karantina, banyak mahasiswa yang tak bisa keluar dari sana. “Bagaimana nasib mahasiswa kami?” Pertanyaan itulah yang terus dipikirkan kampus ini. Mereka sadar para mahasiswanya akan menghadapi kesulitan: Uang kos harus tetap dibayar, makan-minum tak bisa ditunda, sementara barangkali penghasilan orangtua mereka di kampung halaman terganggu gara-gara Corona.

Maka kampus ini pun bergerak mengetuk pintu demi pintu tempat tinggal mahasiswa mereka. Para dosen dan karyawan mendapat tugas tambahan untuk mendata dan bertanya kepada mahasiswa dan mahasiswinya. Rasanya, perintahnya jelas: Di antara mereka tak boleh ada yang kesulitan apalagi kelaparan.

Maka paket-paket sembako disiapkan, dana-dana bantuan dikucurkan, tak boleh ada yang terlewat. Di bulan puasa, ribuan takjil dibagikan setiap hari dengan format drive-thru. Mahasiswa cukup mendaftar secara ‘online’ lalu menunjukkan KTM saat pengambilannya. Tanpa kecuali. Semua harus bisa makan.

“Di masa pandemi ini, yang kami pikirkan adalah mahasiswa dan karyawan.” Kata seorang pimpinan kampus itu melalui telepon kepada saya. “Dengan kondisi keuangan yang ada, sampai beberapa bulan kedepan kita bisa bertahan. Setelah itu mungkin memang harus ada efisiensi. Tetapi sekarang, selagi bisa, yang penting nasib para dosen, karyawan dan mahasiswa.” Katanya.

Saya tertegun mendengar kalimat-kalimat itu. Di tengah segala kabar buruk tentang perusahaan-perusahaan yang seperti tak punya hati untuk karyawan mereka, di antara berita-berita miring tentang sekolah atau universitas yang hanya sibuk menagih uang SPP dari siswa atau mahasiswanya, ternyata masih ada institusi semacam ini yang menempatkan hati di atas apa-apa yang transaksional belaka.

Bahkan, kemarin, kabar baik itu lebih megah lagi. Kampus ini melebarkan rangkulannya untuk masyarakat yang lebih luas. Warga di sekitar kampus disisir satu per satu untuk diberi paket-paket sembako. Profesi-profesi yang dianggap rentan seperti marbot masjid, ustadz, karyawan SD dan PAUD, menjadi prioritas untuk diberikan bantuan.

Saya percaya bahwa negeri ini tidak sepenuhnya bergantung pada kerja-kerja dan belas kasihan pemerintah. Ada banyak sekali kelompok masyarakat sipil seperti ini yang bergerak sendiri tanpa bantuan pemerintah. Bahkan kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti inilah yang sejatinya menopang bangsa ini untuk tetap kokoh berdiri di tengah pandemi dan ancaman krisis yang ada.

Saya yakin kampus ini hanya sebuah contoh saja. Hanya satu dari ribuan bahkan jutaan kabar baik yang tetap menjaga negeri ini agar tidak kolaps dihantam krisis akibat pandemi. Ada banyak sekali organisasi, kelompok masyarakat, bahkan individu yang terus bergerak menyalakan harapan, membangun optimisme tentang hari esok.

Seperti di Tamantirto, Kasihan, Bantul, energi kebaikan itu terus terpancar dan berdenyar-denyar. UMY nama kampus itu. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sebuah kampus swasta milik Muhammadiyah yang memilih untuk tak menyerah pada keadaan. Kampus yang ingin benar-benar hadir untuk berbakti dan mengabdi kepada negeri. Berapapun ongkosnya.

Saya bangga pernah belajar di sana. Menjadi alumni kampus yang ‘kaya’ itu. Indonesia belum akan selesai, Jogja tidak akan menyerah, selama matahari masih terbit di Tamantirto.

Jakarta, 13 Mei 2020

Fahd Pahdepie, Penulis, Alumni HI UMY

Exit mobile version