Ketika bulan Ramadhan sudah memasuki sepuluh hari ketiga (10 terakhir) Rasulullah saw semakin bersunggung-sungguh dan tekun beribadah. Ini dilakukan supaya tidak kehilangan kesempatan emas yang masih tersisa di sepuluh hari terakhir. Aisyah meriwayatkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ أِذَادَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَالَيْلَهُ وَاَيْقَظَ أَهْلَهُ
Diriwatkan dari Aisyah ra. Ia berkata: Apabila memasuki hari sepuluh terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw mengencangkan pakaian bawahnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya. (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Kata mengencangkan pakaian bawah, adalah kiasan dari sikap sungguh-sungguh dalam beribadah. Sedangkan menghidupkan malam Ramadhan bermakna mengisi malam Ramadhan dengan ibadah sebanyak mungkin. Sementara membangunkan keluarga dimaksudkan bahwa di dalam beribadah untuk mendapatkan ridha dan keselamatan hidup tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk seluruh anggota keluarga. Sehingga seluruh anggota keluarga berpartisipasi dalam memperbanyak zikir, kebajikan dan ibadah.
وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. (QS. Thaha 920) : 132)
Pengertian I’tikaf
Kata i’tikaf berdasarkan kamus Bahasa Arab al-Mu’jam al-Syamail, merupakan bentuk mashdar dari i’takafa, ya’takifu i’tikaf (tinggal atau berdiam diri di suatu tempat), pemaknaan Bahasa ini juga dapat dipahami dari HR al-Bukhari yang menggambarkan diamnya seorang muadzdzin usai beradzan dengan ungkapan i’takafa al-muadzdzin, sebagaimana berikut,
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, Hafshah mengabarkan kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika mu’adzin telah selesai mengumandangkan adzan Shubuh, beliau melaksanakan shalat dua rakaat ringan sebelum mendirikan shalat Shubuh (HR al-Bukhari)
Secara istilah, i’tikaf dimaknai tinggal di masjid untuk ketaatan kepada Allah, sibuk diri beribadah siang atau malam, sesaat ataupun seharian, dasar sunnahnya i’tikaf ini adalah Qs al-Baqarah ayat 187 dan beberapa hadis tentang lakunya Nabi Saw.
Dan Janganlah kalian mengumpuli istri-istri sementara kalian i’tikaf di masjid-masjid
Ayat ini bisa menimbulkan pemahaman bahwa “mana mungkin di masjid seseorang itu melakukan hubungan suami istri”, padahal makna i’tikaf itu lebih kepada niat atau komitmen untuk tinggal di masjid, artinya siang malam berada di masjid dan tidak pulang sekalipun malam hari halal berkumpul dengan istri, namun bagi yang telah berniat i’tikaf menjadi terhalang untuk melakukan hubungan tersebut hingga selesai masa i’tikaf. Masalahnya dalam fikih ada i’tikaf ada pula yang bisa dilakukan sesaat, maka ketentuan ayat itu menjadi sesuatu yang tidak terlalu signifikan untuk dikemukakan.
Sederhananya I’tikaf dapat diartikan dengan aktivitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah. Islam bukanlah agama yang berorientasi kepada suatu bentuk kehidupan ruhbaniyah (mengasingkan diri untuk beribadah terus menerus), akan tetapi membagi waktu secara proporsional. Ada masanya bagi seorang muslim untuk mencari kehidupan dunia dan ada pula masanya untuk mengejar kehidupan akhirat. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qashahash (28): 77):
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ – ٧٧
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jagnanlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash (28): 77).
Hukum dan Tujuan I’tikaf
Rasululah begitu bersemangat pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melakukan i’tikaf. Paling tidak ada dua hal yang mungkin menjadi faktor pendorong. Pertama, sepuluh hari terakhir merupakan penutup bulan Ramadhan dan isyarat akan berakhirnya bulan Ramdahan yang penuh berkah dan rahmat, saat itu semua amalan dilipatgandakan oleh Allah, oleh karena itu disayangkan apabila tidak dimanfaatkan untuk menabung amal sebagai persiapan menuju akhirat. Kedua, pada sepuluh hari terakhir in terdapat satu malam yang dinamakan malam qadar. Ia adalah hari yang terbaik di dalam bulan Ramadhan, yang kualitasnya lebih baik daripada beribadah selama seribu bulan.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ – تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ – سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ – القدر –
Malam kemuliaan itu lebih baik dair seribu bulan. pada malam itu turun malaikan-malaikan dan malaikan Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr (97): 3-5).
I’tikaf dalam konteks Islam (yang diajarkan Nabi Saw) merupakan sunnah beliau, Sunnah ini didasarkan kepada tuntunan Nabi Saw yang senantiasa melakukan i’tikaf di bulan Ramadhan dengan tujuan untuk menjaring lailatul qadr, sehingga Nabi Saw pernah menjaringnya dari awal Ramadhan hingga akhir Ramadhan.
Inti dan sekaligus menjadi tujuan i’tikaf adalah berhenti sejenak dari kesibukan dunia dan melakukan muhasabah diri sekaligus mendekatkan diri kepada Allah dengan harapan jika dilaksanakan pada bulan Ramadhan mendapatkan lailatul qadar, pada sisi lainnya dalam rangka menahan diri dari dosa-dosa dengan berdiam diri di Masjid serta memperbanyak amalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sebagaimana isyarat HR Ibn Majah berikut ini:
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw berkaitan dengan orang yang beri’tikaf: “Ia berdiam diri dari dosa-dosa dan dialirkan baginya kebaikan seperti orang yang melakukan semua kebaikan
Tatacara I’tikaf
Pertama, persiapan tempat, Nabi Saw memberi contoh dengan menyiapkan sendiri tempat untuk i’tikaf ataupun disiapkan oleh istrinya, kadang digambarkan dengan sekedar menghamparkan tikar, namun di riwayat lain beliau membuat suatu ruang atau bilik yang menyerupai kamar hanya saja tabirnya setinggi dada, sehingga saat tidur tidak Nampak oleh orang, namun saat beliau shalat di dalamnya menjadi kelihatan, hal ini dapat dilihat dalam HR Muslim berikut ini:
Dari Aisyah Ra, ia berkata; Jika Rasulullah Saw hendak I’tikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat I’tikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil, maka dibuatlah. Beliau ingin I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Zainab juga minta dibuatkan bilik kecil, maka dibuatkanlah untuknya. Ketika beliau hendak menunaikan shalat Shubuh, beliau bersabda: “Kebaikan apa yang kalian inginkan?” Beliau lalu memerintahkan agar bilik-bilik itu dibongkar, lalu beliau batalkan I’tikaf di bulan Ramadhan. Sehingga beliau I’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawal (HR. Muslim)
Kedua, niat, dalam hal ini Nabi Saw memulai i’tikafnya seusai shalat Shubuh, sedikit berbeda dengan pengamalan masyarakat umum saat ini, biasanya mereka memulai i’tikafnya tengah malam dan pulang pagi harinya, bahkan dalam fikih cukup diniatkan jelang waktu waktu shalat sesaat ketika memasuki masjid. Sekali lagi gambaran yang disajikan ini adalah prakteknya Nabi Saw sebagaimana termuat dalam HR Muslim di atas.
Ketiga, puasa, hal ini karena Nabi Saw lakukan i’tikafnya di bulan Ramadhan, sehingga dapat dimengerti jika beliau menjalani puasa, sementara ulama memperdebatkan sekiranya i’tikaf tersebut dilakukan di luar Ramadhan, apakah tetap puasa atau tidak perlu, sebagian menyatakan wajib puasa jika dilaksanakan di bulan Ramadan atau puasanya karena nadzar.
Keempat, mabit atau tinggal dan menginap di masjid, dasar dari ketentuan ini selain dari isyarat al-Qur’an surat al-Baqarah 2: 185 juga didasarkan kepada praktek Nabi Saw saat i’tikaf juga berada di masjid, sekalipun dalam HR Muslim beliau hanya memberi isyarat umum hendaknya mereka yang beri’tikaf bermalam atau tinggal di tempat I’tikafnya, sebagaimana matan berikut ini:
Dari Abu Sa’id Al Khudri Ra, bahwa ia berkata; “Dulu Rasulullah Saw melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan.” Maka ia pun menyebutkan hadits yang semisalnya, hanya saja ia menyebutkan; “FALYUTSBIT FI MU’TAKAFIHI (Hendaklah ia menetap di tempat I’tikafnya). (HR. Muslim)
Kelima, tidak keluar dari masjid kecuali hajat tertentu, sebagaimana. Isyarat HR al-Bukhari berikut ini:
‘Aisyah Ra isteri Nabi Saw berkata: “Sungguh Nabi Saw pernah menjulurkan kepala Beliau kepadaku ketika sedang berada di masjid lalu aku menyisir rambut Beliau. Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila Beliau sedang beri’tikaf ”. (HR al-Bukhari)
Keenam, hening, sebagaimana Namanya i’tikaf (berdiam diri), maka Nabi Saw tinggal di dalam masjid tersebut untuk mendapatakan suasana yang hening sehingga optimal untuk melakukan muhasabah serta pendekatan diri kepada Allah. Suatu saat Nabi Saw menegur sahabatnya yang membaca al-Qur’an dengan suara keras baik dalam sahalat maupun di luar shalat, karena dianggap mengganggu i’tikaf beliau sebagaimana tertuang dalam HR Abu Dawud berikut ini:
Dari Abu Sa’id dia berkata; “Rasulullah Saw beri’tikaf di Masjid, lalu beliau menedengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya (HR Abu Dawud)
Kesimpulan
Sehubungan dengan kondisi pandemi covid 19 yang belum mereda bahkan cenderung masih berkembang, serta dengan mempertimbangkan serum pemerintah untuk menjauhi pergumulan dan banyak melakukan ibadah di rumah, maka I’tikaf di bulan Ramadhan ini dapat kita manfaatkan untuk I’tikaf di masjid rumah masing-masing (sudut rumah sebagi tempat bersujud) guna mendapatkan nilai kedekatan diri kepada Allah Swt, sunnah-sunnah Nabi Saw tetap dapat kita jalani, minimal semangat i’tikaf yaitu menahan diri dari berbuat dosa, melakukan uaya mendekatkan diri kepada Allah sekaligus berburu lailatul qadar, sekalipun tidak dilakukan di masjid. Mudah-mudahan uraian ini dapat membantu umat dalam menyikapi situasi terkini sementara antusiasme umat beri’tikaf tetap tersalurkan dalam kedaruratan. Semoga Allah terima ibadah kita, aamiin.
Sumber: Tuntunan Ramadhan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Ramadhan di Tengah Wabah Covid-19 (Abdul Mu’ti – Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i)