Ngaji Bareng Kiai Dahlan (2): Al-Qur’an Harus Jadi Pendorong Amal

Oleh M Husnaini

Sebelum ini, sudah diulas kiat-kiat mengaji Al-Qur’an yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Mengikutinya diharapkan Al-Qur’an dapat benar-benar menjadi hudan dan mendorong untuk beramal. Dengan demikian, di samping mendapat pahala, kita dapat mengasup ilmu dan hikmah dari firman-firman Allah itu, dan Islam lambat laun hadir sebagai system of belief sekaligus juga way of life.

M Quraish Shihab, dalam sebuah perbincangan bersama Najwa Shihab, menyatakan bahwa membaca dan memahami sepuluh ayat itu lebih baik daripada membaca satu surah tanpa paham isinya. Tadarus, tutur pakar tafsir itu, bukan hanya membaca bersama atau mendengar, tetapi juga menyimak apa makna dari yang dibaca.

Al-Qur’an terdiri atas 30 juz dan 114 surah. KH Ahmad Dahlan tentu mengimani itu. Namun, di antara semua firman Allah itu, terdapat 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang kerap dibaca, dihayati, diajarkan, dan dipraktikkan KH Ahmad Dahlan. KRH Hadjid, santrinya yang termuda, mencatat 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah:

Setiap pelajaran disampaikan KH Ahmad Dahlan sedikit demi sedikit. Jika satu tingkat pelajaran belum diamalkan, tidak akan dilanjutkan ke pelajaran berikutnya. Dalam pandangan KH Ahmad Dahlan, pelajaran terbagi atas dua bagian. Pertama, belajar ilmu, yang meliputi pengetahuan atau teori. Kedua, belajar amal, yaitu mengerjakan atau mempraktikkan apa yang sudah diketahui (Hadjid, 2013).

Ada kisah populer. Dalam pengajian rutin, KH Ahmad Dahlan menyampaikan tafsir surah Al-Ma’un berulang-ulang selama beberapa hari. Salah satu muridnya, yaitu Syuja’, protes kenapa materi pengajian tidak ditambah-tambah. KH Ahmad Dahlan lantas bertanya, apakah sudah benar-benar mengerti maksud surah itu. Seluruh muridnya menjawab bahwa mereka bukan saja mengerti, melainkan sudah hafal di luar kepala.

KH Ahmad Dahlan bertanya lagi, apakah isi surah Al-Ma’un sudah diamalkan. “Apanya yang diamalkan?” jawab muridnya, “bukankah surah itu sudah sering dibaca saat menunaikan shalat.” Ternyata bukan itu yang dimaksud mengamalkan. KH Ahmad Dahlan kemudian perintahkan para muridnya mencari orang miskin dan anak yatim di sekitar rumah masing-masing untuk dibawa pulang dan dicukupi segala kebutuhan mereka.

Begitulah setiap kali pengajian, sehingga pada urutannya, lahirlah rumah miskin, panti asuhan yatim piatu, rumah orang telantar, dan rumah sakit. Bagi KH Ahmad Dahlan, pengetahuan memang berarti apa-apa kecuali telah melahirkan amal. Bahkan, surah Al-Ashr yang pendek itu dibaca, direnungkan, dan diajarkan KH Ahmad Dahlan hingga sekitar tujuh bulan lamanya.

KH Ahmad Dahlan adalah man of action alias manusia amal. Tidak gemar berpikir muluk-muluk tentang agama, namun kosong pengamalan. Ungkapannya yang viral berbunyi, “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meski harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tidak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendaki, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tetapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini” (Salam, 1968).

Sering KH Ahmad Dahlan mengibaratkan, seseorang yang mengerti cara mencuri tidak lantas disebut sebagai pencuri. Dengan demikian, menjadi seorang Muslim sejati tidak cukup hanya dengan menguasai berbagai pengetahuan tentang Islam, tetapi harus benar-benar mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian.

M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Exit mobile version