Pemahaman Hadits di Muhammadiyah
Oleh: Hendriyan Rayhan
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi modernis yang mengusung pembaruan (tajdid). Di antara gagasan yang diserukan adalah tentang keterbukaan pintu ijtihad serta gerakan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada sebuah kritik bahwa organisasi modernis yang mengusung ide tersebut cenderung memahami hadits secara literal. Pada 1940, Soekarno mengkritik Muhammadiyah dan semua gerakan modernis dengan menyebut bahwa model modernisme mereka terlihat ambigu. Ungkapan Soekarno tentang ini dikutip oleh Ahmad Najib Burhani (2016: 126) sebagai berikut:
…Tetapi interpretasi Qur’an dan hadits itu, tjara menerangkan hadits itu, belumlah rasionalistis 100%, belumlah selamanja dengan bantuan akal 100%. Tegasnja: dalam pada mereka hanja mau menerima keterangan-keterangan Qur’an dan hadits itu, maka pada waktu mengartikan Qur’an dan hadits itu, mereka tidak selamanja mengakurkan pengertianja itu dengan akal jang tjerdas, tetapi masih memberi djalan kepada pertjaja buta belaka. Asal tertulis di dalam Qur’an, asal tertera di dalam hadits jang shahih, mereka terimalah—walaupun kadang-kadang akal mereka tak mau menerimanja…
Akal Pikiran dalam Memahami Hadits
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan tentang penggunaan hadits sebagai dasar hukum:
أن الأصل في التشريع الإسلامي على الإطلاق هو القرآن الكريم و الحديث الشريف
“Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits.”
Namun demikian, dalam memahami Hadits juga terbuka ruang bagi akal pikiran. Pada butir ketiga Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) dinyatakan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a) Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw; b) Sunah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Hadar Nashir (2016: 115) menambahkan bahwa penggunaan akal pikiran ini juga dipedomani dengan Manhaj Tarjih melalui pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani. Landasan konseptual ini menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak serta merta memahami Hadits secara literal.
Memahami Nash Hadits Temporer
Pokok-pokok Manhaj Tarjih nomor 13 menyatakan bahwa: “Prinsip medahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.” Hal ini juga berlaku dalam memahami hadits yang mengandung makna temporer. Asjmuni Abdurrahman (2007:144) menjelaskan caranya adalah dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya. Contohnya adalah berkenaan dengan hadits riwayat Muslim berikut:
(2395)- [1340] حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حدثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، حدثنا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ” لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ، إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ “
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian selama perjalanan sehari, kecuali bersama dengan mahramnya.”
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (2009: 287) tentang “Masalah Wanita Bepergian”, disebutkan bahwa wanita tidak halal bepergian sehari atau lebih, kecuali disertai mahram atau suaminya, dan kecuali untuk keperluan yang diizinkan syara’ serta aman. Di sana juga disebutkan ketidakbolehan wanita berpawai (arak-arakan) kecuali pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Setelah dikaji ulang, dalam Muktamar Tarjih di Wiradesa tahun 1972 dan di Garut tahun 1976, maka dikeluarkanlah sebuah buku tuntunan berjudul Adab al-Mar’ah fi al-Islam.
Dalam buku tersebut dinyatakan tentang kebolehan wanita keluar untuk pawai tanpa harus disertai mahram. Dengan kondisi seperti sekarang, maka tidak lagi ada alasan kekhawatiran akan keselamatan wanita apabila bepergian sendirian. Akan tetapi, pemahaman hadits temporer ini tidak berlaku terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan ta’abbudi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya (Abdurrahman, 2007: 145-147).
Memahami Hadits Berdasarkan ‘Illat
Pemahaman Hadits berdasarkan motivasi atau latar belakang sebab kejadiannya telah lama dilakukan oleh para ulama. Bahkan, menurut al-Dahlawi, itu telah berjalan sejak zaman para sahabat. Pokok-pokok Manhaj Tarjih menyebutkan bahwa, “Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah” (Abdurrahman, 2007: 169).
Hal ini dapat dilihat tentang informasi bahwa Nabi ketika berkhutbah bertekan di atas busur atau tongkatnya dan menyampaikan isi khutbahnya dengan bahasa Arab yang ringan, indah dan berisi. Dalam pelaksanaan khutbah di kalangan Muhammadiyah tidak menggunakan tongkat dan disampaikan dengan bahasa daerah setempat. Informasi dalam hadits tersebut dipahami makna dan tujuannya. Nabi bertekan di atas busur untuk dapat berdiri tegak karena berada dalam suasana perang atau sudah tua. Sementara bahasa Arab yang digunakan Nabi dikarenakan bahasa tersebut adalah bahasa yang dipahami oleh umatnya kala itu di Arab (Abdurrahman, 2007: 172).
Memahami Hadits dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pemahaman terhadap hadits dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan ini dapat dilihat pada penentuan awal bulan dan awal tahun. Penentuan tersebut menggunakan ilmu pengetahuan yang disebut ilmu astronomi, khususnya ilmu hisab. Dalam pemahaman Muhammadiyah, ilmu hisab ini dapat menjadi alternatif dalam penentuan awal bulan Ramadhan dan 1 Syawal (Abdurrahman, 2007: 220). Berkenaan dengan penentuan awal bulan Ramadhan, terdapat hadits riwayat al-Bukhari sebagai berikut:
(1785)- [1909] حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه و سلم: ” صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ “
Abu Hurairah berkata: Nabi Saw. bersabda: “Berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah karena melihatnya. Jika bulan terhalang oleh mendung terhadapmu. Maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.”
Secara teks, hadits tersebut mengiindikasikan bahwa masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan ditentukan dengan Rukyat. Oleh karenanya, di satu sisi kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa tidak sah menentukan bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah untuk memulai ibadah terkait dengan menggunakan Hisab. Di sisi lain, ada fuqaha yang menyatakan bahwa rukyat itu hanya sarana, maka hisab dapat digunakan dan lebih utama karena lebih menjamin akurasi dan kepastian. Penggunaan hisab tercatat sejak zaman Tabi’in (Anwar, 2011: 186-187).
Pada zaman Nabi, belum digunakan Hisab karena astronomi belum berkembang di lingkungan Islam awal, meskipun ilmu tersebut telah berkembang dalam peradaban India, Persia dan Yunani. Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid periode 2005-2020, menyatakan bahwa hisab dapat diterima dan sesuai dengan semangat umum al-Qur’an (Anwar, 2011: 206). Selain melihat keseluruhan semangat al-Qur’an, hal ini juga dilihat dari ilat (kausa hukum) dari perintah rukyat dalam hadits-hadits Nabi, yaitu keadaan sosial-budaya umat pada waktu itu yang masih ummi (tidak mengenal baca tulis dan hitung). Artinya perkembangan ilmu pengetahuan dapat merubah cara memahami Hadits.
Dari pembahasan di atas, penulis berpendapat bahwa cara Muhammadiyah memahami Hadits tidaklah bersifat literal atau tekstual. Muhammadiyah telah membuktikan dinamisasi pemikiran keagamaan yang kontekstual dengan kondisi terkini. Namun demikian, bukan berarti akal pikiran dibiarkan bebas tanpa mengindahkan kaidah dalam memahami Hadits. Prinsip Tajdid dengan purufikasi dan dinamisasi tetap menjadi panduan di Muhammadiyah.