Ibu Hajjah Siti Badilah Zuber, tokoh ‘Aisyiyah kader langsung serta murid KH Ahmad Dahlan. Dilahirkan di Yogyakarta 15 Mei 1903 sebagai putri ketiga dari 12 bersaudara keluarga H Muhammad bin Khotib Wetan, seorang pengusaha batik. Saudara sulung Siti Badilah, Ibu Asmah Tamim (ibu kandung HM Daris Tamim, M Djindar Tamimy dan Prof Dr H Siti Baroroh Baried).
Siti Badilah di kalangan wanita Indonesia dan wanita Islam khususnya berhasil mendobrak kebekuan kaum wanita dalam bidang pendidikan, meskipun pendidikan beliau hanya sampai di Mulo. Setamat NHJMS (Sekolah Dasar berbahasa Belanda) meneruskan ke Mulo. Dari Mulo meneruskan ke Europeese Normaal School, Europeese help akte. Dan pada siang harinya, bersama kawan-kawan, almarhumah diberi pelajaran Agama oleh Kiai Dahlan.
Dia termasuk anak yang cerdas. Baru setengah tahun sudah dinaikkan ke kelas dua. Satu tahun kemudian dinaikkan ke kelas empat. Ditambah kefasihan berbahasa Belanda, maka ketika masih sekolah di Mulo seudah sering diajak KH Ahmad Dahlan berdakwah ke Mosvia madiun, Mosvia Magelang, Kweek School Yogya dan sekolah-sekolah lain yang memakai Bahasa pengantar Bahasa Belanda.
Pada waktu itu Siti Badilah menerima ajakan dari kawan-kawannya, diantara Mr Moh Rum, masuk JIB (Jong Islamiten Bond-Organisasi Pemuda Islam).
Gerakan ‘Aisyiyah
Pada tahun 1916, Siti Badilah beserta kawan-kawannya mempunyai gagasan membentuk organisasi wanita. Gagasan itu disampaikan kepada H Muhtar, tokoh HB Muhammadiyah yang terkenal bertangan dingin, untuk mendapatkan persetujuan dan pengarahan. Setelah organisasi berjalan teratur dan mantap, kemudian dinamai ‘Aisyiyah. Resmi berdiri pada tahun 1917. Dipimpin oleh 9 orang pengurus.
Untuk memperlancar gerak langkah ‘Aisyiyah, ditangani oleh pemimpin harian. Siti Badilah Zubair, Siti Munjiah dan Siti Bariyah (kedua terakhir adalah adik kandung Ki Bagus Hadikusuma). Siti Badilah bertindak sebagai sekretaris membantu Siti Bariyah yang menjadi ketua pertama ‘Aisyiyah. Waktu itu usia Siti Badilah baru sekitar 14 tahun.
Setelah beberapa lama pengurus harian ‘Aisyiyah terbentu, Siti Bariyah mengundurkan diri. Diganti tokoh baru seorang yang pragmatis, kreatif, dan disiplin. Ibu Aisyah Hilal. Di bawah kepemimpinan tiga serangkai inilah ‘Aisyiyah kemudian berkembang pesat. Cara mereka memimpin bukan hanya di belakang meja, tetapi turun langsung ke lapangan. Hampir semua cabang dan daerah ‘Aisyiyah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi pernah dijelajahi. Hingga tapak-tilas mereka bertiga masih tampak jelas di kawasan tersebut.
Sebelum sempat tiga serangkai lebih melebarkan sayap juangnya, Siti Munjiyah berpulang ke rahmatullah. Untuk melengkapi tiga serangkai kepemimpinan ‘Aisyiyah, digantikan oleh Ibu Zainab Damiri. Tetapi kekompakan tiga serangkai tersebut tidak bertahan lama. Setelah beberapa tahun memimpin, Siti Aisyah Hilal meninggal. Bahkan tidak lama kemudian Ibu Zainab Damiri menyusul. Hingga tahun 1987 tinggal Siti Badilah seorang.
Siti Badilah pun dikenal sebagai sebagai seorang penulis. Bahkan, namanya tercatat sebagai redaksi pertama Majalah Soeara ‘Aisjijah. Siti Badilah beberapa kali terpilih sebagai ketua ‘Aisyiyah diantaranya pada kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941 yang mendapat amanat sampai 1943. Kemudian pada kongres ke-31, Siti Badilah terpilih kembali dengan periode amanah dari 1951-1953. Pada 1953 dalam Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto Siti Badilah kembali terpilih sebagai ketua.
Di usia senja Siti Badilah (75 tahun) kepemimpinan ‘Aisyiyah diremajakan. Terpilih sebagai ketua Prof Dr Siti Baroroh Baried. Untuk menghargai jasa Siti Badilah yang telah bertahun-tahun mengelola ‘Aisyiyah, beliau diangkat menjadi sesepuh ‘Aisyiyah dan mendapat penghargaan tanda jasa.
‘Aisyiyah Teladan
Meskipun Siti Badilah tidak menjadi pengurus Pusat ‘Aisyiyah lagi, tetapi kepemimpinan beliau masih diperlukan Cabang Gondomanan. Dan tanggungjawab itu pun diterimanya pula. Cara kerja tetap giat dan penuh konsekuensi tanggung jawab. Di bawah kepemimpinan Siti Badilah, Cabang ‘Aisyiyah Gondomanan mengalami kemajuan yang berarti. Pada tahun 1983 Pimpinan ‘Aisyiyah Cabang Gondomanan diadakan peremajaan, Siti Badilah tidak terpilih lagi karena usianya yang sudah mencapai 80 tahun. Kata-kata terakhir yang sempat terekam setelah tidak lagi menjabat sebagai pimpinan ‘Aisyiyah ialah, “Saya tidak dapat pisah dengan ‘Aisyiyah”.
Dalam hidupnya, Siti Badilah sempat menjabat sebagai ketua ‘Aisyiyah sealma dua periode. Jabatan lainnya adalah anggota PP Aisyiyah, pengurus Madrasah ‘Aisyiyah, guru HLS Muhammadiyah Yogyakarta, Bengkulu, Salatiga, guru Schokel School Muhammadiyah Salatiga dan Yogyakarta. Disamping itu beliau aktif menyelenggarakan beberapa pengajian, PPY, Wanita Adi Sucipto, Masjid Syuhada, Al Furqon, yang dikelola sampai akhir hayatnya. Dibantu beberapa mubalighah, Ibu Wasilah, Ibu Zamroh, Ibu Burhan, Ibu Wariyah dan lainnya.
Siti Badilah meninggal pada hari Rabu dini hari, pukul 03.00, 10 Agustus 1988. Almarhum meninggal dalam usia 85 tahun setelah dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama 20 hari.
Jenazah diberangkatkan dari rumah duka, Kauman GM IV/246 Yogyakarta, diiringi ratusan takziah untuk diistirahatkan di makam keluarga Karangkajen, Yogyakarta bagian selatan. Upacara pemakaman berjalan sangat cepat. Pembacaan doa dipimpin RS Haiban Hadjid. Makam almarhumah sangat sederhana. Tanpa taburan bunga, apalagi karangan bunga.
Dari pernikahan Badilah dengan wiraswastawan H Zubair, tahun 1922, dikaruniai 4 orang anak. Seorang meninggal waktu masih balita dan sorang lagi gugur sebagai pejuang PETA. Anak yang masih hidup, satu putri ny Zuhannah, pengurus Golkar, tinggal di Kauman Yogyakarta. Satu lagi seorang putra, Wusthon, purnawirawan ABRI, tinggal di Bandung. Meninggalkan 17 cucu dan 13 cicit.
baca juga: KRH Hadjid Sang Pejuang
Semoga amalan Ibu Badilah diterima Allah SwT dan menjadi teladan bagi warga ‘Aisyiyah berikutnya. Amin. (M Djili)
Sumber: Majalah SM No 19 Tahun 1988