Waktu belajar di pendidikan guru agama yang modelnya sangat berbau pesantren saya punya guru istimewa. Pak guru sepuh ini selalu rapi. Baju dimasukkan ke celana, memasang cathok kulit bagus. Kupluk pas di kepala agak dimiringkan mirip komandan pasukan gerilya tempo dulu.
Yang khas, dia suka merokok, rokok klembak menyan yang jika asap disebul semua nyamuk terbirit-birit terbang keluar ruang kelas untuk sembunyi di kamar kecil belakang sekolah. Anak-anak sudah kebal dengan bau rokok klembak menyan ini, dan anak-anak bukan nyamuk, tidak perlu terbirit-birit keluar kelas ketika beliau beraksi.
Kekhasan kedua, setiap memulai pelajaran, beliau memimpin muridnya berdoa, Ya Fattahu Ya ‘Aliim iftahlana ‘ilmal yaqiin. Sama persis doa yang dipimpinkan Ayah kalau memulai pengajian anak-anak di emper rumah dulu. Mungkin, beliau sang guru yang istimewa ini, tunggal guru tunggal ilmu dengan Ayah ketika belajar di pesantren Wonokromo, selatan jauh Kotagede sana.
Beliau, guru berpeci miring ini memegang mata pelajaran ilmu fikih dan hadits. Kalau membahas ilmu fikih tandas mendalam, kadang disertai ilustrasi kasus berbau agak saru. Misalnya ketika membicarakan fikih munakahat. Anak-anak jadi senang dengan cara beliau mengajar, termasuk cara beliau mengusir nyamuk dari kelas dengan menghembuskan asap rokok klembak menyan itu.
Oya, rokok itu nangkring di ujung pipa kayu coklat, sehingga saya membayangkan beliau memang mirip Popeye gaya Jawa.
Yang heboh adalah mata pelajaran hadits, mula-mula beliau meminta semua murid membeli kitab mungil hadits. Hadits satu persatu satu dibaca, diartikan, diberi penjelasan dan contoh kasus.
Sampai menjelang ulangan umum sudah terkumpul empat puluh hadits tentang akhlak kehidupan sehari-hari, termasuk tuntunan mencari ilmu, tuntunan memberikan salam, tuntunan berbuat baik kepada orang, tuntunan doa-doa harian dan sebagainya.
Nah, seminggu sebelum ulangan resmi beliau mengadakan latihan ulangan. Sebelum latihan ulangan beliau berkata, “Anak-anak. Tolong empat puluh hadits ini dihafalkan. Lengkap dengan perawi hadits dan artinya. Besuk dalam latihan ulangan saya tinggal menunjuk hadits nomor berapa, kalian satu persatu menyampaikan hafalan itu dengan nama perawi dan artinya. Siap?”
“Siap.” Karena di rumah setiap hari saya belajar dengan menghafal hadits maka empat puluh hadits itu bisa nongkrong di otak.
Sewaktu-waktu bisa dikeluarkan. Pagi hari sebelum jam ulangan ramailah tempat anak-anak berkumpul dengan suara orang menghafal hadits. Saya dan teman sebangku saya malah diam mendengarkan teman sibuk menghafal hadits.
Teman sebangku saya punya keistimewaan dalam belajar. Dia belajar dengan mendengarkan dengan tekun teman yang menghafal itu. Terbukti manjur. Nilai dia justru selalu di atas nilai yang teman lain yang berapi-api menyuarakan hafalannya.
Sampai teman-teman yang menghafal dengan suara riuh itu sering iri dan jengkel. Saya sendiri merasa tidak perlu jengkel. Saya cukup meniru cara belajar dia. Joss, menurut anak sekarang. Nilai saya terangkat mengejar nilai dia.
Tentu ini khusus untuk mata pelajaran berbasis hafalan, seperti sejarah, ilmu hayat, ilmu hadits, mahfudlot, rumus aljabar dan sejenisnya.
Nah ketika saat latihan ulangan umum datang, pas ulangan hadits, ternyata pak guru peci miring ini hanya bermaksud mengetes hafalan muridnya. Hasilnya lumayan. Kebanyakan murid bisa menunjukkan kalau dia bisa menguasai empat puluh hadits itu. Pak guru senang, kami diberi hadiah permen jahe dan permen asam Jawa.
“Tapi jangan puas dulu anak-anak, besuk pas ulangan umum resmi, kalian boleh memilih hadits yang mana saja. Kalau hafal mendapat nilai enam. Kalau ingin mendapatkan nilai delapan atau tujuh, kalian harus mengamalkan hadits yang kalian pilih sendiri. Masih ada waktu seminggu untuk mengamalkan hadits pilihan kalian. Siap?” Tentu kami wajib menjawab, “Siap, Pak.”
Waktu pulang sekolah kami berembug di tempat parkir sepeda. Kami berembug dengan berbisik-bisik tentang strategi memilih hadits dan strategi mengamalkan hadits.
Teman saya sebangku memamerkan kecerdikannya, “Yang paling mudah tentu memilih hadits tentang doa harian. Doanya sudah kita hafal, tinggal menghafal urutan perawi.”
“Pilih saja yang muttawaq ‘alaih, he he mudah.”
Bagiku pilihan itu boleh-boleh saja. Tapi terasa kurang menantang. Sepulang sekolah saya bolak-balik kitab mungil hadits itu. Nah ada sebuah hadits yang cukup menantang diamalkan.
Tapi saya perlu survei lapangan. Maka, menjelang Maghrib saya datang ke sebuah langgar atau surau. Setelah selesai jamaah Maghrib, langgar sepi.
“Pak, kok pengajian anak-anak di sini bubar. Kan dulu ramai?” Tanyaku kepada pak Imam sebelum dia bergerak pulang.
“Itulah, semenjak Hasan diterima bekerja sebagai kondektur kereta api, pengajian bubar.”
“Bagaimana kalau saya hidupkan lagi pengajiannya Pak?”
“Wah, boleh. Syukurlah, Mbahmu dan Bapakmu dulu kan guru ngaji. Kalau kau sebagai keturunannya mengajar ngaji memang pantas. Siap mulai besok malam?”
“Siap, Pak.”
Ketika saya minta izin ke Ayah, dia berpesan, “Hati-hati dan sabar lho. Anak- anak kampung itu terkenal nakal-nakal.”
“Nggak papa Yah, saya kan bekas anak nakal juga. Jadi punya kiat jitu menghadapi anak nakal. Anak senakal apa pun, Insyaallah bisa saya atasi.” Ayah tertawa mendengar kata-kataku tadi.
“O, hiya, saya hampir lupa kalau kau alumni rombongan anak nakal di pengajian.” Saya dan Ayah tertawa terbahak-bahak sampai ibu yang berada di dapur memerlukan keluar, ke teras. Heran melihat kami kompak tertawa bareng.
“Ya, itu gunanya menjadi anak nakal yang sudah sembuh dari nakalnya, ” komentar ibu.
Nah, gara-gara ulangan umum mata pelajaran hadits pengajian anak-anak di kampung sebelah hidup lagi. Nilai raporku untuk mata pelajaran hadits menjadi delapan.
(Mustofa W Hasyim)