Royyan Mahmuda Daulay
Pada suatu ketika, salah seorang sahabat Nabi bernama Muawiyah Bin Hakam As-Sulami pernah mengikuti sholat berjamaah bersama Rosulullah Saw. Saat dalam pelaksanaan sholat ada sahabat lain yang tiba-tiba bersin. Lantas sahabat Muawiyah tersebut secara spontan menjawab ‘Yarhamukallah’. Atas tindakan sahabat Muawiyah tersebut, para sahabat yang lain memandanginya seraya memukulkan tangan-tangan mereka pada paha-paha mereka. Ternyata itu adalah pertanda agar sahabat Muawiyah diam saat sholat.
Sholat berjamaah tetap berjalan hingga selesai. Karena merasa bersalah telah mengganggu kekhusyukan sholat berjamaah, sahabat Muawiyah khawatir jikalau Nabi Muhammad Saw. akan memarahi bahkan membencinya. Tentu itu menjadi kekhawatiran yang teramat mengingat Nabi adalah kekasih Allah Swt.
Namun, apa yang dikhawatirkan oleh sahabat Muawiyah tersebut tidaklah terjadi. Rosulullah Saw. tidak memarahi, menghardik, mencaci ataupun melakukan tindakan buruk lainnya, melainkan tersenyum dan memberikan nasehat dengan lemah lembut. Beliau mengatakan kepada sahabat Muawiyah bahwa “Sesungguhnya perkataan manusia itu tidak patut ada di dalam sholat. Sedangkan yang patut adalah ucapan tasbih, takbir, dan bacaan Al-Quran.”
Cerita ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Riyadhussholihin karya Imam Nawawi. Tindakan Rosulullah dalam riwayat di atas bukanlah tanpa alasan, hal ini dikarenakan kondisi sahabat Muawiyah yang baru memasuki islam dan sedang berusaha meninggalkan budaya kejahilannya. Sehingga sikap lemah lembut dan penuh kasih sayang lebih didahulukan oleh Nabi ketimbang larangan, cacian ataupun hentakan.
Pasti banyak pelajaran yang bisa diambil dari sikap Rosulullah Saw tersebut. Terutama dalam konteks berdakwah ataupun memberi nasehat. Padahal Nabi Muhammad yang memiliki otoritas untuk mengatur persoalan keumatan baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah, tetap bersikap lemah lembut terhadap semua insan, bahkan yang melakukan kesalahan dalam pelaksanaan ibadah seperti cerita di atas.
Tindakan Rosulullah tersebut tidaklah tanpa hikmah, bisa saja sikap lemah lembut Nabi memang bertujuan untuk membuat para sahabat nyaman dengan beliau dan juga ajaran Islam. Sehingga dalam proses hidup selanjutnya mereka kokoh dalam menjalankan ajaran-ajarannya. Dan itulah hikmah yang bisa dipetik oleh para sahabat.
Selain itu, salah seorang filsuf muslim Swiss, Frithjof Schuon (Muhammad Isa Nuruddin), menggolongkan Nabi Muhammad saw bersama dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Musa ‘alaihi salam. Mereka nabi-nabi yang mengajarkan tentang Tuhan Yang Maha Esa dengan pendekatan kepada-Nya melalui amal perbuatan yang baik. Sehingga ajaran mereka disebut “ethical monothesime”. Bahkan Nabi Muhammad pun pernah menyampaikan ke para sahabatnya bahwa diutusnya beliau tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia (innama bu’istu li utammima makarimal akhlaq).
Hal ini menjadi pertanda bahwa akhlak menjadi cerminan dari seorang muslim pengikut Nabi Muhammad Saw, termasuk dalam persoalan dakwah ataupun saling menasehati. Lalu bagaimana dengan kita saat ini yang sering menyalahkan bahkan memberi cacian kepada saudara lain yang berbeda dengan alasan memberikan nasihat ataupun sedang berdakwah? Tentu sikap-sikap demikian patut direnungkan dan direfleksikan. Bisa saja tindakan gegabah mengatasnamakan dakwah ataupun nasihat malah membuat orang-orang tidak tertarik, bahkan malah menjauh ajaran-ajaran Islam.
Wallahu a’lam bisshowab
Royyan Mahmuda Daulay, adalah alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta