Muhbib Abdul Wahab
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan persoalan sosial ekonomi dan krisis kemanusiaan global. Tidak hanya melumpuhkan denyut nadi ekonomi dan resesi, pandemi juga memicu peningkatan kriminalitas, ancaman kelaparan, krisis pangan dunia, peningkatan angka kematian, dan ancaman keselamatan umat manusia di seluruh penjuru dunia.
Bagaimana al-Qur’an mencerahkan kehidupan dengan melampaui krisis kemanusiaan akibat pandemi saat ini? Selain ikhtiar kemanusiaan dengan pendekatan medis dan klinis, formulasi resolusi krisis kemanusiaan menjadi sangat penting dengan pendekatan teologis, melibatkan Sang Pemilik Kehidupan, Allah SWT. Karena semua yang terjadi di alam raya ini tidak luput dari takdir dan kekuasaan-Nya. “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauḥ Maḥfūẓ) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. al-Hadid: 22)
Pendekatan teologis dalam resolusi krisis kemanusiaan mengharuskan kita melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an, karena sejatinya turunnya al-Qur’an merupakan solusi dan terapi terhadap persoalan kemanusiaan. Menurut Said Nursi (1877-1960), dalam al-Mu’jizat al-Qur’aniyyah, al-Qur’an merupakan mentari dan pilar alam maknawi Islam sekaligus peta suci bagi alam ukhrawi, ucapan penjelas, penafsir yang terang, argumen yang kuat dan penerjemah yang cemerlang bagi Dzat, sifat, nama dan kondisi Allah SWT.
Esensi Nuzul al-Qur’an
Oleh karena itu, esensi nuzul al-Qur’an adalah turunnya rahmat (kasih sayang, solusi, peta jalan keselamatan) dari Allah, sebagai aktualisasi Rahman dan Rahim-Nya. Al-Qur’an berasal dari Allah yang mewajibkan Zat-Nya untuk berbuat penuh rahmat (QS al-An’am [6]:12). Sang penerima wahyu al-Qur’an adalah Nabiyyu ar-Rahmah (Nabi teladan kasih sayang), dan diutus untuk membumikan ajaran kasih sayang bagi semua (QS al-Anbiya’ [21]:107)
Nabi SAW juga mendeklarasikan: “Aku tidak diutus sebagai pelaknat, tetapi diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim) Tempat turunnya wahyu, Mekkah dan Madinah, juga memiliki nama lain yang semakna dengan rahmat. Mekkah disebut Umm ar-Rahm (induk kasih sayang), sedangkan Madinah dinamai al-Marhumah (yang disayangi).
Jika disarikan, intisari al-Qur’an itu ada pada Umm al-Kitab (Induk al-Kitab), surat al-Fatihah. Jika al-Fatihah disarikan lagi, maka simpulnya ada pada Basmalah (ayat pertama). Jika Basmalah disarikan lagi, maka simpulnya ada pada dua kata: ar-Rahman dan ar-Rahim. Kedua kata terakhir jika diesensikan, maka simpulnya adalah rahmat (kasih sayang).
Jadi, simpul dan esensi al-Qur’an adalah rahmat. Rahmat Allah itu melimpah, memberkahi, dan mencerahkan kehidupan manusia melalui aktualisasi fungsi-fungsi al-Qur’an.
Dengan kata lain, apabila al-Qur’an dijadikan sebagai petunjuk (huda, hidayah), maka pedoman kehidupan dalam al-Qur’an itu pasti mencerahkan kehidupan manusia. Jika al-Qur’an difungsikan sebagai al-Furqan, maka ayat-ayatnya pasti memberikan garis demarkasi, pembeda antara kebenaran dan kebatilan, halal dan haram, baik dan buruk, indah dan jelek, jalan selamat dan jalan sesat. Demikian pula, apabila al-Qur’an difungsikan sebagai bayyinat min al-huda (penjelasan terhadap petunjuknya), maka ayat-ayatnya satu sama lain saling memperjelas, menafsirkan, memerinci, mengelaborasi, dan pada akhirnya mencerahkan kehidupan. Al-Qur’an memang yufassiru ba’dhuhu ba’dha, satu sama lain membentuk konstruksi penalaran dan penjelasan rasional dan menyentuh hati, jika dibaca dengan spirit intertektualitas (tanashsh), interkoneksitas, dan kontekstualitas.
Resolusi yang membumi
Pertanyaannya, apakah al-Qur’an sebagai rahmat itu sudah membumi(nuzul) untuk mencerahkan kehidupan dan memberi resolusi terhadap krisis kemanusiaan? Sebagai bacaan sempurna, pembacaan al-Qur’an idealnya tidak berhenti pada level tilawah (membaca verbal) atau tidak sekadar dilombakan (musabaqah). Al-Qur’an harus dibaca dengan spirit iqra’ bismi Rabbik (membaca atas nama Tuhan, membaca dengan niat memperoleh pencerahan dari Tuhan), sehingga pembacaan integratif itu membuahkan aksi dan gerakan kemanusiaan berbasis nilai ketuhanan. Ayat-ayat al-Qur’an harus “menggerakkan” dan mempraksiskan nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moralnya dalam dinamika kehidupan.
Oleh karena itu, perintah Iqra’ yang turun pertama kali pada bulan Ramadhan bukanlah sekadar membaca verbal, melainkan juga membaca secara holistik-integratif: menghimpun informasi, meneliti, menemukan, dan mengembangkan sains. Spirit iqra’ mengharuskan integrasi pembacaan ayat-ayat Qur’aniyyah dan ayat-ayat kauniyyah, sehingga membuahkan resolusi krisis kemanusiaan yang membumi. Sebab al-Qur’an itu kaya sumber nilai, inspirasi, dan motivasi untuk pembangunan perabadan berkemajuan dan berkeadaban.
Sekadar contoh pembacaan al-Qur’an dengan spirit pencerahan kehidupan adalah pembacaan ayat 25 surat Maryam: “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”. Sepintas ayat ini berkisah tentang kondisi Maryam binti Imran beberapa hari sebelum melahirkan bayinya, Isa AS. Dalam kondisi di-bully, dipersekusi, dan dicaci maki kaumnya, sehingga tertekan secara psikologis, Maryam “mengasingkan diri” ke sebuah kebun kurma.
Pembacaan secara holistik-integratif terhadap ayat tersebut membuahkan sejumlah resolusi dan pesan kemanusiaan. Pertama, menggoyang itu menjadi sebab jatuhnya buah kurma (ruthab). Artinya, gerak fisik saat hamil tua itu penting dilakukan untuk “melancarkan” proses persalinan janin. Agar proses persalinan janin itu dimudahkan oleh Allah, Maryam perlu melakukan gerak fisik. Artinya, akibat positif harus dilalui dengan menjalani sebab positif pula.
Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir menjelaskan pohon kurma itu termasuk kategori keras dan tidak mudah digoyang, tidak seperti pohon lain yang buahnya akan berguguran, jika digoyang. Mengapa dalam kondisi hamil tua, dipersekusi kaumnya lantaran hamil “tanpa suami”, letih dan lunglai, Maryam diperintahkan untuk menggoyang pohon kurma yang keras dan sulit digoyang? Ternyata bukan “hasil” yang dipentingkan (akibat), tetapi proses dan usaha untuk menggoyang (sebab) itu yang diapresiasi.
Jadi, jangan pernah mengharapkan hasil (akibat) jika tidak pernah menempuh proses dan usaha optimal (sebab) yang mengantarkan kepada hasil yang diharapkan.
Kedua, buah kurma yang jatuh akibat digoyang menandakan bahwa saat menjelang kelahiran Isa AS itu merupakan musim pohon kurma berbuah dan hampir masak. Ilmu tumbuhan (botani), klimatologi, dan biologi dapat memberi jawaban memuaskan tentang musim kurma berbuah: Apakah musim dingin atau musim panas? Dipastikan bahwa kurma itu berbuah dan buahnya ranum (hampir masak) di musim panas, bukan musim dingin, apalagi puncak dingin di akhir Desember.
Ketiga, secara teologis, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Isa’ AS tidak dilahirkan di musim dingin, tetapi di musim panas, saat kurma mulai matang. Dengan kata lain, ayat tersebut berisi kritik teologis terhadap keyakinan bahwa Isa AS itu dilahirkan pada musim dingin, bulan Desember. Jadi, kritik historis teologis dalam ayat tersebut dilandasi fakta empirik yang dikonstruksi berdasarkan ilmu botani, biologi, dan klimatologi. Hal ini merupakan salah satu model integrasi keilmuan yang diisyaratkan ayat tersebut melalui proses penalaran logis dan multidisiplin keilmuan.
Keempat, mengapa yang berguguran itu ruthab (kurma hampir masak, setengah masak) dan apa hubungan ruthab dengan persalinan Maryam? Abdul Daim al-Kaheel dalam artikelnya, ‘Alij Nafsaka bi at-Tamr menjelaskan bahwa kurma merupakan makanan yang sangat baik, bergizi tinggi, sarat vitamin dan serat yang sangat dibutuhkan ibu yang akan melahirkan. Dalam kurma setengah masak (ruthab) terkandung zat-zat yang dapat merangsang otot-otot rahim dan melumasinya, sehingga dapat melancarkan proses persalinan.
Selain itu, ruthab juga sangat baik dan ampuh dalam meredakan pendarahan saat dan pascakelahiran. Dengan kata lain, ayat tersebut memberi solusi kepada ibu-ibu yang sedang hamil tua untuk melakukan gerak fisik dan mengonsumsi ruthab agar proses persalinannya lancar dan terhindar dari pendarahan yang membayakan dirinya maupun bayinya. Jadi, setidaknya terdapat integrasi ilmu gizi, ilmu kesehatan, dan ilmu kebidanan yang sangat diperlukan dalam menolong ibu yang akan melahirkan janinnya.
Hasil riset al-Kaheel tentang manfaat ruthab juga menunjukkan bahwa mengonsumsi ruthab dapat mengurangi rasa stress dan menimbulkan relaksasi pada ibu yang akan melahirkan. Artinya, nalar integratif keilmuan dalam konteks ayat tersebut menghendaki pentingnya pemanfaatan psikologi kelahiran untuk menenangkan, merelaksasi, dan menjauhkan ibu dari stress dan depresi.
Dengan ilmu munasabah, dalam ayat sebelumnya, Allah SWT menggembirakan Maryam dengan menyatakan: “Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS Maryam [19]: 24). Menurut Darwazah Muhammad Izzat, dalam at-Tafsir al-Hadits, turunnya ayat 25 tersebut –berarti diperlukan ilmu asbab an-Nuzul— terkait dengan utusan Nashrani Najran yang menemui Nabi SAW dalam sebuah majelis yang kemudian terjadi perdebatan mengenai kelahiran Isa AS.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa keyakinan kaum Nashrani Najran tentang pribadi Isa –yang diyakini sebagai Anak Allah— itu keliru, karena kelahirannya saja seperti kelahiran manusia pada umumnya, yaitu melalui proses persalinan normal didahului dengan minum air bersih dari “anak sungai” dan ruthab yang disediakan oleh Allah SWT. Dan, mustahil secara teologis, Allah itu mempunyai anak. Seandainya memiliki anak, Allah mestinya mempunyai istri, mertua, dan mungkin juga cucu. Jadi, ayat ini juga menegaskan keesaan Allah (wahdaniyat Allah) di satu segi, dan meneguhkan kebesaran dan kekuasaan Allah yang mampu menciptakan manusia tanpa ayah melalui seorang Maryam yang suci, sebagaimana Allah Maha Berkuasa menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu.
Jadi, pesan moral dari ayat 24-25 surat Maryam tersebut sangat mencerahkan nalar keilmuan integratif: botani, biologi, klimatologi, sejarah, teologi, ilmu gizi, ilmu kebidahan, ilmu kesehatan, psikologi, ilmu asbab an-nuzul, ilmu munasabah, dan tekstolinguistik (linguistik teks) dalam menarasikan kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, sebagai pencerah kehidupan, kemukjizatan al-Qur’an harus dibaca secara kontekstual, holistik, integratif untuk dapat menghadirkan resolusi yang membumi terhadap persoalan kehidupan, krisis kemanusiaan, dan rekonstruksi keilmuan. Semoga spirit dan nilai-nilai al-Qur’an senantiasa membumi dan menyinari kehidupan umat manusia, tidak hanya di bulan suci Ramadhan, tetapi juga setelah Ramadhan.
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia