Oleh M Husnaini
Pada bulan Maulud 1335 H, di hadapan para penghulu, para khatib, dan para ulama yang hadir di serambi Masjid Gedhe Kauman, KH Ahmad Dahlan menerangkan tentang kerusakan umat Islam dan sifat-sifat ulama yang rusak, serta kebiasaan-kebiasaan mereka yang gemar menuduh ulama lain sebagai yang rusak.
“Marilah kita sekarang mengajak para ulama mengakui bahwa ulama rusak dan ulama dajal ialah diri kita ini,” tutur KH Ahmad Dahlan seperti dicatat KRH Hadjid (2013). “Dan saya, Ahmad Dahlan, termasuk ulama su’ yang merusak agama Islam. Mudah-mudahan pengakuan ini dapat menghapus dosa dan melebur amal saya.”
Penuturandi atas menggambarkan bahwa KH Ahmad Dahlan mengajak semua yang hadir untuk berintrospeksi daripada selalu melempar kesesatan kepada orang lain. KH Ahmad Dahlan seolah hendak bilang, menjadi baik itu penting, tetapi jangan pernah merasa diri paling baik, dan lebih berbahaya lagi, kalau sampai menganggap orang lain buruk.
KH Ahmad Dahlan, intinya, mengajak semua tokoh agama untuk terus-menerus memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu sebelum memperbaiki orang lain. Upaya membersihkan keburukan dan kesalahan umat harus dimulai dari usaha membersihkan kotoran dan kebusukan diri sendiri. Jangan terbalik.
Memberikan pencerahan kepada orang lain namun diri sendiri berada dalam kegelapan jelas bukan contoh dakwah yang baik. Jangan pula kayak lilin, yang mampu menerangi orang lain dan lingkungan sekitar, tetapi diri sendiri dibiarkan hancur mencair.
Beragama, apalagi menyampaikan pesan-pesan agama, sama sekali dilarang berdasarkan bisikan hawa nafsu. “Tahukah kamu orang yang menuhankan hawa nafsunya.” Penggalan surah Al-Jatsiyah/45: 23 ini benar-benar merasuk ke sanubari, menembus perasaan, membangun kekuatan, dan betul-betul diamalkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Hadjid (2013) menambahkan keterangan, kaum Musyrikin menyembah berhala karena menuruti bisikan hawa nafsu dan kebiaasaan masyarakat sekitar yang sudah berlaku sejak nenek moyang. Barangsiapa berbuat berdasarkan kebiasaan yang menyalahi hukum Allah, itulah yang disebut menyembah hawa nafsu.
Seorang Muslim menaruh cinta kepada apa saja atau siapa saja secara sama, apalagi lebih besar dibanding cinta kepada Allah, itu syirik namanya. Renungilah pesan surah Al-Baqarah/2: 165 bahwa, “Orang-orang beriman sangat besar cinta mereka kepada Allah.”
Nafsu itu pangkal berhala menyesatkan. Pengaruhnya sungguh dahsyat, dan menjadikan manusia buta mana benar dan salah. Sedihnya, perang melawan nafsu tidak cukup sekali atau dua kali, namun berlangsung seumur hidup. Rasulullah menyebutnya sebagai jihad akbar. Bijak bestari menasihatkan, musuh yang sesungguhnya tidak berada di luar diri, tetapi bersemayam di dalam diri kita sendiri.
Nafsu tidak dapat dilenyapkan karena merupakan fitrah atau sifat bawaan. Yang harus dilakukan adalah terus membersihkannya. Bagaimana cara membersihkan nafsu?
Tiga resep diajarkan KH Ahmad Dahlan: dengan ingat kepada Allah (zikrullah), dengan menunaikan shalat, dan selalu memikirkan bahaya akhirat. Tentu saja ketiga cara ini harus dikerjakan dengan gerak hati, lisan, dan badan secara kompak.
Banyak tuntunan zikir berupa kalimat tayibah yang dapat dipilih. Demikian juga shalat, silakan utamakan terlebih dahulu yang wajib, dan kemudian dilengkapi dengan shalat-shalat sunah yang jelas tuntunannya. Sementara menjenguk pasien yang sakit keras, korban kecelakaan yang parah, juga mengantar jenazah ke kuburan, setidaknya, dapat mengingatkan kepada kematian.
Soal bahaya-bahaya akhirat, caranya adalah dengan membaca, memahami, dan merenungi secara mendalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kiamat dan segala kengerian setelahnya. Bertebaran ayat-ayat semacam itu. Tidak ada sumber lain kecuali Al-Qur’an.
Yang wajib terus diingat, masa depan setiap manusia kelak hanya dua. Jika tidak menuju surga, pasti masuk neraka. Tidak ada arah jalan ketiga. Semoga, saya, Anda, dan kita semua termasuk hamba-hamba yang memperoleh petunjuk dan pertolongan dari Allah.
M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)