Anwar Abbas
Masalah kesenjangan ekonomi yang ada saat ini (indeks gini kita 0,39) tidak boleh dianggap enteng, karena dia merupakan bom waktu yang pada saatnya akan meledak dan kalau sudah meledak maka negeri ini akan kacau dan kita semua akan panik dibuatnya.
Untuk itu bentuk dan struktur masyarakat kita hari ini yang seperti piramid dengan kebijakan yang bersifat affirmatif action harus bisa kita transformasikan kepada bentuk seperti belah ketupat dimana jumlah kelas atas yang superkaya itu jumlahnya cukup 2% . Kelas menengah 95% dan kelas bawah 3%.
Tetapi persoalannya untuk memperbesar jumlah kelas menengah tersebut jelas tidak mudah karena untuk itu perlu ada proses diseminasi mentalitas entrepreneurship dan intrapreneurship yang bersifat masif terutama di kalangan anak-anak didik kita.
Bagi saudara-saudara kita dari etnis Cina, hal ini tidak bermasalah karena mereka umumnya sudah hidup dalam keluarga yang umumnya menghormati dan memuliakan pekerjaan sebagai pengusaha dan atau pedagang. Berbeda dengan kita yang lebih menghormati pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil, tentara dan atau polisi. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan entrepreneurship dan atau intrapreneurship mentality di kalangan anak-anak kita tentu jelas tidak mudah karena mileu dan atau dukungan dari lingkungan keluarga kurang mendukung.
Untuk itu peran dari dunia pendidikan untuk menciptakan mentalitas kewirausahaan di kalangan anak-anak didik tentu jelas sangat diharapkan dengan melakukan 2 hal, yaitu bagaimana sekolah atau perguruan tinggi bisa memberikan pengetahuan atau teori dan praktik bisnis dan berbisnis secara teratur dan berketerusan. Karena dengan cara inilah akan bisa terbentuk kebiasaan berbisnis di kalangan anakanak didik kita. Dan kalau berbisnis itu sudah biasa bagi mereka maka tentu masalah berbisnis itu akan menjadi budaya dan atau mentality bagi sang anak.
Untuk itu demi mendukung terciptanya hal demikian perlu ada dua langkah yang harus kita lakukan, Pertama memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang bisnis kepada anak didik kita sedini mungkin minimal sejak sekolah dasar kelas satu sampai ke perguruan tinggi. Kedua, menciptakan aura dan kondisi serta praktik berdagang dan berbisnis di kalangan anak didik kita di sekolah dan atau di luar sekolah. Untuk itu minimal sekali dalam seminggu dalam rentang waktu istirahat sekolah kita menyelenggarakan apa yang disebut dengan “bisnis atau market day” dengan mempersilakan anak didik kita untuk berdagang di kantin atau di halaman sekolah.
Jadi pada hari tersebut yang berdagang di kantin atau di sekolah bukan bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah biasa berjualan di sana tapi adalah anak didik kita. Bila ini bisa kita lakukan, di samping ada pemberian wawasan tentang ekonomi dan bisnis di kelas berarti anak didik kita akan punya pengalaman berdagang dan berbisnis 50 kali dalam setahun. Tamat SD dia punya pengalaman 300 hari berbisnis. Tamat SLTA dia punya pengalaman 600 hari berbisnis dan tamat perguruan tinggi dia punya pengalaman 800 hari berbisnis.
Bila ini bisa kita lakukan maka tentu dalam diri anak-anak kita akan terbentuk mentalitas baru yang kita sebut dengan entrepreneurship mentality dan atau intrapreneurship mentality. Bila ini yang terjadi pada diri anak didik kita maka tentu produktivity dari anak bangsa ini akan meningkat dan bila produktivity kita sebagai bangsa meningkat maka tentu negeri ini akan menjadi negeri yang kuat, mandiri dan maju.
Tetapi yang menjadi persoalan maukah kita dan atau pemerintah mengambil langkah-langkah yang bersifat struktural dan kultural ini ke dalam dunia dan proses pendidikan yang diselenggarakannya? Jawabnya menurut saya harus mau kalau kita ingin negeri ini menjadi negeri yang kuat, mandiri dan maju. (IM)
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2019