Milad Seabad ‘Aisyiyah Penghargaan untuk Siti Walidah dan Siti Bariyah

Satu abad telah genap dilintasi oleh ‘’Aisyiyah dengan derap dan langkahnya mengisi perjuangan memuliakan derajat perempuan Indonesia. Dalam pidato Milad 100 tahun pada 19 Mei 2017, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini mengatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh ‘Aisyiyah selama satu abad ini tidak lain karena jasa serta pengkhidmatan yang tiada tara oleh para peletak dasar gerakan ‘Aisyiyah.

Bersamaan dengan momentum penanda usia emas tersebut, PP ‘Aisyiyah turut memberikan penghargaan Tokoh Perempuan ‘Aisyiyah sebagai apresiasi kepada dua sosok penggerak awalnya yaitu Siti Walidah Dahlan sebagai pelopor dan pendiri ‘Aisyiyah dan Siti Bariyah sebagai tokoh dan ketua pertama ‘Aisyiyah.

“Mereka bukan hanya merintis pergerakan ‘Aisyiyah, tetapi juga ikut memberi saham dalam gerakan kebangkitan perempuan Islam dan bangsa Indonesia,” tutur Noordjannah.

Hal tersebut diamini oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, yang juga turut menyerahkan penghargaan 100 Tahun ‘Aisyiyah Award tersebut kepada perwakilan keluarga dari Siti Walidah Dahlan juga Siti Bariyah. Menurut Haedar, penghargaan tersebut masih belum sebanding dengan pergumulan dan perjuangan milik para pendiri dan penggerak awal ‘Aisyiyah yang menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari Muhammadiyah. “Ini hanya bagian dari kami berterimakasih kepada pendiri awal gerakan ‘Aisyiyah,” tukas Haedar.

Siti Walidah, Sang Pelopor

Semasa hidupnya, Siti Walidah Dahlan menjadi pelopor kemajuan. Menyadarkan masyarakat pribumi untuk bangkit mengejar ketertinggalan. ‘Dua penyakit yang tidak bisa diobati kecuali oleh orang itu sendiri ialah penyakit malas dan kikir. Oleh karena itu perempuan Muhammadiyah supaya menjaga agar tidak terkena dua penyakit tersebut.” Inilah salah satu pesan Siti Walidah Dahlan kepada murid serta generasi penerusnya.

Pesan lainnya yang tidak kalah tegas dan layak untuk dicamkan dalam benak perempuan penerus generasi adalah, “Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa Srikandi!”

Dalam penganugerahan 100 Tahun ‘Aisyiyah Award tersebut, Siti Walidah Dahlan yang juga seorang Istri pendiri pergerakan Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, dinobatkan sebagai Tokoh Perempuan ‘Aisyiyah dengan predikat ‘Pendiri dan Pelopor Pergerakan ”Aisyiyah dalam Memajukan Perempuan dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’.

Atas semua dedikasinya, Siti Walidah Dahlan telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI pada 22 September tahun 1971 dengan SK nomor 042/ TK. Penghargaan itu diterima tepat 25 tahun setelah wafatnya di usia 74 tahun, pada 1946 dan 10 tahun setelah dinobatkannya KH Ahmad Dahlan dengan gelar Pahlawan Nasional.

Mengilhami kiprahnya sebagai pelopor gerakan ‘Aisyiyah dalam memajukan perempuan dan bangsa, pada momentum 100 tahun ‘Aisyiyah, Haedar Nashir sempat mengurai sejumlah momentum penting dalam catatan sejarah tentang sosok Siti Walidah Dahlan. Momentum tersebut dinilainya patut dijadikan ibrah bagi warga ‘Aisyiyah di masa-masa yang akan datang.

“Setelah tahun 1917, Nyai Walidah sebenarnya diangkat sebagai Presiden atau Ketua Bahagian ‘Aisyiyah, ia justru mendelegasikan peran tersebut kepada Siti Bariyah yang masih muda, intelektual dan punya pemikiran yang luas,” tutur Haedar.

Hal tersebutlah yang membuat Siti Bariyah menjadi Ketua Pertama Asiyiyah atau pada saat itu adalah HB Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah, hingga tahun 1920 yang diteruskan oleh Siti Walidah hingga 1926.

“Peristiwa ini menggambarkan betapa Nyai Walidah yang pada saat itu belum terlalu tua, ia justru memberikan estafetnya kepada tokoh-tokoh yang sedang bertunas menjadi penggerak ‘Aisyiyah, seperti Siti Bariyah, Hayyinah, Siti Munjiyah dan seterusnya,” lanjut Haedar.

Selain peristiwa tersebut, Haedar juga mengingatkan momentum di mana Siti Walidah menjadi Ketua Kongres Muhammadiyah di Surabaya pada tahun 1926. Haedar menilai, pada saat itu, di zaman ketika perhelatan serupa masih didominasi oleh kaum laki-laki, Siti Walidah mampu tampil membawakan pidato yang gaungnya terdengar hingga keluar tempat penyelenggaraan sidang. Dua majalah yaitu Warta Surabaya dan majalah kaum Tionghoa mewartakan dirinya sebagai sosok penggerak kebangkitan perempuan Indonesia yang menjadi singa podium di tengah kaum laki-laki.

“Bisa dibayangkan pada saat itu ketika pandangan sebagian umat beragama dan budaya masyarakat masih mendomestifikasi peran perempuan, lahir sosok Aisyah baru di Indonesia tercinta ini yakni Siti Walidah,” tandas Haedar.

Siti Bariyah, Intelektual Muda dan Ketua Pertama

Diberikan penghargaan 100 tahun ‘Aisyiyah Award sebagai ‘Tokoh dan Ketua Pertama Pergerakan ‘Aisyiyah yang Berkhidmat dalam Pergerakan Perempuan dan Perjuangan Bangsa’, Siti Bariyah merupakan salah seorang murid dari KH Ahmad Dahlan yang memiliki kecakapan dan intelektualitas yang tinggi.

Ia yang merupakan lulusan Sekolah Netral dianggap memiliki kapasitas memimpin organisasi yang lebih menonjol dari pada yang lain. Sehingga di usia yang pada saat itu masih sangat belia, Siti Bariyah ditunjuk sebagai ketua pertama bagian ‘Aisyiyah pada awal pembentukannya di tahun 1917 hingga tahun 1920.

Dengan kemampuan intelektualnya Siti Bariyah mendapatkan otoritas dari Ketua Muhammadiyah yang pada saat itu kepemimpinan dipegang oleh KH Ibrahim untuk memberikan penafsiran terhadap rumusan dan tujuan Muhammadiyah. Tafsiran tersebut dimuat dalam bentuk artikel di majalah Suara Muhammadiyah edisi 09 tahun ke-4 bulan September 1923 dengan Judul ‘Tafsir Maksoed Moehammadijah’.

Tidak hanya cakap memimpin organisasi, Siti Bariyah adik kandung dari H Fachrodin, Pimpinan Redaksi Pertama Suara Muhammadiyah, juga memegang peranan penting bagi Suara ‘Aisyiyah. Ia menjadi satu dari 4 redaktur pertama yang memimpin Suara ‘Aisyiyah.

Noordjannah pun berpesan bahwa kiprah tokoh ‘Aisyiyah di awal masa pembentukannya harus diambil sebagai ibrah yang menginspirasi serta mendorong semangat ‘Aisyiyah memasuki abad keduanya untuk berjuang tanpa lelah memuliakan martabat perempuan dan memajukan kehidupan bangsa.

“’Aisyiyah di usia satu abad dan memasuki fase abad kedua harus semakin maju di banding masamasa sebelumnya, sehingga menjadi kekuatan pergerakan yang unggul berkemajuan,” pungkas Noordjannah. (Th)

Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2017

Exit mobile version