Selama 100 tahun, ‘Aisyiyah telah berperan membangun bangsa dalam berbagai bidang dan memberi nafas bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Pada Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta 1928, ‘Aisyiyah hadir bersama organisasi perempuan lainnya sebagai pendiri serta penggagas forum yang menjadi penanda kemunculan kesadaran kolektif bangsa. Salah satu organisasi perempuan tersebut adalah Wanita Katolik.
Suara Muhammadiyah mendapat kesempatan berdialog dengan Ketua Presidium DPP Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Justina Rostiawati. WKRI yang berdiri pada 1924 ini merupakan organisasi perempuan berbasis keagamaan juga partner penggagas Kongres Perempuan Pertama ‘Aisyiyah. Bagaimana ikatan historis yang dimiliki WKRI dengan ‘Aisyiyah? Bagaimana pandangan Justina tentang peran ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta? Berikut petikan dialognya.
Sebagai salah satu organisasi peserta Kongres Perempuan Pertama, bagaimana pandangan Wanita Katolik terhadap fakta historis tersebut?
Wanita Katolik merupakan adik organisasi dari ‘Aisyiyah yang beda usianya 7 tahun. Wanita Katolik didirikan di Yogyakarta pada 26 Juni 1924. Pada Kongres Perempuan Pertama ada organisasi-organisasi perempuan yang lain sebanyak 7 organisasi. ‘Aisyiyah yang pertama, lalu Wanita Katolik, Wanita Taman Siswa, dan yang lain-lain. Ada Jong Islamienten, Jong Java dan lain lain. Sekarang, hanya tinggal dua organisasi, yaitu ‘Aisyiyah dan Wanita Katolik. Saya sempat berbicara kepada pimpinan ‘Aisyiyah bahwa tinggal ‘Aisyiyah dan Wanita Katolik yang bisa bergandeng tangan untuk mengawal KOWANI. Karena, KOWANI didirikan awalnya mempunyai misi dalam Kongres Perempuan Pertama.
Bagaimana anda melihat peran ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Pertama?
Saya rasa peran ‘Aisyiyah cukup besar bersama 7 organisasi lainnya. Organisasi perempuan yang jelas dan cukup besar pada waktu itu adalah ‘Aisyiyah, Wanita Katolik, dan Wanita Taman Siswa.
Bersama Aisyiyah, saya betul-betul melihat adanya nilai-nilai dan spirit soal kepedulian, keberpihakan kepada yang lemah. Maka, melihat kesejarahan tersebut, saya merasa bersama dengan ‘Aisyiyah. Kita juga punya andil untuk bersama-sama menggagas NKRI. Karena cikal bakal NKRI juga dari Kongres Perempuan Pertama dan Sumpah Pemuda.
Apakah isu-isu perempuan yang diangkat ‘Aisyiyah sejalan dengan Wanita Katolik?
Mungkin karena kesejarahan yang juga dulu lahirnya di Yogyakarta, kemudian ibu-ibu kita, pendiri awal ‘Aisyiyah dan juga Wanita Katolik, kurang lebih sama dalam hal kepedulian terhadap-isu-isu yang diangkat. Kalau ibu-ibu ‘Aisyiyah banyak dari Ndalem Kauman, di Wanita Katolik juga banyak dari ibu-ibu yang bukan orang sembarangan. Karena mereka adalah ibu-ibu yang dulu mengenyam pendidikan. Bisa peduli karena mereka sekolah dan arena kita juga bergerak di sekolah. Bisa dibayangkan pada zaman dahulu yang bisa bersekolah itu siapa? Jadi itulah mengapa mereka disebut sebagai bukan perempuan sembarangan. Karena bukan perempuan sembarangan menjadikan ‘Aisyiyah dan Wanita Katolik dikagumi banyak kalangan. Karena pada zaman itu, kalau perempuan bukan perempuan sembarangan tapi ‘ningrat’ seperti keturunan Kasunanan atau Kerajaan, mana bisa peduli terhadap orang lain? Tapi mengapa dari ibu-ibu kita ini bisa tumbuh kepedulian yang sangat besar dari mereka.
Selama ini kita concern pada pendidikan karakter. Kita juga punya program peningkatan perempuan pada Usaha Kecil dan Menengah yang berfokus kepada kesejahteraan, lalu pencegahan kepada narkoba dan NAPZA. Kita juga punya Rumah Aman yang difungsikan untuk Shelter bagi perempuan yang terkena kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Dari sana kita bisa melihat bahwa Wanita Katolik dan ‘Aisyiyah memiliki spirit yang sama.
Apa harapan anda secara umum kepada ‘Aisyiyah?
‘Aisyiyah ini punya massa yang besar. ‘Aisyiyah juga bergerak bersama gerakan Muhammadiyah. Saya mengharapkan untuk tetap terus dan tidak berhenti. Selain itu juga saya harapkan ‘Aisyiyah mencoba menggandeng yang lainnya, organisasi-organisasi perempuan yang lain agar punya spirit gerakan yang sama.
Apa pesan anda untuk ‘Aisyiyah yang sudah berusia 1 abad?
Pesan saya, jangan sampai spirit yang diemban selama 100 tahun itu padam. Menurut saya, fokus ‘Aisyiyah terhadap Pendidikan Anak Usia Dini ini sungguh strategis. Saya ucapkan sukses selalu untuk ‘Aisyiyah. Harapannya, kita selalu bisa bermitra dan bergandeng tangan, terutama untuk Pendidikan Anak Usia Dini, karena kita tahu ini adalah pintu yang strategis. Sehingga kita bisa membesarkan dan merawat generasi kita untuk menjadi generasi yang bermutu menyongsong generasi emas di tahun 2050.
Biodata Narasumber
Justina Rostiawati, MHum memulai karirnya di Universitas Katolik Atmajaya sejak tahun 1983 dan saat ini menjadi peneliti senior di kampus tersebut. Justiana mendapatkan gelar Masternya dari Program Pascasarjana Kajian Gender UI. Dalam hal riset, perempuan kelahiran 18 Oktober 1960 menaruh perhatian besar terhadap isu perempuan, gender, hak asasi juga pendidikan. Pendiri Sekretariat Jaringan Mitra Perempuan, organisasi pemberdayaan berbasis komunitas tersebut sempat menjadi Komisioner Komnas Perempuan pada masa bakti 2010-2014. Sejak tahun 2013, Justina menjabat sebagai Ketua Presidium DPP Wanita Katolik RI – organisasi perempuan berbasis agama, hingga saat ini.
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2017