Meskipun saat ini populasi Muslim di Jepang masih didominasi oleh pendatang dari negara lain, belakangan, semakin banyak warga Jepang tertarik mengetahui apa itu Islam. Menurut Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jepang, Muhammad Kunta Biddinika, meningkatnya perhatian tersebut merupakan salah satu respons pasca berkelindannya isu terorisme global.
“Justru orang Jepang makin ingin tahu apa sebenarnya Islam itu. Beberapa sesi penjelasan tentang Islam di Masjid Jami’ Tokyo yang diikuti dengan penjelasan tentang bangunan masjid yang menyerupai Masjid Sultan Ahmad di Istanbul itu, makin dibanjiri masyarakat Jepang akhir-akhir ini,” terang Kunta.
Komunitas Muslim di Jepang berkembang sejak pembangunan masjid Jami’ Tokyo yang biasa disebut dengan Tokyo Camii sekitar tahun 1930. Tokyo Camii dibangun berdampingan dengan Pusat Kebudayaan Turki, terletak di Distrik Ōyama-chō, Shibuya, Tokyo. Di awal pasca pembangunannya, Tokyo Camii berperan sebagai pusat pendidikan dan pelayanan sosial bagi imigran Tartar yang mengungsi akibat revolusi di Rusia pada 1917. Tokyo Camii yang dikenal sebagai Masjid terbesar di Jepang tersebut kembali direstorasi tahun 1998 dan rampung pada 2000.
Beberapa ahli memperkirakan, saat ini ada 100 ribu Muslim yang tinggal di negeri Sakura. Sepuluh ribu di antaranya penduduk asli Jepang. Sebagian besar Muslim pendatang di Jepang berasal dari Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Iran. Jumlah tersebut terus bertambah seiring bertambahnya jumlah pendatang yang berasal dari kalangan pekerja migran, peneliti dan juga mahasiswa.
Muslim dan Relasi Sosial di Jepang
Relasi Muslim di Jepang dengan pemerintah dan masyarakat setempat terjalin dengan baik. Kunta, yang saat ini sedang menjadi Peneliti (Postdoctoral Fellow) di School of Environment and Society, Tokyo Institute of Technology, menjelaskan, iklim keberagamaan yang dibangun cukup kondusif, termasuk antarpenganut agama. Ini karena mereka sangat menghormati hak-hak individu. Dan, lebih dari itu, utamanya adalah karena Jepang merupakan negara sekuler. Jepang tidak memberikan perlakuan khusus terhadap penganut agama tertentu. “Muslim di Jepang berhubungan baik dengan penduduk setempat, termasuk pemerintahnya. Tidak pernah terdengar hal-hal negatif yang mencuat terkait kaum muslimin yang tinggal di Jepang, termasuk dengan pemerintah Jepang,” tukasnya.
Kelompok Muslim di Jepang pun aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan di negara yang terkenal rawan bencana tersebut. “Sesaat setelah gempa yang diikuti tsunami di Tohoku 2011 lalu, beberapa kelompok kaum muslimin juga turut ambil bagian dalam kegiatan kemanusiaan di daerah yang terkena dampak,” lanjutnya. Bahkan, menurutnya, aktivitas kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok Muslim tersebut sempat mendapatkan sorotan dari media lokal yang turut menayangkan liputan khusus tentang kegiatan mereka.
Perkembangan positif ini juga didukung menggeliatnya bisnis Halal Food di Jepang. Bisnis Halal Food mulai merambah Jepang seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Jepang, khususnya yang berasal dari negaranegara mayoritas Muslim. Upaya tersebut dikuatkan salah satunya dengan mengambil lisensi halal untuk produk-produknya yang saat ini berkerjasama dengan Malaysia. “Jepang mulai mendorong bisnis-bisnis Halal Food, terutama yang menyajikan masakan-masakan Jepang supaya para turis Muslim bisa menikmati kuliner Jepang yang halal,” terangnya.
Duta Besar Jepang, Yazuaki Tanizaki, beberapa waktu lalu memberikan penghargaan dari Kementerian Luar Negeri Jepang kepada Din Syamsuddin atas kontribusinya dalam meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dan Jepang, terutama dalam memberikan pengertian mengenai Islam dan mempromosikan produk makanan halal di negeri Sakura tersebut. Saat memberikan penghargaan tersebut, Tanizaki sempat menyinggung bahwa upaya promosi Halal Food tersebut bukan hanya karena kebutuhan pariwisata saja, namun merupakan komitmen Jepang dan bentuk pengertiannya terhadap Indonesia. Meski hingga saat ini belum ada keterlibatan langsung Muhammadiyah lewat PCIM Jepang dalam mempromosikan Halal Food di Jepang, Tanizaki menerangkan bahwa terkait Halal Food, Jepang turut meminta saran kepada Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan Penyebaran Islam di Jepang
Bisa disimpulkan bahwa Muslim di Jepang memiliki keterlibatan yang cukup aktif di tengah masyarakat Jepang, termasuk warga atau simpatisan Muhammadiyah. Sepengamatan Kunta, mereka tersebar sebagai pekerja di kantor-kantor dan perusahaan, pabrik, dan kampus-kampus. Di samping itu, Kunta pun mengatakan bahwa Muhammadiyah secara khusus memperoleh sorotan dari salah seorang mantan Ketua Japan Muslim Association, Khalid Kaguchi Mimasaka.
Menurut Mimasaka, Muhammadiyah berperan besar dalam penyebaran Islam dengan membentuk persepsi masyarakat Jepang bahwa Islam adalah agama yang damai dan tidak mudah menyalahkan mereka yang berbeda keyakinan ataupun pandangan hidupnya. “Dia mengatakan bahwa orang Muhammadiyah tidak gampang mengkafir-kafirkan orang lain, toleran, dan tidak mudah mengharam-haramkan. Berbeda dengan kaum muslimin yang berlatarbelakang budaya lain yang juga sama-sama tinggal di Jepang. Begitu menurutnya,” kata pria kelahiran Kauman, Yogyakarta ini.
Meskipun dianggap belum sebesar PCIM negara lain, kegiatan Dakwah PCIM Jepang cukup berjalan baik. Selain dengan pertemuan dan silaturahmi yang dilakukan antaranggota, PCIM Jepang juga memanfaatkan sarana online untuk melangsungkan kajian dan pengajian atau melakukan rihlah (kunjungan) yang digagas oleh Ustadz Mimasaka. Sebagian besar penggiat PCIM Jepang, menurut Kunta, saat ini bermukim di daerah Kanto (Tokyo dan sekitarnya). “Tetapi alhamdulilah, mulai akhir 2016 lalu, beberapa penggiat Muhammadiyah yang tinggal di Kota Fukuoka, sebuah kota Jepang bagian Selatan, sudah berinisiatif mempersiapkan berdirinya Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah (PRIM) Fukuoka, Jepang,” imbuhnya.
PCIM Jepang juga menjalin hubungan cukup baik dengan berbagai komunitas di Jepang, salah satunya dengan Japan Muslim Association (JMA). “Apalagi dengan komunitas Muslim Indonesia. PCIM Jepang bahkan pernah diminta Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo (KBRI Tokyo) untuk mendatangkan ahli dalam penentuan awal bulan Ramadhan,” tukas Kunta.
Tantangan Muslim Jepang
Menurut Kunta, fenomena Islamophobia tidak banyak ditemukan di Jepang. “Terutama karena masyarakat Jepang kebanyakan suka membaca dan mencari informasi secara detail, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu negatif yang berkembang dalam hal apa saja, termasuk terkait dengan Islam,” terang Kunta. Meskipun di awal 2015 ada 6 masjid dan 1 organisasi keislaman di Jepang yang memperoleh ancaman oleh orang tak dikenal setelah adanya kasus penyanderaan warga negara Jepang oleh kelompok militan ISIS yang berakhir pada terbunuhnya dua warga Jepang tersebut. “Namun secara umum, kaum muslimin di Jepang tidak pernah bermasalah dalam berinteraksi dengan penduduk setempat dan pemerintah Jepang,” tegasnya.
Di sisi lain, tantangan Muslim Jepang menurut Kunta adalah bagaimana mengubah persepsi negatif kepada Muslim secara umum. Persepsi tersebut dapat diubah ketika Muslim di Jepang mampu memiliki peran yang besar, terlebih di kancah Internasional. Contohnya, dengan bersumbangsih di perusahaan-perusahaan di Jepang, menjadi pengusahapengusaha berkinerja positif di kancah bisnis Jepang, atau berperan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di Jepang. “Itulah kira-kira yang menjadi pekerjaan rumah kaum Muslim di Jepang saat ini,” pungkas Kunta. (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2017