Ngaji Bareng Kiai Dahlan (6): Inilah Ukuran Keberislaman

Oleh M  Husnaini

KRH Hadjid (2013) menceritakan, peristiwa ini terjadi kira-kira pada 1918. Ketika itu, ada rapat tahunan anggota Muhammadiyah di depan Madrasah Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Dalam pembicaraan tentang AD-ART Muhammadiyah, tiba-tiba muncul dua pendapat yang berbeda tajam antara KH Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim.

Menurut penuturan KH Suprapto Ibnu Juraimi, Haji Agus Salim mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik. Tidak sedikit anggota rapat yang sepakat. Sebagai ahli diplomasi, tentu argumentasi Haji Agus Salim sangat menarik. Hadjid sendiri, yang ketika itu berusia 23 tahun, cenderung mendukung usulan tokoh yang menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing itu.

Suasana menjadi riuh rendah, sampai akhirnya KH Ahmad Dahlan berdiri dan mengetok palu pimpinan. Setelah hadirin kembali tenang, KH Ahmad Dahlan melontarkan dua pertanyaan, “Apakah Saudara-Saudara sudah mengerti benar terntang arti Islam dan apakah arti Islam yang sebenar-benarnya?” tanya KH Ahmad Dahlan yang membikin peserta rapat tercengang. “Apakah Saudara-Saudara ini senang dan berani menjalankan Islam dengan sesungguhnya?”

Semua terdiam. Tidak ada yang sanggup menjawab. Pertanyaan-pertanyaan pokok dan mendasar semacam itu pasti lahir dari seorang Mukmin yang benar-benar berjiwa ikhlas dalam beramal. KH Ahmad Dahlan termasuk pribadi semacam itu.

Surah Al-An’am/6: 162-163 kerap menjadi bahan perenungan KH Ahmad Dahlan. “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri.”

Islam ialah penyerahan lahir dan batin hanya kepada Allah. Hadjid menambahkan, yang tidak menyerah kepada Allah hanya dua, yaitu setan dan hati manusia yang terus-menerus melawan Allah. Contoh pribadi yang pertama kali menyerahkan dirinya secara total kepada Allah adalah Nabi Ibrahim. Ketika diperintah Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ibrahim menyatakan siap tanpa syarat (QS As-Shaffat/37: 102).

Nabi Ibrahim juga berwasiat kepada anak dan cucunya agar mereka senantiasa berserah diri sepenuhnya kepada Allah (QS Al-Baqarah/2: 131-132). Tidak heran jika Allah beberapa kali memuji Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an, antara lain, “Ibrahim itu bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim, dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik (QS Ali Imran/3: 67).


Senada itu, KH Ahmad Dahlan sering menerangkan, “Agama itu (adalah) cenderungnya rohani (berpaling) dari nafsu, yang naik ke angkasa kesempurnaan yang suci, yang bersih dari tawanan benda-benda.”

Orang beragama, kata KH Ahmad Dahlan, ialah orang yang jiwanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Bersih tidak dipengaruhi oleh lain-lainnya. Hanya tertuju kepada Allah. Tidak tertawan oleh kebendaan dan harta benda. Sikap demikian dapat dibuktikan dan dilihat dengan kesadaran menyerahkan harta benda dan dirinya kepada Allah.

Benar bahwa keyakinan agama terdapat di dalam relung batin manusia. Namun, bukti atau tanda keberagamaan manusia dapat dilihat dari aspek lahirnya. Budayawan Emha Ainun Nadjib sering mengibaratkan, ibadah itu proses memasak, dan perilaku kita kepada sesama itulah yang kita hidangkan.

Maksudnya, beribadah formal sebagai wujud kewajiban orang yang beragama itu belum berarti apa-apa jika tidak melahirkan akhlak mulia. Cak Nun juga menegaskan bahwa agama itu urusan dapur. Yang harus disajikan dalam etalase pergaulan sehari-hari adalah keluhuran akhlak.

Dalam peribahasa bahasa Arab, terdapat kalimat Lisanul hal afshahu min lisanil maqal. Artinya, bahasa perbuatan itu lebih fasih dibanding bahasa ucapan.

Ringkas kata, ukuran keberislaman adalah kesediaan untuk menyerahkan segala yang dipunya secara total, termasuk harta benda, di jalan Allah. Dalam pemikiran dan perilaku KH Ahmad Dahlan sepanjang hidup, iman bukan sekadar ucapan lisan dengan dua kalimah syahadat, melainkan harus melahirkan tindakan berupa amal saleh dan aksi sosial.

Sebagai akhir, sekali lagi kita kutip kalimat KH Ahmad Dahlan yang sudah viral di bawah ini:

“Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tidak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.”

M Husnaini, Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Exit mobile version