Royyan Mahmuda Daulay
Suatu ketika, Nabi Musa ‘alaihi salam mengadu kepada Allah SWT, ” Wahai Tuhanku, Engkau telah menciptakan para makhluk dan mengurus mereka semua dengan berbagai kenikmatan dan rezeki-Mu. Namun, mengapa setelah itu Engkau tempatkan mereka di neraka-Mu pada hari kiamat kelak? “.
Allah pun berfirman kepada Musa, ” Wahai Musa, bangkitlah dan tanamlah gandum!”.
Musa pun menjalankan perintah itu. Ia menanam gandum, lalu mengairinya, merawatnya, menuainya, dan kemudian mengetamnya (memilah biji yang berisi dan tidak). Kemudian, Allah Swt. bertanya kepada Musa, ” Apa yang engkau lakukan terhadap hasil panenmu itu, wahai Musa? “.
Musa menjawab, ” Aku telah mengetamnya. “
Allah pun bertanya, ” Adakah biji yang kau buang? “
“Wahai Tuhanku, yang kubuang hanyalah biji yang sama sekali tidak ada isinya. “
Maka Allah Swt. berfirman, ” Wahai Musa, sesungguhnya yang Aku masukkan ke dalam neraka pun hanya orang yang tidak ada kebaikan padanya. “
” Ya Allah, siapakah orang itu? ” Tanya Musa.
” Orang yang enggan mengucapkan kalimat La ilaha illallah. “
Cerita ini termaktub dalam kitab Al-Mawa’iz Al ‘Ushfuriyah, karya Syaikh Muhammad Bin Abu Bakar Al ‘Ushfuri. Kisah ini menegaskan kepada kita bahwa kalimat tauhid, La Ilaha Illallah adalah kalimat yang teramat mulia. Bahkan Nabi Muhammad Saw. dalam suatu riwayat pernah bersabda, “Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga. ” (HR. Abu Daud)
Bernilainya kalimat tauhid tersebut bukan tanpa alasan, ada catatan perjuangan panjang yang mengiringinya. Setiap masa, Allah selalu mengutus Nabi dan Rasul untuk menegakkan kalimat tauhid itu, agar umat manusia tidak berpaling dari fitrahnya sebagai hamba. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa jumlah Nabi yang pernah diutus oleh Allah sebanyak 124 ribu orang, dengan 313 orang di antaranya adalah para Rasul. Andaikan bukan karena kasih sayang Allah dengan mengutus para Nabi dan Rasul itu, kita manusia zaman sekarang, mungkin tidak akan mudah untuk bisa merasakan kenikmatan mengucapkan kalimat tauhid tersebut.
Kalimat La Ilaha Illallah bukan sekadar kalimat yang menunjukkan eksistensi Allah sebagai Tuhan Semesta Alam. Namun, lebih dari itu, kalimat La Ilaha Illallah mengandung makna penghambaan manusia yang merupakan makhluk tak berdaya di hadapan Sang Maha Kuasa. Ketika seorang manusia mengucapkan kesaksian La Ilaha Illallah, maka tuntutan untuk menjadikan Allah sebagai sesembahan yang hanya dimilikinya di dunia ini mutlak tak terelakkan.
Apabila ada seorang insan yang menyebut La Ilaha Illallah di lisannya, akan tetapi hati dan tindakannya masih menyekutukan Allah dengan hawa nafsu yang mendorong maksiat, rasa khawatir dengan kehidupan dunia, rasa sombong dengan menganggap diri paling benar dan yang lain salah, melakukan kedzaliman atas nama menegakkan kebaikan menurut fahamnya, maka ada yang keliru dengan ucapan kalimat tauhidnya. Bisa jadi ucapan tauhidnya tidaklah sepenuh hati dan tanpa diiringi kesadaran diri.
Artinya, dia tidak benar-benar sadar untuk meyakini bahwa hanya Allah lah Dzat yang harus disembah. Hanya sebatas formalitas karena kebetulan lahir dari keluarga yang sudah terbiasa mengucapkan kalimat tauhid atau hanya sekadar melihat orang lain terlihat gagah saat meneriakkan kalimat seindah tauhid. Kesadaran untuk mengimplementasikan kalimat La Ilaha Illallah tidak akan didapat tanpa akal yang jernih. Belenggu terhadap akal harus dihilangkan agar kalimat tauhid benar-benar terpatri di dalam hati dan bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan Allah Swt. menguatkan tauhid kita dengan kesadaran yang hakiki.
Wallahu a’lam bisshowab
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta