Dalam sebuah sesi pelatihan tentang bagaimana menggerakkan masyarakat yang diselenggarakan oleh sebuah LSM yang saya lupa namanya, ada seorang nara sumber dengan cara jenaka membagi manusia atau masyarakat menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang kekanak-kanakan. Yaitu kelompok yang dia sebut sebagai ahli reaksi. Apa-apa mereka hadapi dengan reaksi emosional. Kelompok ini suka bikin gaduh wacana, walau sering tidak paham substansi masalahnya. Dia bilang ada satu dua LSM yang oknumnya kadang kekanak-kanakan seperti itu. Dia mengemukakan contoh kasus, dan kami tertawa karena merasa dia sindir secara halus.
Kelompok kedua, adalah kelompok puber. Kelompok ini dia sebut sebagai kelompok ahli aksi, kelompok paling bersemangat kalau melakukan aksi, apalagi kalau aksi itu diberi label sebagai aksi perlawanan. Kebetulan peserta pelatihan adalah wakil dari LSM baru, LSM bau kencur usianya, LSM yunior, masih berkobar daya kritisnya. “Maaf, teman-teman, kebanyakan dari kita ini adalah kelompok puber, kelompok ahli aksi. Cirinya sedikit data, sedikit perhitungan, yang penting banget aksi.
“Nggih mboten?” Kami semua tertawa lagi karena disindir telak. Karena cara ngomongnya santai, kami tidak tersinggung.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa kelompok ketiga, adalah kelompok dewasa, yaitu kelompok ahli kalkulasi. Selalu memperhitungkan aksi-aksinya. Bahkan karena terlalu njlimet memperhitungkan rumusan isue, metode aksi, sasaran strategis, dan momentum yang tepat mereka terkesan lamban dalam beraksi.
Mereka kebanyakan sudah memiliki jam terbang cukup. Dan jangan lupa, kebanyakan mereka adalah mantan orang-orang ahli reaksi dan ahli aksi. Pengalaman pahit dalam berjuang membuat mereka jadi ahli kalkulasi.
Mereka beruntung mau mengubah diri atau mau mentransformasi kesadaran aksinya, dari kesadaran kekanak-kanakan menjadi kesadaran puber dan akhirnya matang menjadi kesadaran dewasa dalam berjuang. Pembicara ini bilang, sebagai manusia, aktivis LSM di awal aksinya sering konyol, lucu bahkan kurang bermutu strateginya.
Dengan santai, tanpa menyebutkan nama, dia kemukakan kasus kekonyolan, kelucuan dan kekurangbermutuan aksi itu. Kami ger-geran mendengar itu, kami mentertawakan kekonyolan sesama teman aktivis itu sambil menyadari bahwa kami pun sering melakukan itu.
Dan yang paling penting adalah kenyataan bahwa tiga jenis kelompok ini juga ada di masyarakat. Lalu dia membuat matriks simulasi dari kemungkinan relasi antara LSM dengan masyarakat yang digarapnya.
Misalnya kalau kelompok LSM yang kekanak-kanakan bertemu dengan masyarakat kekanak-kanakan bagaimana hasil aksinya. Kalau kelompok LSM puber ketemu masyarakat puber bagaimana hasilnya. Kalau kelompok LSM dewasa ketemu dengan kelompok dewasa bagaimana hasilnya.
Diskusi mulai gayeng dan ramai ketika nara sumber ini membuat simulasi persilangan relasi antara kelompok LSM dengan kelompok masyarakat. Dia mengembangkan
simulasi dengan pendekatan teori kemungkinan. Pelan-pelan kami dibawa kepada kesadaran bahwa untuk menggerakkan masyarakat dan untuk mengubah masyarakat paling efektif manakala
aktivis mengubah diri menjadi LSM dewasa dan masyarakat yang dihadapi juga masyarakat yang berkualitas dewasa.
Ada teman yang ngeyel, dia mengatakan kalau kondisi ideal itu jarang sekali terjadi. Itulah gunanya edukasi. “Kita pertama belajar bersama-sama untuk menjadi dewasa.” Sesi pelatihan selesai dan kami bertepuk tangan. Kemudian kami menyalami dia.
Nah, di kemudian hari, ketika saya ikut berdakwah kecil-kecilan di pelosok desa dan kampung di kota, simulasi waktu pelatihan itu menjadi amat bermanfaat.
Kami betul-betul menemukan adanya tiga kelompok pendakwah (kelompok beragama kekanak-kanakan atau ahli reaksi, kelompok beragama puber atau ahli aksi dan kelompok beragama dewasa yang aktif berdakwah ahli kalkulasi) yang bertemu dengan masyarakat yang cara beragama mereka masih kekanak-kanakan, cara beragama mereka masih puber dan sebagian kecil anggota masyarakat yang cara beragama mereka sudah dewasa.
Terbayang di benak saya matrikulasi simulasi relasi tiga kelompok itu berikut persilangan kemungkinan-kemungkinannya. Nah, dalam menghadapi Coronavirus atau COVID-19 ini Muhammadiyah pun bersentuhan atau menghadapi kelompok masyarakat yang ahli reaksi, ahli aksi dan sudah mencapai maqom sebagai ahli kalkulasi alias kelompok yang dewasa dalam beragama.
Kalau ketemu kelompok yang masih kekanak-kanakan dalam beragama kita mungkin gemes dan lumayan sebel. Kalau ketemu kelompok puber dalam beragama kita terharu dan diam-diam menyayangkan cara mereka bertabligh atau cara mereka berkomunikasi.
Lha, kalau ketemu kelompok yang sudah dewasa dalam beragama, kita klop, lancar dan mudah melakukan gerak dakwahnya. Untuk ini saya juga belajar banyak dari Ayah.
Sebagai alumni pondok pesantren dia akrab dengan tradisi pesantren termasuk shalat tarawih dua puluh tiga rakaat. Akan tetapi ketika ayah bergabung dan ikut bergerak di Masyumi, Ayah mulai mengenal shalat tarawih sebelas rakaat.
Kebetulan penghuni kampungku adalah separo santri, separo abangan, tetapi kompak dalam shalat tarawih sebelas rakaat. Ayah mendapat jadwal menjadi imam shalat tarawih di kampung.
Ayah pun mengimami jamaah tarawih di kampung dengan sebelas rakaat. Kebetulan suatu malam hujan agak deras, ayah tidak bertugas jadi imam. Aku pun malas berhujan-hujan.
“Aku shalat tarawih di rumah saja ya Yah. Imamnya kan Ayah.”
“Baiklah,” jawabnya. Aku makmum di rumah di belakang Ayah.
Ibuku dan kakakku serta adikku tarawih di luar dengan membawa payung.
Dengan tenang aku makmum sambil membayangkan sehabis tarawih aku bisa langsung tidur.
Harapanku tidak terkabul. Sebab ketika jadi imam tarawih, ayah ternyata shalatnya dua puluhan tiga rakaat. Mula-mula yang dibaca surat-surat juz ‘Amma yang pendek, lalu berikutnya surat agak panjang dan akhirnya Ayah membaca surat yang panjang, dilengkapi surat di juz 29 atau 28. Dua rakaat salam. Waduh, celaka ini. Aku mulai mengantuk, dan kakiku capek.
Akhirnya aku pakai strategi memperpanjang masa istirahat antara dua shalat. Sehabis salam aku tidak langsung berdiri menunggu bacaan Al-Fatihah selesai baru aku berdiri.
Ibu dan saudaraku sudah pulang dari tadi, mereka mengintip di peshalatan, melihat aku dihajar shalat tarawih dua puluh tiga rakaat oleh Ayah. Ibuku sepertinya tersenyum tetapi saudaraku mentertawakan kemalangan diriku karena malas tarawih di luar. Maunya untung malah buntung, komentar kakakku.
Seusai tarawih saya protes ke Ayah, “Kenapa Yah, tarawihnya dua puluh tiga rakaat? Padahal kalau di kampung dan jadi imam, Ayah shalatnya sebelas rakaat?”
Ayah tertawa terbahak-bahak. “Orang itu harus dewasa dalam beragama. Sebagai alumni pesantren saya dididik shalat tarawih dua puluh tiga rakaat. Tetapi kalau di kampung jadi imam saya tidak memaksakan harus tarawih dua puluh tiga rakaat. Saya memilih mengimani tarawih sebelas rakaat. Itu sah. Saya sudah tanya Pakdemu yang ahli hadits. Nah, malam ini saya tidak bertugas jadi imam di kampung. Jadi saya ingin sekali-sekali menikmati shalat tarawih dua puluh tiga rakaat di rumah. Salahmu sendiri kenapa tidak tarawih di luar malah jadi makmumku.”
“Kenapa Ayah tidak memberi tahu lebih dulu kalau akan tarawih dua puluh tiga rakaat?” Protesku. “Lho kalau kau saya beritahu lebih dahulu, kau tidak mendapat pengalaman beragama yang berharga untuk mendewasakan cara beragamamu.”
Aku diam. Sebagai kelanjutan protesku, aku langsung menghabiskan sisa kolak di meja makan untuk menghilangkan lapar.
Dan sejak itu walau hujan deras dan Ayah tidak jadi imam di kampung, aku lebih memilih membawa payung untuk shalat di kampung atau di tempat tarawih anak-anak. Karena payung di rumah terbatas, payung ibu saya pakai, sebagai gantinya yang makmum ke Ayah, ya ibu.
Kata kunci, dewasa dalam beragama, kemudian menjadi kata kunci untuk memahami taraf atau level beragama di masyarakat yang majemuk ini.
Kalau pak AR menyebut taraf beragama masyarakat dengan masyarakat bluluk, cengkir, degan dan masyarakat level kelapa dalam beragama, aku lebih suka memakai identifikasi sebagai masyarakat yang kekanak-kanakan dalam beragama, masyarakat puber dalam beragama dan masyarakat yang sudah dewasa dalam beragama.
(Mustofa W Hasyim, 2020)