Oleh: Dr Ahmad Muttaqin
Para peneliti Muhammadiyah baik dalam maupun luar negeri telah menyampaikan temuan mereka tentang “rahasia” daya tahan Muhammadiyah yang telah berhasil melewati usia di atas 1 Abad. Ada yang berpendat daya tahan tersebut kuncinya pada kemampuan Muhammadiyah dalam memadukan antara kekuatan iman (faith) dan amal sholih (positive action). Ada juga yang berpendapat bahwa kekuatannya pada kemampuannya memilah dan memilih aspek-aspek yang perlu dipertahankan (continuity) dan unsur-unsur yang perlu dilakukan perubahan (changes).
Temuan dan pandangan para peneliti Muhammadiyah tersebut, sayangnya, kurang difahami dengan baik oleh sebagian simpatisan, aktivis, kader maupun pimpinan persyarikat. Tidak sedikit diantara warga dan pimpinan persyarikatan bahkan menganggap poin-poin penting temuan para peneliti tersebut sebagai hal yang biasa dan tidak istimewa. Padahal, usaha menggali dan merekonstruksi etos dari dalam tubuh Muhammadiyah yang telah teruji selama ini merupakan langkah penting bagi aktivis kader, pengelola Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan pimpinan persyarikatan dalam membuat peta jalan Muhammadiyah ke depan.
3 Modal Sosial
Bila digali dari sejarah panjang Muhammadiyah sejak berdiri hingga kini, paling tidak ada 3 etos yang menjadi modal sosial Muhammadiyah. Pertama adalah integrasi antara Iman, ilmu dan amal sholih dalam wadah organisasi (jam’iyyah). Pilihan menggunakan instrumen organisasi sebagai media aktualisasi keyakinan (iman) yang dilandasi akal sehat yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi serta implementasi amal sholih merupakan pilihan tepat. Melalui organisasi inilah kerja persyarikan dan AUM menjadi lebih tertata, terkendali, terukur dan menjadi amal bersama.
Namun seiring makin besar dan luasnya jangkauan program yang diurusi oleh persyarikatan, pada titik tertentu roda organisasi terjebak pada rutinitas yang sifatnya admindistratif. Hal ini perlu diwaspadai sebab jebakan rutinitas dalam berorganisasi berpotensi menjadi penghambat munculnya inovasi-inovasi yang diperlukan untuk merespon perubahan zaman. Untuk itu diperlukan reformasi organisasi agar keberadaannya betul-betul menjadi media akselerasi amal sholih. Tanpa reformasi yang memadahi jebakan birokrasi akan mengantarkan persyariktan dan berorganisasi di Muhammadiyah menjadi beban bagi pimpinan dan aktivis, tidak lagi sebagai media akselarasi kemajuan.
Pada beberapa kasus, karena tingginya “niat baik” masyarakat dan para ativis persyarikatan untuk berpartisipasi membangun Muhammadiyahn dan membesartkan AUM, kadang terjadi overlap atau bahkan “rebutan” otoritas. Bila tidak dikelola dengan baik, overlap
otoritas ini menjadi pemicu konflik antara persyarkatan dengan AUM, atau antar para pengelolla AUM itu sendiri. Untuk itu, reformasi organisasi menjadi niscaya, lebih-lebih di era disrupsi ini.
Modal sosial kedua adalah atribut modern yang melekat pada Muhammadiyah. Dalam literatur dan publikasi baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris, Muhammadiyah sering disebut sebagai the largest modernist Muslim organization in Indonesia. Menjadi lembaga modern yang menghargai kesempatan yang sama, kolegialitas, kegiatan berbasis program, memberi pelayanan terbaik (service excellence), tertib administrasi organisasi, pertanggungjawaban dan pergantian kepemimpinan secara periodik, permusyawaratan yang beradab serta pengelolalan AUM secara profesional telah dipraktikkan Muhammadiyah sejak awal. Meskipun demikian, dokumen-doikumen resmi organisasi, setahu saya, tidak satupun menyebutkan atau mendeclare bahwa Muhammadiyah adalah organisasi modern.
Atribut modern dari para outsider ini satu sisi menjadi nilai lebih, mengindikasikan Muhamamdiyah adalah organisasi Islam yang sesuai dengan perkembangan peradaban modern. Namun disisi lain, munculnya kajian kritis tentang modernism dan berkembangnya wacana peradaban alternatif beyond modernism telah menempatkan Muhammadiyah sebagai sasaran tembak para pengkritik modernisme dan peradaban modern. Pada posisi ini Muhammadiyah seolah mejadi pihak yang harus menanggung residu modernitas yang banyak dikritik itu.
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan tidak semua warga Muhammadiyah ternyata memiliki alam pikiran modern. Terlalu besarnya dosis puritanisme dalam beragama pada sebagian warga berpotensi melemahkan sendi moderatisme dan inklusivisme. Padahal, penghargaan pada keragamaan merupakan salah satu pilar masyarakat moderm. Kondisi ini diperburuk dengan kuatnya tarikan politik praktis dan segregasi kelompok fundamentalis vs libaralis serta islamisme vs kosmopolatisme yang pada batas tertentu telah menjebak warga Muhammadiyah pada dikhotomi oposisi biner tersebut. Padahal, bila merujuk pada dokumen Kepribadian Muhammadiyah, mestinya warga persyarikatan sikapnya sudah jelas dan tidak tergiur oleh tarikan-tarikan kelompok politik praktis mapun labeling tersebut.
Agar istilah “modern” pada Muhammadiyah ini tidak hanya menjadi atribut, maka diperlukan pendidikan kemodernan tahap 2 agar warga persyarikatan mampu mengambil etos modernitas dan tidak terjebak pada kemandekan gerakan dan kejumudan pemikiran baik dalam mengelola organisasi dan AUM mapun dalam beragama.
Keterlambatan pendidikan kemodernan tahab 2 ini berpotensi memunculkan modernism lack di kalangan warga persyarikatan. Indikasi ke arah ini sudah ada. Misalnya, PP Muhammafdiyah sudah mengeluarkan edaran agar beribadah di rumah selama Wabah Covid-19 ini, namun tidak sedikit warga di tingkat ranting yang “mbalelo” dan abai dengan seruan PP tersebut. Alasan ketidaktaatan pada seruan PP cukup beragam. Ada yang karena merasa daerahnya aman dari wabah, ada yang karena merasa kurang marem atau merasa kurang afdhal bila beribadah di rumah selama Ramadhan, ada juga yang karena memandang argumen keagamaan yang dijaduikan acuan seruan PP Muhammadiyah kurang meyakinkan, serta alasan-alasan lain yang intinya menunjukkan “ketidaktaatan” pada Pimpimpinan Persyarikatan.
Keengganan mengikuti edaran Pimpinan Pusat di sebagian kalangan akar rumput ini dapat dibaca bahwa alam pikiran keagamaan dikalangan warga Muhammadiyah sangat variatif. Di
akar rumput muncul trend beragama berbasis kebiasaan yang lama-lama memunculkan konservatisme pada kebiasaan yang selama ini telah dijalankan.
Kondisi tersebut terjadi karena selama ini warga perstarikatan lebih fokus mengkaji Fiqih, namun melupakan Ushul Fiqih; terlalu berpegang pada Himpunan Tarjih dan menanggalkan Manhaj Tarjih-nya. Padahal, dalam pemikiran keagamaan Majlis Tarjih dan Tajdid sudah menyediakan perangkat metodologis yang memadukan pendekatan Burhani, Bayani, dan Irfani agar keberagamaan warga Muhammadiyah sesuai dengan perkembangan zaman (shaalihun likulli makan wa zaman).
Modal sosial ketiga adalah kepercayaan masyarakat yang masih tinggi pada program, amal dan kerja-kerja Muhammadiyah. Muhammadiyah masih menjadi icon gerakan altruisme yang selalu menolong masyarakat akar rumput yang membutuhkan. Tingginya social trust ini menjadikan Muhammadiyah melalui majlis-majlis dan ortom-ortomnya menjadi rumah bersama bagi para aktivis, relawan dan juga menjadi lembaga yang dipercaya oleh masyarakat untuk menyalarkan dananya melalui program dan aksi nyata Muhmamadiyah.
Di tengah kebijakan negara yang dirasa makin miskin empati pada rakyat miskin, Muhammadiyah menjadi ormas yang berada di garda depan dalam penanggulangan bencana melalui MDMC, gerakan filantrofi melalui LazisMu, pemberdayaan masyarakat melalui MPM, serta tanggap pandemic Covid-19 melaljui MCCC. AUM bidang pendikan dan kesehatan yang dikelola secara profesioinal-pun tetap mengedepankan prinsip ta’awun sosial melalui program beasiswa dan bantuan pengobatan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Peran PTMA
Menghadapi wabah Covid-19 dan persiapan memasuki kehidupan normal baru (new normal) pasca pandemic, Pergurian Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) perlu menyusun ulang road mape pengembangannya agar tetap menjadi center of excellence dan driving force kemajuan dengan tetap memperhatikan tiga etos dan modal sosial di atas.
PTMA memiliki peran strategis dalam mengawal dan merevitalisasi modal sosial dan etos internal yang dimiliki Muhammadiyah. Sebagai lembaga pendidikan yang mengemban Catur Dharma Perguruan Tinggi, PTMA perlu terus mengkaji, mendesiminasi dan merevitalisasi modal sosial dan etos tersebut baik pada civitas akademika kampus, warga persyarikatan maupun masyarakat luas.
Dalam rangka mengembangkan alam pikiran keagamaan di kalangan warga persyarikatan, PTMA dapat bekerja sama dengan Majlis Tarjih dan Tajdid melakukan serial kajian pendekatan Burhani, Bayani dan Irfani khas Muhammadiyah. Usaha ini penting untuk memberikan pencerahan pada warga kampus dan persyarikatan agar alam pikiran dan praktik keagamaanya sesui dengan alam pikiran Muhammadiyah.
Dalam bidang etika berorganisasi, PTMA harus menjadi contoh pengembangan dan implementasi etos kepemimpinan yang berkemajuan. Hindari etos kekuasaan dalam mengelola PTMA sehingga PTMA menjadi tauladan delam setiap suksesi kepempinan. Menjadi tidak elok bila masih ada proses suksesi kepemimpimpinan PTMA yang disertai dengan intrik, konflik dan ada yang tidak legawa bila amanah kepemimpinanya berakhir.
Wallaahu a’lam.
Catatan: Kamis 21 Mei 2020, Majlis Dikltilitbang PP Muhammadiyah menyelenggarakan webinar dengan tema “Strategi Eksistensi PTMA di Tengah Anomali Covid-19: Antara Ketidakpastian dan Keunggulan”. Webinar diikuti oleh 692 peserta dari pimpinan PTMA seluruh Indonesia. Artikel ini adalah catatan dan syarah penulis sebagai moderator atas Amanah Ketu Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si dalam Webinar tersebut.