Pengalaman beragama menjelang Hari Raya: Mendengarkan Suara “Tidur”

Pengalaman beragama menjelang Hari Raya: Mendengarkan Suara “Tidur”

Tidur adalah tradisi yang dilakukan sehari menjelang puasa dan sehari menjelang Hari Raya atau Bada. Yaitu memukul bedug setelah Ashar. Setelah Adzan Ashar dikumandangkan, di depan bedug Masjid Gede Kotagede sudah antre anak-anak yang akan memukul bedug secara bergantian.

Biasanya yang memukul bedug pertama adalah abdi dalem Keraton yang bertugas memukul bedug, yaitu lelaki setengah baya dari kampung Semoyan. Atau orang dewasa pengurus takmirnya masjid.

Dia memukul bedug dengan irama dara muluk lalu diikuti irama ngedhug liwet dendeng gudel. Irama memukul bedug ngedhug liwet dendeng gudel ini bunyinya  dugdug dugdug dugdug dugdug, ngedug liwet dendeng gudel ngedhug liwet dendeng gudel, begitu anak-anak suka nyenggaki atau melagukan irama itu.

Anak-anak berbaris antri itu satu persatu mendapat giliran memukul bedug. Mereka memukul bedug dengan gembira. Kadang diselingi orang dewasa yang sangat mahir memukul bedug. Alat pemukul dia putar cepat di tangan dia.

Andaikan dia pakai dua alat pemukul bedug pasti dia mirip para pemukul bedug Jepang yang menginspirasi Miyamoto Musashi menciptakan jurus pedang kembar. Tapi mas ini dengan satu alat pemukul saja sudah tampak hebat.

Masing-masing anak memamerkan kemahiran memukul bedug. Irama ngedhug liwet dendeng gudel pun dibuat bervariasi. Ada yang diulang ngedhug liwet nya lalu dendeng gudel nya dua kali. Jadi irama nabuh bedug terdengar lucu. Ngedug ngedhug liwet ngedhug ngedhug liwet dendeng gudel dendeng gudel, ditutup pukulan tunggal del del del.

Kami tertawa mendengar suara irama nabuh bedug yang jenaka seperti itu. Anak berikut makin menjadi-jadi sampai perut kami sakit kebanyakan tertawa. Tidur atau nabuh bedug menjelang hari raya ini biasanya ditutup dengan irama pukulan keras dug dug dug.

Dug dug dug, kami terjemahkan jadi Del del del. Del del deeeeel, kami bersorak.

Muadzin atau abdi dalem modin atau wakilnya mengumandangkan iqomah. Mulailah jamaah shalat Ashar berdiri rapi, siap. Setelah Ashar orang sudah boleh mengumandangkan takbir.

Kami merasa sudah memasuki suasana Lebaran, bahkan sejak pukulan bedug tadi pertama diayunkan. Anak-anak lalu membantu takmirnya menyiapkan takjil hari terakhir. Ini takjil paling hebat dan heboh di mata anak-anak. Sebab yang menyumbang makanan takjii banyak. Stok makanan menumpuk, hadirin mendapat jatah takjil lebih dari satu porsi. Biasanya enak sekali, lebih enak dari hari sebelumnya.

Bahkan kadang atau sering hadirin mendapat bonus amplop zakat dari orang kaya pengusaha di kota kecilku.

Nah, anak-anak tadi capek sehabis nabuh bedug selain mendapat amplop kecil  juga boleh makan ta’jil dobel. Malahan boleh membawa pulang kadang dua porsi.

Waktu makanan ini saya bawa pulang yang senang adikku. Mereka ingin merasakan lezatnya makanan takjii di akhir bulan Ramadhan. Langsung kuberikan kepada mereka.

Setahu saya tidur ini juga dilakukan sehari sebelum puasa, termasuk puasa Sunnah di bulan Dzulhijjah, sebelum Idul Adlha. Dan sehari sebelum Idul Adlha juga ada tidur.

Di masjid yang lain setahu saya yang menyelenggarakan tradisi tidur untuk menyenangkan anak-anak adalah Masjid Besar Puro Pakualaman dan Masjid Sulthonain Nitikan. Bedug masjid Sulthonain ini istimewa.

Ada jadwal dipukul tiap malam menandakan tengah malam. Irama memukul bedugnya dara muluk, yang kemudian diikuti orang-orang kampung Yogyakarta timur selatan dengan memukul kentongan berirama dara muluk.

“Yah, itu suara bedug dari mana ya?” Suatu malam aku terbangun mendengar suara bedug.

“Itu bedug masjid Nitikan,” jawab ayah.

“Kalau pas ada tradisi tidur kok nggak kedengaran?”

“Karena sore hari masih ramai jadi suara bedug tidak kedengaran. Kalau malam kan sepi sekali, jadi ketika bedug dipukul mantap suaranya sampai Kotagede.”

Aku mengangguk paham. Dan setiap menjelang hari raya, termasuk Idul Fitri, saya selalu ingat tradisi tidur ini.

Terutama, irama ngedhug liwet dendeng gudel, ngedhug liwet dendeng gudel. Dendeng dendeng dendeng,  gudel gudel gudel. Dugdug dugdug dugdug, dugdug dugdug dugdug. Dug! Del!

Suara sorak anak-anak campur ketawa itu sepertinya abadi menghuni ingatan di telingaku.

(Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version