Pengalaman Shalat Id tempo dulu: Bertakbir Sepanjang Satu Kilometer Lebih

Pengalaman Shalat Id tempo dulu: Bertakbir Sepanjang Satu Kilometer Lebih

Rombongan takbir makin lama makin panjang. Awalnya, yang berkumpul di depan rumah Mbah Kaji Dulah Sayuti kampungku hanya orang-orang yang selama Ramadhan tarawih di rumah Mbah Kaji itu. Yaitu rombongan bapak-bapak ditambah satu dua anak.

Lalu muncul rombongan Ibu-ibu dan anak cucunya yang selama Ramadhan tarawih di tempat khusus tarawih ibu-ibu di rumah Mbah Amat Sarbini. Rombongan Ibu-ibu bergabung dengan bapak-bapak. Kami terus bertakbir, dipimpin bergantian oleh bapak-bapak yang jadi imam tarawih.

Rombongan bergerak ke arah lapangan Giwangan (sekarang STM Muhammadiyah), satu-satunya tempat shalat Id di Kotagede waktu itu.

Baru kami bergerak sampai di kampung tetangga, kampung Celenan, muncul rombongan anak-anak dari tarwihan pengajian Anak-anak Al-Falah (laki-laki) dan Nurul Falah (perempuan). Mereka bergabung dengan kami. Kami makin bersemangat berjalan kaki, terus bertakbir. Saya dan kakak berjalan kaki. Adik saya sekali-sekali digendong ayah, adiknya lagi digendong ibu.

Begitu keluar kampung, lewat jalan semen di dekat Pos Malang datang rombongan lain dari kampung itu. Kami menerobos jalan sempit menuju kampung Bodon, ini persis jalur kalau kami pergi dan pulang sekolah, jurusan SD Muhammadiyah Bodon. Jalan lumayan panjang, berbelok-belok.

Kadang muncul rombongan, kadang muncul satu dua orang atau keluarga yang kemudian bergabung. Lucunya karena saling kenal, sebelum bergabung, mereka mengajak salaman dengan kami.

Sambil saling minta maaf. Ini dilakukan karena waktu pulang nanti kami hampir dipastikan tidak bisa bergabung lagi. Pulang sendiri-sendiri. Keluar dari kampung Bodon, kami memasuki jalan besar beraspal.

Kami akan menempuh jalan menurun lalu menaik, lewat jembatan kali Gajah Uwong. Dari mulut kampung Bodon, begitu berbelok kiri masuk jalan beraspal, tampak banyak barisan rombongan takbir dari kampung lain. Kami berjalan mengular turun dan mendaki lagi.

Ketika aku menoleh ke belakang tampak rombongan lain berjalan di belakang kami. Kami melewati depan rumah kuno milik orang Kalang yang kosong. Hanya satu kompleks rumah besar yang dipergunakan untuk sekolah anak-anak SD Muhammadiyah Kleco 2.

Tiada rasa lain selain gembira. Apalagi tadi sudah sarapan nasi brongkos model Solo yang dimasak ibu. Takbir terus berkumandang, di dalam saku kami, anak-anak pasti terselip uang saku.

Di sakuku tersimpan tabungan hasil pemberian Bu Lik Hadiah, yang guru di Batu Malang yang setiap Ramadhan pulang dan memberi hadiah uang setiap hari kalau kami berhasil puasa sehari. Lucu juga ya, saya mendapat hadiah dari Siwa  (Budhe) yang juga bernama Hadiah. Jadi Bude Hadiah memberikan hadiah kepada keponakan. Dengan adanya uang di saku kami percaya diri menghadiri Shalat Id di Lapangan Giwangan.

Percaya diri karena ada bekal untuk disumbangkan di kotak infak Idul Fitri, ada bekal untuk jajan sehabis sholat Ied.

Melewati kampung Tegalgendu kami berbelok ke utara lewat depan kampung Giwangan dan Gambiran selatan. Jalan penuh dengan orang berjalan kaki, bertakbir dari mana-mana. Ada juga keluarga- keluarga yang naik andong atau becak, atau sepeda.

Waktu itu belum musim motor, apalagi mobil. Di Kotagede yang memiliki motor masih bisa dihitung dengan jari. Kalau sepeda lumayan banyak. Tapi kan lebih asyik jalan kaki bertakbir berombongan daripada ke lapangan untuk shalat Id dengan naik sepeda.

Selepas simpang tiga Gambiran tengah, kami makin dekat dengan lapangan Giwangan. Karena luasnya lapangan ini para orang tua ada yang menyebut Ara-ara Giwangan, semacam sabana atau steppa mini.

Dari jauh sudah kelihatan umbul-umbul dan spanduk. O,ya, perlu diceritakan bahwa tiap rombongan yang bertakbir untuk shalat Id ini ada orang yang bertugas membawa tikar yang dipakai malam-malam tarwih, pulangnya dia naik andong atau becak.

Begitu sampai di gerbang lapangan, kami berhenti bertakbir, semua bergegas membuat shaf shalat Id. Garis shaf sudah dibuat oleh panitia shalat Id dengan tali ijuk. Setelah dapat tempat duduk kami bertakbir lagi dengan lebih bersemangat.

Rombongan Ibu-ibu terpisah tempat dengan rombongan bapak-bapak. Saya lihat kami sudah kalah dahulu dengan rombongan kampung lain. Jadi tidak bisa duduk di belakang imam. Tapi lumayan, tempatnya di tengah.

Kulihat kejauhan, ada bulak sawah, lalu ada desa di depan sana, ditandai rumpun bambu, pohon kelapa dan pohon randu alas di luar desa. Adegan selanjutnya seperti biasa, imam memimpin shalat Id dua rakaat dengan tujuh takbir dan lima takbir sebelum membaca Al-Fatihah dan Sura Al-A’la dan Surat Al-Ghasiyah.

Lalu imam tadi berdiri berkhutbah di belakang mimbar kayu, dikawal dua Kokam yang kelihatan gagah perkasa. Karena lapangan ini banyak pohon kelapa dan pohon rindang di sekitar maka pagi itu tidak terlalu panas hawanya. Jadi kami betah mendengarkan khutbah.

Setelah shalat Id selesai sebenarnya saya dan kakak ingin jajan tapi tidak diperbolehkan oleh ayah ibu. Kami diajak menyusuri jalan kampung Gambiran. Melihat ada bengkel andong di situ lalu pekarangan luas.

Sebenarnya ada jalan pintas, lewat sela rumpun bambu turun, sawah, menyeberang sungai Gajah Uwong, masuk kampung Ndarakan menuju kampung Prenggan, tempat Mbah Dulah Qomari, kakak Mbah Hasyim tinggal.

Tapi karena waktu itu musim hujan dan diperkirakan air sungai mengalir deras, kami memilih jalan pulang biasanya. Lewat jembatan, terus, sebelum masjid Perak belok kiri.

“Kita ujung (sungkem) dulu ke tempat Wa (bulik) Dullah,” kata Ayah mengajak kami masuk kampung Prenggan.

Di rumah Mbah Dullah Qomari kami bersilaturahmi, ngobrol. Anak-anak menikmati kue Lebaran, permen, kue semprong dan makan siang dengan lauk tempe, tahu bacem yang enak sekali.

Lalu sehabis shalat Dhuhur, kami mengunjungi saudara, Mbah-Mbah dari pihak ibu. Setelah Itu pulang. Kami istirahat, tidur sebentar karena lelah melewati salah satu rute Lebaran keluarga kami.

Kadang lain tahun rute silaturahminya berbeda, misalnya mampir di kampung Bodon ke rumah Mbah Insan, lalu ke Mbah Hasyim, ke Mbah Khamim di dekat kampung.

Dan aku biasanya diajak, Ayah dan Pakde untuk mengunjungi Mbah Dulkahar dan dua sayap keluarga yang berhubungan dengan keluarga besar Karangkajen. Nah besuknya, kami sekeluarga berjalan kaki mengunjungi jalur keluarga dari Mbah Hasyim putri di Karanganyar dan Karangkajen.

Nah, kalau waktu berangkat shalat Id kami menempuh jarak satu kilometer dengan berjalan kaki, sehari setelah itu kami menempuh jarak perjalanan kaki sekitar enam kilometer pulang balik. Itulah harga yang harus kami bayar untuk mempertahankan silaturahmi di waktu Lebaran.

Belum lagi kalau Ayah kreatif, tiba- tiba setelah dari Karangkajen mengajak aku mengunjungi  Mbah Abdul Rauf (siwo-nya Ayah) di Salakan plus mengunjungi teman nyantri sekaligus teman bergerilya dulu di kampung Ngoto. Kakiku yang berteriak-teriak minta ampun karena capek tidak didengar oleh Ayah.

(Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version