Waktu saya masih bekerja sebagai wartawan harian Masa Kini, karena saya warga Yogya, saya dilarang mudik oleh pimpinan koran. Jadi dulu itu sudah ada larangan mudik lho, karena sehari setelah Idul Fitri koran harus tetap terbit maka tepat di hari Idul Fitri itu wartawan dan redaksi koran menyiapkan isinya.
Mereka yang kebetulan berasal dari luar kota beruntung, bisa mudik beberapa hari. Saya dan dua atau tiga teman bersama Pemred yang rumahnya di Keparakan konsisten tidak mudik. Ini yang menyebabkan bertahun-tahun saya shalat Id di luar Kotagede. Sering di lapangan Sewandanan depan Puro Pakualaman. Shalat Idnya serius, membawa kertas dan ballpoint. Saya harus mencatat isi khutbah Idulfitri karena nantinya akan saya rangkum dalam berita digabung dengan isi khutbah Id di Alun-alun Utara, kampus UGM dan tempat shalat Id yang khatib serta imamnya tokoh kelas berat.
Saya dengan cepat mencatat isi khutbah dengan menggunakan tulisan semisteno atau steno model saya sendiri yang setengah gaya resep dokter, maksudnya, tulisan itu hanya bisa difahami oleh penulisnya.
Untuk isi khutbah Id di tempat lain teman lain yang bertugas, atau saya mengutip berita Antara yang dikirim lewat teleks yang cara kerja serta bunyinya mirip mesin ketik abadi tiada pernah henti seharian.
Stok berita selain dari teleks juga dari kiriman wartawan yang masuk sehari sebelum, berita kisah atau feature Lebaran yang tidak lekas basi isinya. Saya bekerja secepat kilat, mengetuk berita isi khutbah Id itu dengan mesin ketik besar kuno buatan Jerman yang kami sebut mesin ketik anti peluru karena besarnya dan besi baja yang tebal.
Setelah selesai, saya sambung dengan berita teleks yang tertulis di kertas buram panjang mengalir bergulung-gulung itu. Saya potong dan saya sambung, disambung lagi dengan berita tulisan teman lain.
Setelah berita khutbah Id aman dan berita itu saya serahkan ke tukang setting. Oya, saya waktu itu hidup di zaman peralihan antara teknologi cetak timah atau intertertype dengan barisan huruf timah yang melahirkan seni baca huruf terbalik bagi korektor, dengan zaman awal teknologi offset yang produk awalnya adalah kertas setting yang berbau kertas foto karena menggunakan kertas foto yang dicelupkan di cairan kimia untuk afdruk foto. Saya tahu ini karena di Kotagede pernah bekerja di tempat tukang foto sehingga bau cairan afdruk itu masih saya ingat.
Oke, berita lainnya dengan jurus tanpa bayangan saya rampungkan. Waktu itu biasanya pak Moehadi atau Pak Pemred datang memeriksa catatan naskah yang masuk ke tukang setting. Pak Pemred, kalau saya beruntung, memerintahkan saya menulis Tajuk Rencana. Yes. Saya ajukan judul Tajuknya, beliau oke, lalu saya tulis dengan semangat empat lima sambil membayangkan besuk bisa mengambil honornya yang berlipat tujuh kali dibandingkan honor tulisan bisa.
O,ya, koran tempat saya bekerja itu unik. Wartawan dan redaksi bisa mengambil honornya langsung pada hari berita atau tulisan itu di muat di hari itu. Kami hidup dari hari ke hari dari berita dan tulisan yang termuat hari itu. Ini yang menyebabkan saya selalu bersemangat kalau mendapatkan tugas untuk menulis Tajuk Rencana di koran, atau mendapat tugas menulis feature yang honornya di atas honor tulisan berita langsung atau straight news.
Waktu sudah sore, menjelang Magrib pekerjaan saya selesai. Saya pamit ke pimpinan untuk pulang ke Kotagede, jalan kaki atau naik becak atau andong. Saya sudah kemrungsung ingin segera sampai Kotagede. Kenapa? Ingin segera silaturahmi dengan orang tua dan saudara, dan ingin mengikuti halal bihalal di kampung yang setiap tahun diisi Pak AR Fakhruddin.
Di rumah Kotagede saya masih menyimpan pakaian bagus untuk mendatangi halal bihalal. Yang lain, pakaian itu saya simpan di tempat kos saya di pinggir Kali Code.
Di rumah Kotagede, setelah makan malam kami sekeluarga berangkat ke kampung Celenan, tempat warga satu Blok berkumpul. O, ya di kelurahan saya itu ada empat Blok. Tempat saya termasuk Blok B. Dan semua nomor rumah di Blok ini dimulai dengan huruf B besar. Termasuk rumah saya. Wilayah Blok B terdiri dari kampung Sanggrahan tempat Simbah dari garis ibu, lalu kampung Pondongan tempat saya tinggal, kampung Karangduren tempat teman sekolah dan teman berpetualang tinggal dan kampung Celenan yang menjadi langganan untuk tempat Halal Bihalal.
Sampai di rumah yang kalau puasa untuk tarwehan yang datang sudah agak banyak. Kami bersalaman. “Pak AR belum datang?” tanya Ayah pada tuan rumah. “Belum, sedang dijemput Mbah Jum,” jawabnya. Yang disebut Mbah Jum adalah Mbah Jumairi Yasir, adik Mbah Putri saya dari garis ibu, yang keturunan orang Kulonprogo, sama dengan pak AR. Hanya bedanya desa pak AR selatan Mbabrik, desa Mbah buyut saya Utara Mbabrik. Selatan jalan raya Galur dan Utara jalan raya Galur persisnya, dan jaraknya lumayan jauh kart beda kecamatan.
Leluhur Pak AR dari kecamatan Galur, leluhur sat dari kecamatan Lendah. Menurut cerita orang tua dan para Simbah, pada garis keturunan yang atas lagi antara garis keturunan Simbah saya dengan Simbahnya pak AR nyambung pada nama-nama ulama kuno Kulonprogo, ada yang menyebut nama Kiai Sihabudin. Jadi kalau Mbah Jum menjemput Pak AR, itu dia juga sedang menjemput saudara jauh.
Tempat pengajian Halal bihalal itu penuh dan pak AR datang bersama Mbah Jum. Kami, yang laki-laki menyambut dengan bersalaman. Gembira dan bahagia. Wajah-wajah cerah. Begitu melihat Pak AR beban hidup lenyap seketika. Orang lupa pada hutang bayaran sekolah anaknya. Apalagi Pak AR kalau ngendika atau berbicara dengan suara lembut dengan nada rendah. Semua hanyut dalam aliran kata-katanya.
Karena ketika kecil Pak AR pernah tinggal di Kotagede, di kampung mbakyunya di Joyopranan, dan pernah sekolah di SD Muhammadiyah Kleco, maka Pak AR sangat mengenal karakter orang Kotagede seperti beliau mengenal dirinya sendiri. Jadi bicaranya enak.
“Tiyang menika menawi kalih sedherek nggih sing sae. Menawi onten kelepatan nggih dipun apunten. Gesang lajeng kraos enteng, mboten nggembol mangkel utawi dendam malih. Rak nggih leres ta para sedherek?”
“Leres.”
Pak AR berbicara tentang kalau bidang itu bersaudara harus selalu menjaga hubungan baik, mau memaafkan salah saudara itu. Hidup jadi ringan tanpa rasa tidak enak tanpa dendam. “Dados pun dhong nggih intinya halal bihalal niki? ( Jadi sudah tahu kan inti halal bihalal ini?) Dijawab hadirin dengan,” Nggih sampun dhong Pak AR (ya, sudah tahu pak AR), Pak AR kontan keluar jurus candanya,
” Lha menawi sampun dhong Kula sakniki tak wangsul mawon (lha kalau sudah tahu untuk halal bihalal, saya pulang aja ya). Hadirin ketawa karena tahu pak AR bercanda.
Kemudian pak AR menjelaskan bahwa tanda orang yang mudah masuk surga adalah orang itu selalu memaafkan kesalahan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Setelah menjelang tidur orang itu memaafkan kesalahan orang lain yang diperbuat hari itu, bahkan sebelum orang yang berbuat salah itu meminta maaf. Ia juga menghapus semua dendam yang masih tersisa di hati.
“Mau kan besuk masuk surga bersama saya? Caranya yang mengamalkan apa yang dianjurkan Kanjeng Nabi Muhammad.” Hadirin spontan menjawab, “Mau!” Pak AR tertawa. “Okeh tunggale,” (Kalau hanya itu bilang mau aja banyak temennya). Yang penting mau dan bersedia mengamalkan. “Nggih mboten? (Ya, nggak?). “Nggih, pak AR, ” jawab hadirin Balai Bihalal usai cetak suasana riang.
Waktu dalam perjalanan pulang mereka terus memperbincangkan kata-kata Pak AR diselingi ketawa-ketawa. O, ya, karena saking khusyuk mendengar uraian Pak AR, para hadirin sampai lupa memakan Snack suguhan halal bihalal. Snack mereka bawa pulang untuk oleh-oleh.
Malam itu aku bisa tidur lelap, pagi badan segar dan siap-siap ke kantor koran untuk menulis berita halal bihalal dengan pembicara Pak AR.
Ketika pada kesempatan lain di kantor PP lama, pak AR saya tanya kenapa selalu bersedia datang mengisi halal bihalal di kampung saya jawabnya sederhana,” Karena Mbah Jum yang meminta saya jauh-jauh hari dan dia yang selalu menjemput saya. Dia itu dulu sopir setia saya di Depag.”
“Mbah Jum itu Mbah saya lho. Dia adik Mbah Putri saya,” kataku.
Pak AR tertawa, lalu menitip salam kepada keluarga Kotagede.
(Mustofa W Hasyim)