Royyan Mahmuda Daulay
Dalam kitab At-Tarikh Al-Kabir karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (Imam Al-Bukhari) pernah suatu ketika Rasulullah jalan santai untuk menunaikan Shalat Idul Fitri. Di tengah perjalanan beliau melihat sekerumunan anak kecil yang sedang bermain bersama. Akan tetapi tampak sebuah keganjilan, ada seorang anak yang termenung dan terlihat sedih. Matanya nampak sembab, ternyata ia sedang menangis.
Melihat ada seorang anak yang berbeda dengan anak-anak lain, Rasulullah kemudian menghampiri anak tersebut, sekadar ingin tahu penyebab mengapa ia bersedih. Rasulullah pun bertanya kepada anak kecil itu.
“Apa gerangan yang membuatmu menangis wahai anak kecil?”
Ditanya seperti itu membuat anak kecil tersebut mencurahkan isi hati dan laranya kepada Rasulullah Saw. Anak itu pun mulai bercerita perihal kesedihannya.
” aku bersedih karena ayahku telah meninggal beberapa waktu yang lalu ketika ikut berperang bersama Rasulullah Saw.”
Uniknya, anak kecil itu ternyata sama sekali tidak tahu kalau ia sedang bercakap dengan Rasulullah. Mungkin ia belum pernah bertemu Rasul sehingga ia tak mengenali beliau. Anak itu pun melanjutkan ceritanya.
“Setelah ayahku meninggal, ibuku menikah dengan laki-laki lain. Ibuku tak hanya pergi bersama lelaki itu, ia juga mengambil rumah dan harta peninggalan ayah. Jadilah aku seperti ini. Aku tak memiliki baju apapun yang bisa ku pakai, perutku lapar, lontang-lantung menjadi gembel dan tak tahu harus ditinggal di mana.”
Bukan hanya itu yang membuat anak itu bersedih. Ada satu hal lain yang menjadikannya menangis. Yaitu, tatkala ia melihat teman-teman sebayanya bermain dengan riang gembira, berhiaskan pakaian baru nan bagus di hari Idul Fitri yang selayaknya semua umat muslim bisa turut bergembira.
Mendengar kisah anak kecil yang sangat mengharukan itu, Rasulullah kemudian tersenyum dan mulai mengucapkan beberapa kalimat.
“Mau kah kamu jika aku menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Fatimah menjadi saudaramu, Ali menjadi pamanmu dan Hasan serta Husain menjadi sudaramu?”
Anak itu tiba-tiba tersenyum
“Bagaimana aku tidak mau menjadi bagian dari keluarga Rasulullah?”
Anak itu kemudian dibawa oleh Rasulullah Saw. Rasulullah memberikan makanan dan pakaian yang layak serta baru. Anak itu kemudian kembali bermain bersama teman-temannya dengan senyum terpancar di wajahnya.
Kisah ini sungguh sangat mengharukan bagi siapa saja yang mengetahuinya. Di tengah euforia kita sebagai umat muslim yang telah melaksanakan puasa sebulan penuh selama ramadhan tentu hati akan terisi oleh perasaan bahagia. Akan tetapi ternyata kebahagiaan tersebut bisa menjadi pemicu kesedihan bagi sebagian orang lainnya, seperti kisah anak yatim di atas misalnya. Di mana ada tangisan perih seorang anak di antara kegembiraan anak-anak muslim menyambut lebaran. Maka tidak heran apabila Rosulullah Saw. banyak mewasiatkan kepada umatnya memperbanyak sedekah dan berbagi di momen seperti ini. Bahkan syariat seperti zakat pun memiliki salah satu tujuan untuk menanggulangi persoalan sosial kehidupan seperti cerita di atas.
Berjarak ribuan tahun dari masa Nabi Muhammad Saw. tersebut, kini di tengah wabah pandemi covid-19, umat muslim seluruh dunia dipaksa merayakan lebaran di bawah keterbatasan. Tentu ini bukan persoalan, karena menjaga jiwa lebih utama, bahkan tergolong diutamakan. Namun, menjadi pelik ketika makna lebaran yang terbatas seperti saat ini, dipenuhi oleh hawa nafsu yang seharusnya sudah bisa dikendalikan saat penggemblengan bulan ramadhan, seperti keinginan untuk memperhias diri dengan baju baru, menyambut lebaran dengan makanan mewah, bahkan merayakannya dengan berkumpul seakan kondisi sedang baik-baik saja. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu semua, sungguh tidak ada yang dipersoalkan. Akan tetapi, melihat kondisi umat manusia seperti saat ini tentu pilihan melakukan hal-hal tersebut dirasa kurang bijak.
Bukannya apa-apa, tindakan berlebihan saat lebaran tanpa mengindahkan perasaan para tenaga medis yang masih harus berjuang merawat korban pandemi dan merelakan waktu untuk tidak bisa merayakan seperti waktu normal sangatlah kurang tepat, bila tidak mau dikatakan kejam. Belum lagi keluarga atau anak-anak yang ditinggalkan oleh korban wabah ini, pasti lebih merasa berduka ketimbang berbahagia. Pertanyaan sangat sederhana, sudahkah kita membantu mereka selayaknya Nabi Muhammad Saw. membantu anak yatim seperti cerita di atas? Atau lebih sederhana lagi, sudahkah kita menaruh empati pada mereka yang tidak bisa berbahagia layaknya kita? Mungkin lebih disederhanakan lagi, apakah kita benar-benar masih memikirkan mereka dikala rasa bungah bersemayam di dada?
Entahlah, yang pasti saat ini kita sudah menginjak hari mulia umat islam, yaitu ‘Idul Fitri. Mudah-mudahan amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah Swt. Taqobalallau Minna wa Minkum. Minal ‘Aidzin wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.
Wallahu a’lam bisshowab
Royyan Mahmuda Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta