Idulfitri Di Jakarta Pada Tahun 1978

Suratan takdir mengatarkan saya merantau ke Jakarta pada Tahun 1978. Awalnya keluarga besar saya di Kotagede jengkel karena dua tiga tahun setelah saya ‘selesai’ kuliah, maksud kuliah saya, saya selesaikan sendiri dengan melanjutkan kuliah kehidupan di luar kampus.

Penyebabnya sepele, karena saya waktu itu, terlalu heroik atau idealis bahwa ilmu bisa dicari di mana pun dan berguru pada siapa pun yang menjadi sumber ilmu, mirip dengan dunia persilatan.

Waktu itu dua tiga tahun kegiatan saya dipandang tidak produktif samasekali oleh keluarga besar saya. Hampir tiap minggu saya hiking atau menjelajah, kadang bersama dengan grup pecinta alam yang saya dirikan bersama teman-teman LAPENTA Mataram.

Daerah jelajahnya meliputi pegunungan kapur timur Imogiri, Wonolelo, Dlingo, Terong, sampai Patuk, kadang Ke Prambanan Kalasan, atau ke pegunungan kapur barat sekitar Selarong. Atau ke Kaliurang, menerobos lereng Merapi sampai Kinahrejo  dan bermalam di rumah Mbah Hargo, ayah Mbah Marijan. Atau melusuri jejak Jenderal Sudirman lewat Siluk, Panggang, Paliyan, Playen.

Di wilayah jelajah itu saya dan teman-teman bisa membuat peta sendiri, pos pemberhentian yang harus masjid atau surau.

Kalau grup pecinta alam saya tidak ada acara, saya diminta menemani grup pecinta alam yunior atau anak Pengajian menempuh jalur menengah dan pendek. Kami mempraktikkan tayamum di tengah

padang rumput, shalat jamaah di bawah pohon kelapa kerdil, juga Jumatan di alam bebas.

Kalau di rumah, pekerjaan rutin saya menjadi guru privat agama pada tiga keluarga. Honor bisa membiayai petualangan di alam bebas itu, juga untuk membeli kertas doorslag, kertas karbon, amplop, perangko untuk mengirim tulisan saya ke media cetak.

Saya juga aktif di kelompok teater dan sastra yang tiap bulan mengadakan pentas apresiasi seni, dibiayai PCPM Kotagede.

Biasanya sehabis memberi les privat agama itu saya datang ke sekretariat pecinta alam untuk berdiskusi sampai lewat tengah malam. Saya dinilai terlalu banyak kegiatan dan minim pemasukan dan tidak memiliki masa depan yang cerah.

Karena itu, atas rembugan keluarga besar, saya dikirim ke Jakarta dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Saya diminta ikut pada keluarga tokoh Kotagede yang berhasil menduduki pangkat tinggi dan pernah memimpin majelis pendidikan PP Muhammadiyah di Jakarta. Beliau telah banyak menolong anak muda Kotagede sehingga masa depannya beres.

Beberapa peristiwa pun mengguncang kesadaran saya.

Pertama, peristiwa naik kereta api sejauh ratusan kilometer. Ini pengalaman saya naik kereta api, jauh lagi. Saya terguncang-guncang di gerbong dan kemapanan hidup saya (dinilai keluarga sebagai kemalasan hidup) di Kotagede berantakan dan berkeping-keping.

Saya sadar dengan tercerabut dari dunia mapan di Kotagede, saya harus berjuang dari nol. Masalahnya, nol itu apa dan di mana.

Hal yang kedua, mengguncang kesadaran saya adalah sambutan tokoh yang saya ikuti itu. Begitu saya datang dia berkata dingin, bahwa orang yang hidup di Jakarta tidak berhak makan sebutir nasi pun sebelum dia bekerja. Bekerja apa saja, misalnya sebagai penjual abu keliling atau apa. Waduh, seorang penyair harus berubah menjadi penjual abu?

Ini kenyataan keras yang saya hadapi. Maka di rumah itu, saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai membersihkan toilet, kamar mandi, membersihkan rumput di taman. Ini saya lakukan agar saya merasa punya hak untuk makan nasi atau roti di rumah itu.

Setelah melihat saya rajin bekerja di rumah, saya lalu diberi uang saku sedikit dan diberi bekal karcis bus kota untuk keliling Jakarta mencari kerja.

Saya juga diminta untuk melamar pekerjaan di kantor PP Muhammadiyah jl Menteng Raya Jakarta, tetapi lamaran saya ditolak kepala kantor.

Untuk itu, saya menggali potensi yang sudah lama saya miliki, yaitu menulis. Saya datangi kantor redaksi majalah anak-anak “Kawanku” yang saya kenal karena pernah mengundang penulis cerita anak-anak bertemu di rumah dia.

Tulisan saya mulai dimuat di majalah itu, cerpen anak-anak, dan cerita humor anak. Saya mulai bisa menabung dan uangnya saya pakai untuk membayar biaya pendidikan wartawan di sebuah kantor di Jakarta Utara.

Selain saya aktif di tiga komunitas sastra dan teater. Kelompok Poci Bulungan yang sering mengadakan acara di Gelanggang Remaja Bulungan dan di Sanggar Enam Dua Menteng Raya, kelompok teater anak IPM Jakarta.

Saya juga bergabung dengan Kelompok Sembilan, yang anggotanya kebanyakan sastrawan merangkap wartawan, mereka kuliah di kampus dekat PP Muhammadiyah Jakarta. Selain itu saya juga aktif mendatangi acara-acara di Taman Ismail Marzuki jl  Cikit Raya. Mobilitas saya sehari-hari saya beredar di beberapa titik penting itu.

Sambil mengasah kemampuan sebagai wartawan, saya menulis berita kegiatan seni budaya dan sastra di TIM, di Gelanggang Remaja Bulungan atau lainnya. Berita ini saya kirim ke koran Yogya, Harian Masa Kini. Karena saya punya pos kegiatan di PP IPM Jakarta, yaitu latihan teater, saya sering dilibatkan pada kegiatan PP IPM, menjadi bagian dari panitia tertentu.

Pada saat Muktamar ke 40 di Surabaya, grup teater ini diundang pentas ke Surabaya. Meriah dan mengesankan. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, rombongan teater ini mampir dan pentas di Kotagede. Saya jadi sempat menengok orangtua.

Kembali ke Jakarta, saya dipersiapkan untuk bekerja atau mengikuti kegiatan di kantor haji Depag Pusat. Ini kegiatan produktif karena menghasilkan uang banyak. Tetapi kerja di sini superfull sibuk. Mulai dari menyiapkan paspor, manifes penerbangan dan mengatur keberangkatan dan pemulangan jamaah haji. Nah karena itu, saat Idul Fitri datang, saya dilarang mudik.

Saya pun menikmati Lebaran di Jakarta. Jakarta sepi atau lebih sepi dari biasanya. Saya dan keluarga yang saya ikuti shalat Id di halaman sebuah kantor di Jakarta Selatan. Pulang sampai rumah makan-makan. Lalu berziarah ke sebuah makam di Kebayoran Lama.

Di tempat ini saya jadi teringat Kotagede dan makam leluhur di Kotagede. Ingin rasanya pulang tetapi tidak mungkin. Rindu kampung halaman menggebu, tetapi mungkin  diberi saluran. Melihat saya gelisah, Pak Zubaidi  Bajuri, demikian orang yang menolong dan menampung saya kemudian menghibur saya dengan mengajak saya menonton film The Message, yang dibintangi Anthony Quinn dan Irene Papas dengan sutradara Mustapha Akkad. Malam itu, kami sekeluarga nonton film di sebuah bioskop di Blok M.

Yang kami pilih, film dalam versi bahasa Arab. Selama film diputar saya malah merasa seperti mengaji bahasa Arab dan para tokoh itu seperti hidup dalam kepala saya. Yang membuat saya betah, selain cocok dengan gaya penggarapan film oleh sutradara terkenal yang juga menggarap film The Lion Desert atau kisah perjuangan pahlawan Libya, Omar Mukhtar, juga karena selama menonton kami makan cokelat yang mahal dan amat lezat. Selama hidup saya baru pertama kali saya menikmati lezatnya cokelat batangan ini.

Gabungan antara makan cokelat lezat dan nonton film bahasa Arab ini membuat saya bisa menikmati hari pertama Lebaran di rantau, di Jakarta. Tetapi hari kedua, saya kembali gelisah karena ingat kampung halaman.

Saya pamit ingin mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah. Saya menjelajahi TMII mengunjungi anjungan daerah dengan berjalan kaki dan naik mobil keliling sampai saya kelelahan. Sepulang dari TMII saya bisa tidur nyenyak.

Hari ketiga, saya mengunjungi teman saya jadi pembina Pramuka di Kotagede yang bertugas jadi guru SD Inpres di Bekasi. Naik bis saya menuju Bekasi. Ketemu dia, di rumah kontrakan dia, ngobrol dan makan siang.

Ini bisa menjadi obat kangen kampung halaman karena ingat waktu asyik jadi pembina Pramuka yang anak-anak binaan banyak yang kreatif dan nakal. Sebagai mantan anak kecil nakal, tentu mudah bagi saya menaklukkan mereka.

Sebelum Kang Usman mengantar saya ke terminal dia saya minta mengantarkan saya bersilaturahmi ke kenalan IPM di rumahnya dekat rel kereta api. Ngobrol dan disuguhi makanan khas Bekasi, lalu saya pamit pulang kembali ke Jakarta.

Setelah itu, hari Lebaran menjauh dan saya tenggelam di pekerjaan di kantor haji Depag Pusat. Di sini saya mengalami guncangan ketiga, yaitu ternyata ada gejala korupsi di kantor ini dan orang yang jujur malahan tersingkir, seperti orang yang menolong saya di Jakarta ini, sehingga beliau kemudian hari memilih aktif mengajar di kampus pesantren Asy-Syafi’iyah Jakarta.

Setelah guncangan ketiga pasca menikmati Lebaran sekali dan bekerja keras melayani jamaah haji ini, Jakarta menjadi kurang menarik bagi saya. Saya pamit pulang kampung, dan diminta untuk bekerja di harian Masa Kini yang kemudian berganti Yogya Post, sampai saya dipanggil Pak Amien Rais untuk membantu dan bekerja di Suara Muhammadiyah.

Saya memasuki masa perantauan kedua, di kota Yogyakarta.

(Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version