Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah sering dinarasikan sebagai pencetus “halalbihalal” tahun 1948. Istilah ini diajukan kepada Presiden Sukarno menyikapi suasana pertentangan di tubuh para elite bangsa.
Ternyata, banyak sumber mengungkap bahwa halalbihalal sudah ada jauh sebelum itu. KH Wahab mungkin termasuk yang mempopulerkan sebagaimana Soekarno dan Buya Hamka. Pertemuan dua tokoh yang berbeda pandangan politik, Buya Hamka dan Soekarno, dalam suasana Idul Fitri tahun 1963 di istana, memiliki dampak besar. Ketika berjabat tangan, Buya Hamka mengatakan kepada Soekarno, “kita halalbihalal”.
Antropolog UIN Sunan Kalijaga, Mohammad Soehadha menyatakan, beberapa referensi menyebut tradisi ini berakar dari pisowanan yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18. Menggunakan istilah Robert Redfield, Soehadha menyatakan bahwa halalbihalal bermula dari great tradition di kraton yang kemudian diabsorpsi oleh umat Islam Indonesia dan memancar pada keseharian rakyat biasa sebagai little tradition. Ketika itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan sungkem kepada Raja dan Permaisuri usai perayaan Idul Fitri. Pisowanan secara bersama ini lebih efektif dan efisien.
Halalbihalal juga sudah ditemukan dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (terbit tahun 1938), yang mulai disusun pada 1926 atas perintah Gubernur Jenderal HindiaBelanda. Pada entri huruf ‘A’, kamus ini memuat kata “alal behalal”, bermakna acara maaf-memaafkan ketika hari raya.
Majalah Suara Muhammadiyah tahun 1926 telah memuat kata “alal bahalal” pada edisi menjelang 1 Syawal 1344. [Dokumen Suara Muhammadiyah tahun 1924 bahkan sudah memuat sebuah artikel yang memasukkan kata “chalal bi chalal” dalam sebuah paragraf. Simak uraiannya dalam sebuah artikel di historia.id berjudul “Melacak Sejarah Halalbihalal di Masa Kolonial“]
Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar dalam “Sejarah dan Makna Halalbihalal” di Media Indonesia, 18 Juni 2018, menyebut versi lain. Menurutnya, asal usul halalbihalal itu bermula ketika pemuda Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta kebingungan mencari tema untuk mewadahi dua momen istimewa: Idul Fitri dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi terjadi pada hari Jumat (sayyidul ayyam) di bulan Ramadhan (sayyidus syahr). Guna merangkum suasana batin itu, salah seorang seniman mengusung tema halalbihalal, bermakna sebagai upaya saling memaafkan, merelakan, dan menghalalkan. “Momentum Idul Fitri digunakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengisi kemerdekaan,” tulisnya.
Sejak itu, kata Nasruddin Umar, halalbihalal menjadi populer dan diterima semua pihak karena pesan universal untuk merekatkan integrasi bangsa. Melalui halalbihalal, bara amarah dan dendam diluruhkan, warna-warni perbedaan diterima dengan lapang dada. Semuanya harus bersatu membangun bangsa Indonesia yang bermartabat dan menjunjung tinggi religiusitas. Halalbihalal kini menjadi salah satu budaya populer Islam Indonesia yang diterima di kawasan Asia Tenggara, khususnya Brunei Darussalam dan Malaysia.
Halalbihalal dari akar kata halla-yahillu, bisa bermakna singgah, memecahkan, melepaskan, menguraikan, dan mengampuni. Acara halalbihalal dimaknai sebagai ajang untuk saling singgah dan menjalin keakraban, memecahkan dan menguraikan masalah bersama, melepas amarah dan kebencian, serta saling mengampuni atau memaafkan kesalahan.
Dari halalbihalal, tradisi mudik muncul, guna bisa saling bertemu menjalin keakraban. Menurut Soehada, saling memaafkan terjadi ketika ada sikap harmoni. Suatu relasi dianggap harmoni adalah ketika bisa makan bersama dengan duduk semeja secara tidak canggung. Makan bersama dalam halalbihalal disimbolkan dengan ketupat. (ribas)
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 11 Tahun 2019