Bergembira Di Sekolah Muhammadiyah

Bergembira Di Sekolah Muhammadiyah

Sekolah di Muhamadiyah itu gembira. Karena gembira murid jadi kreatif dan berani.

Bayangkan, waktu  masuk TK ABA Bodon, jarak antara rumah dengan sekolah lumayan jauh. Tetapi karena taman kanak-kanak itu indah dan menggembirakan, saya hanya sekali diantar ibu, waktu pendaftaran. Setelah itu lepas tangan.

Saya berani berangkat dan pulang tanpa diantar. Tentu, bersama teman sekampung. Karena panggilan rasa gembira ini kami rajin masuk sekolah.

Bu Guru yang mengajar adalah Bu Mardi, Mardisiswoyo, aktivis Aisyiyah yang ulet tahan banting dan pernah jadi penasehat PP Aisyiyah.

Bu Mardi terkesan galak dan banyak orang bilang begitu. Tetapi bagiku beliau guru yang ramah. Memang keras terutama terhadap anak yang mbeling, suka menegur anak mbeling tetapi setelah menegur wajahnya lembut kembali sehingga kami tidak merasa takut.

Kalau ada yang mengulangi kembali ke- mbeling-annya, beliau menegur lagi dengan cara yang sama, sampai akhirnya yang mbeling bosan dengan ke-mbeling-annya itu dan secara ajaib justru jadi anak yang patuh. Kelembutan hatinya bisa menaklukkan anak yang mbeling.

Suatu hari saya mencoba berbuat mbeling, semacam uji coba. Waktu ada tugas menyanyi, saya bukannya menyanyikan lagu anak-anak yang beliau ajarkan, tetapi saya justru menyanyikan lagu orang dewasa.

“Oh, kasihku, kenapa menangis tersedu. Aku cinta padamu…”  dengan suara fals kutirukan biduanita kelas kampung yang beberapa hari sebelumnya menyanyi di tempat kondangan tetangga tak jauh dari rumahku.

Mendengar laguku Bu Mardi tidak tampak marah, malahan tersenyum.

“Ada lagi lagu yang lain?” Tanya beliau.

“Ada Bu.”

“Silakan dinyanyikan.”

“Baik Bu. Dengarlah seruan hatiku, aku cinta padamu.”

“Ada lagi?”

“Ada Bu. Jangan ditanya ke mana aku pergi…” “Ada lagi? Terus nyanyikan. Ayo.”

Mendengar nada suara beliau saya menangkap kalau beliau sebenarnya marah dan tadi terus memerintahkan saya menyanyikan lagu orang dewasa adalah cara beliau menghukum saya.

Sebab setiap aku menyanyi lagu orang dewasa, teman2 selalu bersorak dengan nada mengejek.

“Bagaimana, masih ada simpanan lagumu?” “Sudah habis Bu,” jawabku menghindari hukuman selanjutnya.

Mendengar jawaban dariku, Bu Guru justru tertawa lalu memujiku.

“Kau berbakat menyanyi, tapi lagu seperti tadi belum pas dinyanyikan oleh anak TK. Ibarat makanan, gigimu belum kuat kalau untuk mengunyah makanan keras atau untuk menggigit batang tebu. Tidak enak kan?”

“Ya, Bu.” Sejak itu aku tidak berani menguji kesabaran beliau lagi sampai aku lulus TK dan masuk SD Muhammadiyah Bodon.

Di SD ini selama enam tahun yang kudapat hanya kegembiraan saja. Kepala Sekolah pak Mardi Siswoyo, suami Bu Mardi. Pak Mardi ini adalah orang paling lembut sedunia menurutku. Kalau bicara lirih, sorot matanya menyejukkan.

Di kelas satu yang mengajar Pak Zamzuri, orangnya gemuk persis Pak AR. Saya tidak tahu kenapa orang gemuk itu suka bercanda atau penampilannya membuat orang yang memandang menjadi merasa segar hidupnya.

Diajar Pak Zamzuri sungguh segar. Gembira dan gembira sepanjang hari. Mengajar membaca saja dengan cara dilagukan. Dan yang paling ditunggu adalah kalau sudah hampir saat pulang, pak Zam mulai menggambar di papan tulis.

Ada dua kemungkinan terjadi. Pertama, beliau menggambar tokoh-tokoh yang akan didongengkan. Kami langsung bersorak gembira karena sebelum pulang mendapat hiburan dongeng.

Kedua, beliau menggambar pak Tani, sebuah kandang berisi banyak binatang lalu  ada gambar anak kecil, kerupuk dan sambal. Ini ngalamat tidak ada dongeng.

Sebagai ganti kami harus menyanyikan lagu Bapak Tani Duwe Kandang Ayo Ayo. Ing kandang ana weduse embek-embek.. satu persatu isi kandang ditunjuk, kami menirukan suaranya. Sampai gambar bayi, oek oek. Gambar kerupuk, kriyuk kriyuk.

Sampailah pak Zam menunjuk gambar sambal, kami pun meniru suara orang kepedasan sampai agak lama.

“Lho, kok pedesnya nggak berhenti?” Tanya pak Zam.

“Lomboknya rawit pak dan banyaknya satu karung,” jawab kami sambil tertawa.

Setelah membaca surat Wal’Asri, kami memukul meja menjadi bergemuruh, lalu berlari keluar setelah menyalami beliau. Dengan suasana demikian, tak terasa waktu setahun terlampaui.

Kami merayakan perpisahan dengan kakak kelas enam kami dengan cara yang seru. Tempatnya di pendapa Tegalgendu yang sekarang ada masjid dan kantor PCM Kotagede.

Acara perpisahan dengan anak kelas enam itu diisi dengan lagu koor, tarian, ditutup dengan drama perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong di mana serdadu Belanda dilucuti dan dibuat mainan oleh prajurit pejuang. Penonton terpingkal-pingkal melihat serdadu Belanda ketakutan dan minta ampun.

Begitulah tahun demi tahun saya lewati di sekolah ini. Tiap kelas  menyajikan kegembiraan sendiri-sendiri. Sebab guru kelas punya keunikan sendiri-sendiri dalam mengajar. Kebanyakan guru pandai mendongeng dan bernyanyi dan dengan ini bisa menghidupkan suasana kelas.

Pak Guru atau Bu Guru juga pandai membesarkan hati muridnya.

Suatu hari kami, di kelas lima mendapat tugas mengarang dengan menceritakan empat gambar berurutan. Saya mengerjakan tugas ini. Tulisan saya buat serapi mungkin dan saya lengkapi dengan tanda baca.

Pak Guru memuji karangan saya. “Ini, lihat, Mustofa berbakat mengarang. Karangan dia paling bagus di kelas ini.”

Mendengar pujian itu hati saya membesar dan saya jadi percaya diri waktu menulis karangan berikutnya. Berkat pujian pak Guru saya jadi keterusan atau jadi getol menulis sampai hari ini. Terimakasih pak Guru!

(Mustofa W Hasyim)

Exit mobile version