Ikhtiar di Balik Indonesia Terserah

Rivaldi Darmawan

Geliat masyarakat yang mulai tidak mengindahkan kebijakan pemerintah tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai terasa. Pusat perbelanjaan hingga tempat hiburan mulai menunjukkan aktivitas normalnya, hinggar bingar jalanan kota maupun desa kembali ramai bersuara. Bahaya corona virus desease 2019 (covid-19) seakan menjadi perbincangan belaka tanpa terpikirkan dampaknya. Menantang pantangan menjadi pemandangan yang saat ini sedang akrab kita jumpai. Masyarakat mulai terseret dengan asumsi yang mengatakan “Keluar rumah tidak mengapa, asalkan memakai masker dan memperhatikan protokol kesehatan”.

Kampanye dengan jargon dirumah saja seakan sudah kadaluarsa, alhasil dengan pedenya masyarakat menerobos kebijakan PSBB yang telah ditetapkan. Disisi lain, tidak henti-hentinya  masyarakat mengeluh pada Sang Pencipta mengharap campur tangan Sang Kuasa agar covid-19 segera sirna. Alih- alih wabah ini segera sirna justru banyak masyarakat yang masih konsisten dengan ulahnya tidak menaati protokol pencegahan covid-19. Impilkasinya tenaga medis sebagai garda terdepan penanganan virus covid-19 membuat statment Indonesia Terserah yang baru-baru ini sedang santer dibicarakan dalam media masa.

Spirit Ikhtiar

Sebagai agama yang sempurna islam hadir memberikan tatanan yang solusi atas persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, salah satunya dengan cara berikhtiar. Berusaha semaksimal mungkin mengerahkan kemampuan dalam melawan covid-19 dengan cara mentaati rambu-rambu dari ulama maupun umara sebagai bentuk ikhtiar kita dalam menghadapi pandemi covid-19. Saat ini realita tersebut tak sejalan lurus dengan apa yang menjadi cita-cita dunia terbebas dari virus covid-19. Ikhtiar yang digelorakan diawal masa pandemi covid19 seakan merosot, hal ini dibarengi dengan bertambahnya korban yang positif terinfeksi covid-19. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementrian Kesehatan (Kemenkes RI), Indonesia mencatatkan rekor dalam sehari 973 orang terinfeksi Covid19. Tampaknya semesta sudah memberikan sinyal akan kualitas ikhtiar kita selama ini yang kian waktu semakin menurun.

Kekalutan yang disebabkan mayoritas masyarakat menandakan kualitas ikhtiar yang kita bangun mudah untuk dirobohkan. Perbuatan dan tekad masyarakat tampaknya menemui mis komunikasi, secara gamblang kita menginginkan Pandemi ini segera berakhir akan tetapi dilain sisi perbuatan kita yang jauh dari kesan rasional membuat virus ini semakin menjadi. Sejatinya suatu cita-cita akan mudah tercapai apabila disertai dengan ikhtiar yang full power, jika ikhtiar dilakukan dengan cara setengah-setengah jangan berharap cita-cita itu mudah untuk diwujudkan. Percayalah dengan pepatah yang mengatakan hasil takkan menghianati usaha, seperti dalam firman-Nya yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Ar-Ra’d :11). Ayat  yang populer ditelinga kita tersebut menunggu terealisasikan untuk menghalau pandemi yang sudah berkepanjangan. Sudah seyogyanya kita semua kembali dalam koridor ikhtiar semaksimal mungkin yang kita wujudkan dengan mentaati berbagai arah kebijakan yang sudah ditetapkan.

Gugus Tugas Covid-19, Semoga lelahmu menjadi lillah

Tagar “Indonesia Terserah” santer dibicarakan dikalangan masyarakat banyak yang mengklaim hal tersebut sebagai bentuk kekecewaan tenaga medis kepada masyarakat atas ulahnya yang kian hari nekat melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Perlu menjadi perhatian kita semua, seluruh gugus tugas pencegahan Covid-19 adalah manusia biasa maka tidak heran jika mereka menyampaikan keluh kesahnya. Dilain sisi mereka memang sudah dibekali dengan pendidikan yang mumpuni dan penguatan mental, bukan berarti dengan adanya pendidikan dan penguatan mental team gugus tugas harus bekerja laksana robot yang tak mempunyai rasa lelah, sekali lagi mereka adalah manusia biasa yang memiliki segala keterbatasan.

Kita melihat banyaknya tenaga medis yang gugur dalam pertempuran melawan covid-19 bahkan baru-baru ini kita dihebohkan dengan adanya 2 tim gugus tugas asal Papua harus meregang nyawa setelah ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) saat menjalankan tugasnya membagikan obat-obatan, hal ini kian menunjukkan totalitas akan etos kerja yang mereka lakukan. Secara otomatis hal tersebut menjadi tamparan keras bagi kita yang masih “ngeyel”  terhadap kebijakan pencegahan covid-19. Jangan seolah-olah kita menampilkan sikap antagonis acuh tak acuh dalam mengindahkan berbagai arah kebijakan yang berbuntut menambah pekerjaan bagi mereka.

Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, masyarakat disibukkan dengan berbagai hal yang menyangkut kebutuhan idul fitri, berbelanja pakaian hingga kebutuhan tetek bengek sudah menjadi tradisi masyarakat tatkala akan dihadapkan dengan hari raya idul fitri. Akibatnya pusat perbelanjaan menjadi ramai dikunjungi dan menunjukkan aktivitasnya kembali sebelum diberlakukannya lockdown. Sudah menjadi rahasia umum jika saat itu jumlah yang terinfeksi covid-19 mengalami lonjakan cukup signifikan. Secara otomatis hal tersebut menambah beban aparat dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar sebisa mungkin meminimalisir kontak fisik dan keluar rumah.

Akibatnya aparat harus bertindak tegas yang kemudian memancing perseteruan dengan sebagian masyarakat. Memang menjadi kesulitan yang luar biasa ketika kebudayaan yang telah lama menjamur dikalangan masyarakat mendadak dihentikan, seribu nasehat pun seakan mental ketika dihadapkan dengan masyarakat yang memegang teguh akan sebuah tradisi. Sepertinya aparat harus menggunakan kesabaran ekstra dalam menghentikan  sementara tradisi yang berkembang dimasyarakat guna memutus rantai penyebaran Covid-19. Pandemi kali ini mengajarkan kepada kita bahwa sebuah tradisi harus disandingkan dengan fleksibilitas sesuai dengan keadaan yang sedang terjadi agar tak mendatangkan permasalahan baru yang tidak diinginkan. Sudah sepatutnya kita ikut meringankan beban aparat dalam menekan penyebaran covid-19 dengan sejenak meletakkan tradisi yang sudah menjadi rutinitas dikalangan kita.

Gunakan pola pikir berkemajuan

Pola pikir berkemajuan yang diwariskan Kyai Dahlan sebagai tokoh teolog islam berkemajuan memiliki esensi yang dapat diimplementasikan diera seperti sekarang ini. Memikirkan jangka panjang akan dampak yang dihasilkan merupakan salah satu ciri pola pikir berkemajuan, seperti Kyai Dahlan yang kala itu memikirkan dampak umat islam yang masih lekat dengan kejumudan apabila tak segera didirikan organisasi yang mempunyai basis berkemajuan. Dalam masa pandemi kali ini sebagian masyarakat dihadapkan dengan kegalauan yang luar biasa. Contoh kecil ketika seseorang merasa sangat berdosa apabila beberapa kali alpha dalam sholat jum’at, dilain sisi masyarakat merasa was-was akan penyebaran covid-19 saat menunaikan ibadah yang mendatangkan banyak masa.

Pada sebagian masyarakat yang masih mengandalkan pola pikir kolonial dapat dipastikan akan menemui kegalauan yang luar biasa ketika dihadapkan dengan persoalan tersebut. Sebaliknya dengan khalayak yang sudah mengaplikasikan pola pikir berkemajuan dapat dipastikan tidak akan menemui kegalauan, karena yakin terdapat kemudahan dalam berislam ketika dihadapkan dengan situasi yang darurat. Penerapan pola pikir yang proporsional sesuai keadaan menjadi tolak ukur keberhasilan dalam penaganan wabah seperti sekarang ini. Pola pikir yang berkemajuan memberikan jawaban langkah yang harus kita lakukan dalam upaya mengentaskan permasalahan kesehatan yang sedang kita hadapi.  

Rivaldi Darmawan, Alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Mahasiswa PAI UMY 2019, dan Musyrif Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta

Exit mobile version