Abdul Muin Malilang
Wabah covid-19 yang kini masih melanda dunia telah menggoyang seluruh aspek kehidupan manusia. Multi aspek kehidupan kita telah disentuh dan diganggu oleh corona. Mulai dari kesehatan, ekonomi, politik, sosial dan budaya hingga keagamaan. Dalam bidang kesehatan di mana hampir semua media memberitakan tingkat kematian, berdampak hadirnya kecemasan berjama’ah di tengah masyarakat. Demikian halnya dimensi ekonomi tidak kalah carutmarutnya. Masyarakat yang hanya mengandalkan penghasilan kerja harian tidak kalah terpuruknya. Bahkan pembagian bantuan kepada masyarakat di banyak tempat juga kacau balau. Tapi khusus kekacauan pembagian bantuan ini tidak ada kaitannya dengan kehadiran virus corona, tapi semata-mata disebabkan oleh data yang tidak akurat dan penerima yang kurang tepat.
Dalam aspek keagamaan tidak kalah menariknya. Sepanjang ramadhan 1441 H. masjid dan mushalla yang biasanya demikian ramai – terutama di awal ramadhan – mendadak sepi dari berbagai kegiatan seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, ceramah agama dan shalat jum’at. Bahkan sebagian besar masjid dan mushalla – tentunya berdasar hasil ijtihad – tutup tanpa kegiatan. Silaturrahim secara langsung (bermuwajah) sebagai simbol budaya keagamaan yang menyertai setiap momentum ‘idain (dua hari raya) terutama Idul Fitri, terhenti sejenak. Silaturrahim dilakukan hanya via medsos seperti WatsApp (WA) dan Facebook (FB) atau aplikasi lainnya.
Pada sisi lain, ser-serbi Idul Fitri tahun 1441 H yang tidak kalah menariknya, adalah idul fitri yang menorehkan jumlah imam dan khatib terbanyak sepanjang sejarah hari raya di tanah air. Betapa tidak, bila dalam kondisi normal, dalam satu bahkan dua desa hanya ada satu imam sekaligus khatib. Tetapi untuk tahun ini dalam satu desa mungkin ada ratusan imam dan khatib, bila di setiap rumah melaksanakan shalat Idul Fitri sendiri. Lebih menarik lagi, mungkin ada orang yang baru pertama kali bertindak sebagai imam dan khatib shalat id, dan peristiwa seperti itu sepertinya belum pernah terjadi dan kemungkinan tidak akan terulang di masa akan datang. Sungguh luar biasa.
Namun khusus di kalangan Muhammadiyah, idul fitri kali ini meninggalkan untaian narasi diskusi pada dimensi kehidupan berorganisasi. Di mana situasi ini seolah menjadi cermin besar untuk mengaca diri, melihat dan mencermati shaf kita. Ada pimpinan yang tidak sepaham dengan Edaran PP. Muhammadiyah, ada pula yang agak remang-remang, dengan tidak menyelenggarakan namun bersedia menjadi imam atau khatib di jama’ah lain. Bahkan ada yang mengaku aktifis dengan bangga mengatakan kalau masjid Muhammadiyah tidak boleh untuk shalat id, ia akan keluar dari Muhammadiyah. Pernyataan yang penuh semangat, tetapi minus pemahaman organisasi yang benar. Pernyataan tersebut bisa kita jawab “ silakan, kalau sudah tidak sepaham. Tidak ada larangan bagi siapa pun yang ingin meninggalkan Muhammadiyah bila sudah tidak sepaham dengan organisasi ini“. Karena, bukan Muhammadiyah yang memohon agar kita masuk, tapi kitalah saya mengajukan permintaan untuk menjadi anggota.
Apa hikmah di balik riak-riak kecil dalam tubuh Persyarikatan menghadapi virus corona? Hikmahnya adalah, kita didesak untuk segera berbenah secara internal dalam bidang ideologi dan keorganisasian. Tentu tanpa mengabaikan bidang-bidang lain. Sebuah ironi, bila sebuah edaran Pimpinan Pusat disikapi berbeda oleh pimpinan di tingkat bawah? Disinilah urgensinya berbenah, dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah pasal 16 ayat 1 (sebelum Tanwir Bengkulu pasal 15), syarat pimpinan telah tertera begitu jelas, satu di antaranya adalah taat pada garis kebijakan pimpinan Muhammadiyah.
Maka kekhawatiran kita cukup beralasan, jika dalam satu bahtera yang bernama Muhammadiyah beragam dermaga yang dituju oleh penumpang. Lebih mengkhawatirkan lagi bila ada penumpang yang tidak memiliki dermaga tujuan, tapi ingin mengarahkan bahtera ini (Muhammadiyah) ke dermaga yang ia senangi. Semoga tidak terjadi.