Mukhaer Pakkanna
Galibnya, setiap 31 Mei dikenal gerakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Gerakan ini diinisiasi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) sejak 1987. Secara imperatif, menyerukan agar para perokok berpuasa tidak merokok (mengisap tembakau) selama 24 jam serentak di seluruh dunia.
Bagi WHO, peringatan ini bertujuan untuk menarik perhatian dunia terkait beranak-pinaknya kebiasaan merokok dan efek buruknya terhadap kesehatan. Menurut WHO (2015), diestimasi, kebiasaan merokok setiap tahunnya memicu kematian sebanyak 5,4 juta jiwa.
Bagi persyarikatan Muhammadiyah, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Tanah Air, merasa perlu mengambil bagian dalam jihad ini. Bahkan sejak 2010, melalui Fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah resmi mengumumkan haramnya peredaran rokok secara masif.
Alasannya, pertama, ingin menciptakan lingkungan sehat yang sesuai tujuan syariah (maqasid asy-syari‘ah), merokok termasuk kategori perbuatan khabaa’is dan mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan perbuatan bunuh diri secara perlahan serta membahayakan diri dan orang lain yang terpapar asap rokok. Rokok adalah zat adiktif.
Kedua, pengeluaran dana untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir. Fatwa ini diterapkan dengan tetap mengingat prinsip at-tadrij (berangsur), at-taisir (kemudahan), dan ‘adam al-haraj (tidak mempersulit).
Indonesia adalah salah satu negara produsen tembakau dan konsumen rokok terbesar di dunia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang berupa kesepakatan global pengendalian tembakau di masing-masing Negara.
Padahal fakta miris menyebutkan, kelompok anak-anak dan remaja cukup banyak terpapar rokok. Mengonfirmasi studi Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Kajian Jaminan Nasional Universitas Indonesia, sebanyak 33,03 persen pemuda usia 18-24 tahun menjadi perokok aktif, disusul usia 39 tahun sebanyak 41,75 persen. Sementara perokok paling aktif berada pada usia 25-38 tahun dengan persentase 44,75 persen.
Bahkan, data Kementerian Kesehatan (2018), adanya peningkatan prevalensi perokok muda dari tahun ke tahun. Sebesar 20,30 persen pada 2010 menjadi 23,10 persen pada 2016. Jika pola dan kebiasaan ini diteruskan, hampir bisa dipastikan 10 tahun ke depan, usia anak-anak dan remaja, presentase perokok aktifnya akan lebih dominan dan akan mengancam nasib bonus demografi Indonesia.
Di sudut yang lain, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, rokok kretek filter sebagai komoditi terbesar kedua penyumbang garis kemiskinan di Indonesia.
Secara nasional, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap GK, Maret 2018 sebesar 73,48 persen. Beras berkontribusi 20,95 persen terhadap kemiskinan di perkotaan dan 26,79 persen di perdesaan. Kemudian rokok kretek filter menyumbang 11,07 persen terhadap kemiskinan di perkotaan serta 10,21 persen di perdesaan.
Lantas pertanyaannya, mengapa penyebaran rokok ini sulit dikendalikan, bahkan semakin masif dan sistematis jangkauannya?
Jawabannya, secara struktural ada permainan ekonomi politik yang menggiurkan di balik komoditas tembakau dan rokok. Bahkan disinyalir ada kongkalikong antara raksasa industri rokok (pemilik modal raksasa) dengan oknum Pemerintah dan legislatif.
Pertama, bayangkan Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum mengakses FCTC.
Ada apa? Teringat pada kasus 2009, Indonesia pernah mengalami skandal memalukan, yakni hilangnya ayat (2) pasal 113 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ayat (2) berbunyi: “Zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.
Ayat (2) ini ibarat di telan bumi, bahkan proses pengusutan telah melangkah ke proses hukum. Tapi kemudian, prosesnya tidak dilanjutkan hingga sekarang.
Kedua, Pemerintah telanjur mempersepsikan dirinya bergantung terhadap penerimaan cukai rokok. Ini menjadi malapetaka utama. Implikasinya, raksasa bisnis rokok, bisa seenaknya memengaruhi kebijakan negara. Hal ini terdeteksi pada kasus campur tangan industri rokok dalam perumusan kebijakan pengendalian tembakau.
Ihwal ini terang benderang terlihat bunyi pasal 5 ayat (4) UU 39/2007 tentang Cukai: “Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri”.
Ini artinya apa? Penentuan besaran target cukai rokok harus memperhatikan kondisi industri atau pelaku usaha. Jadi bukan memperhatikan nasib rakyat yang terpapar efek rokok (orang miskin dan remaja). Di negara lain, keterlibatan industri rokok itu sangat dibatasi.
Ketiga, pada 2012, dibahas RUU Pengendalian Tembakau dan Kesehatan yang telah dibatalkan oleh DPR. Aroma kuat adanya transaksi bisnis dan politik dalam sektor tembakau, dan ihwal ini menguat menjelang Pemilu 2014. Tidak bisa dipungkiri ada transaksi ekonomi politik di balik itu terutama kebutuhan dalam mengisi dana tunai partai politik.
Keempat, berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 156 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, yang ditandatangani pada 12 Desember 2018. Dengan berlakunya PMK itu, jangan berharap adanya kenaikan cukai rokok dan kenaikan batasan Harga Jual Eceran Minimum (HJEM). Tentu, industri rokok terutama pemilik modal raksasa, pasti menyambut antusias. Dengan dibatalkannya kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran rokok, industri rokok akan terus mendongkrak produksinya.
Kasus-kasus transaksi ekonomi politik seperti yang digambarkan di atas, menyuramkan keinginan untuk berjuang dalam pengendalian tembakau di Tanah Air.
Apalagi, antara instansi/lembaga pemerintahan pun belum ada kata sepakat dalam banyak hal terkaitan kebijakan pengendalian tembakau dan rokok. Tapi, bagaimapun generasi masa depan harus kita selamatkan demi Indonesia yang berkemajuan.
Mukhaer Pakkana, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta